Title : Better Left Unsaid...
Categories : Fanfiction - OneShot
Genre : AU – Romance – Songfic [mungkin bisa ditambahkan genre Hurt/comfort]
Rating : Teenager – PG-15
Theme song : Wish you were here – Avril Lavigne
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah Faqoth
Cast(s) :
Categories : Fanfiction - OneShot
Genre : AU – Romance – Songfic [mungkin bisa ditambahkan genre Hurt/comfort]
Rating : Teenager – PG-15
Theme song : Wish you were here – Avril Lavigne
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah Faqoth
Cast(s) :
1.
Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
2.
Yuki Akanishi as Hime (Original Character)
3.
Arioka Daiki [Hey! Say! JUMP]
4.
Mizuki (Original Character)
Disclaimer:
All casts are not mine. The story is mine. It’s inspired by Avril Lavigne’s
song (Wish you were here), and a little from ‘Ayah, mengapa aku berbeda?’ the movie. NO Bashing!
NOTE: Fanfic
ini adalah request-an dari atashi no imouto; Yuki Akanishi. Sebuah
songfic dari lagu ‘Wish you were here’, dengan pairing ‘YamaYuki (YamaHime)’.
Saya harap Yuki chan tidak kecewa
dengan FF ini, karena ceritanya tidak terlalu mirip dengan lagunya ^_^ T_T .
Dan juga, jika kalian menemukan bahwa alur ceritanya ‘kecepetan’, itu hanya ke’baka’an author yang maksain cerita ini
jadi oneshot *efek gak mau repot bikin chapter* XD. Seperti biasa, tangan
author selalu terbuka lebar untuk menampung komentar readers. Jya, okay then, happy reading, ne!
Semoga kalian terhibur ^_^v
Synopsis/Quote:
“I
love you,” I always say that words. Say it in silence. So I dont wonder
if you can’t hear it.
When
telling nothing is better, it doesn’t mean that I don’t wanna tell you. But, I
just be able to love you in my silence. Without telling it to you. Because I
have no strenght and braveness to tell you. Because you don’t have any memories
of me. Because you don’t know me.
***
Prolog:
“Ohayou...”
Selalu
kuucapkan kata itu ketika kulihat dia - Yamada Ryosuke, melewati kios tempat
kuberjualan bunga.
Aku selalu
mengucapkannya. Dan tak lupa aku selalu tersenyum ke arahnya. Meskipun ia tak
dapat mendengar sapaanku, namun aku tak pernah berhenti untuk menyapanya setiap
pagi, bahkan setiap aku melihatnya.
***
Pagi ini aku
datang ke kios lebih pagi dari biasanya. Tuan Fujiwara mengatakan akan mengirim
pasokan bunga beberapa menit lebih awal. Aku membuka pintu kaca dan menggantikan
tanda ‘close’ dengan ‘open’. Udara dingin masih terasa menusuk kulit. Kuedarkan
pandanganku ke sekililing toko. Kemudian aku mengalihkan pandangan ke luar. Ah!
Ryosuke-kun. Ia berjalan dengan
santai di depan kios bungaku. Aku senang melihat wajahnya yang....
“Hime-sama...”
Ah,
tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Astaga, Ryosuke-kun sudah berada di hadapanku.
“Ah,
ohayou,” sapaku sambil sedikit membungkukkan badan.
“Ohayou,” balasnya. “Datang lebih pagi hari
ini?” tanyanya.
“Un,”
aku mengangguk. “Fujiwara-san akan mengantarkan pasokan bunga baru hari ini,”
terangku.
“Ah,
begitu ya,” Ryosuke-kun mengitarkan
pandangan seperti mencari sesuatu. “Di sana, apa masih ada bunga yang segar?”
ia menunjuk ke arah deretan pot dengan ibu jarinya.
“Ah,
ya. Masih ada. Mau mawar?” tawarku padanya.
Ryosuke-kun mengangguk. “Beri aku setangkai,”
Aku segera
menuju deretan pot yang kutata rapi di rak di depan kiosku dan mengambil satu bunga
mawar yang sudah kubungkus plastik. Aku kembali menghadap Ryosuke-kun dan menyodorkan mawar itu padanya. “Ini,”
Sejenak ia
menatap bunga itu, tak segera mengambilnya. “Berapa?”
“Seperti
biasa, 25 yen.”
Ia lalu
menyodorkan uang padaku dan mengambil bunga itu setelah aku menerima uangnya.
“Arigatou,”
“Ini,”
Ryosuke-kun menyodorkan bunga itu
padaku.
“Eh?”
“Untukmu,”
ia menegaskan lagi.
Aku
menerima bunga itu dan memandang Ryosuke-kun
penuh rasa terima kasih. Aku menundukkan badanku sedikit. Tiba-tiba Ryosuke-kun mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Semoga
harimu indah, Hime-sama,” Ryosuke-kun berbisik dengan sangat lembut. Seketika
angin lembut menelusup dan menggelitik gendang telingaku, lalu tanpa ampun ia
menjalar ke seluruh tubuhku dan berhenti tepat di hatiku. Memaksa jantungku
untuk berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku masih mematung ketika ia sudah merenggangkan
jarak denganku. Apa yang ia katakan barusan memang tidak kudengar dengan jelas,
tapi dari angin yang menelusup itu, bisa kurasakan kalau Ryosuke-kun mengatakannya dengan sangat tulus.
“Aku
berangkat dulu, ya. Semoga kiosmu laris hari ini. Jya,”
“Un.
Arigatou,
Ryosuke-kun. Semoga Tuhan selalu memberkahimu,”
Ryosuke-kun melambaikan tangan dan berlalu dari
hadapanku. Bunga mawar darinya masih kupegang. Lalu aku melangkah ke sudut ruangan
tempat meja kerjaku terletak. Kutambahkan lagi koleksi bunga mawar yang sudah banyak
bertengger di pinggir mejaku. Ya, Ryosuke-kun
melakukan itu setiap pagi. Membeli bunga di kiosku, kemudian memberikan bunga
itu padaku. Sampai saat ini sudah ada lebih dari 30 bunga mawar yang masih
terlihat warnanya. Sisanya sudah menguning dan mengering. Sama seperti kalimatku
yang tak terucap padanya.
***
“Ryosuke, mau
makan siang bersama?” Mizuki mendekati meja tempat Ryosuke berkutat dengan
komputernya.
“Umh, kau duluan
saja,” responnya singkat.
“Ayolah,
temani aku makan siang,” Mizuki duduk di pinggir meja dan mengelus jas Ryosuke.
Merayap dari pundak sampai ke dadanya.
Ryosuke
menangkis tangan nakal Mizuki. “Mizuki!” Ryosuke berdiri dan menghembuskan
nafas kesal. “Hentikan! Ini kantor,” Ryosuke agak berteriak, membuat semua
orang di ruangan itu menoleh ke arah mereka. Ryosuke mendengus kesal. Namun
Mizuki tak gentar dengan gertakan itu.
“Ah...
Ryosuke... Ayo, kita makan siang,” Daiki dengan langkah sigap segera menetralisir
keadaan. Ia merangkul pundak Ryosuke dan menariknya ke luar ruangan. Mizuki
tidak puas.
“Daiki!”
“Ah, kau
mau ikut? Baiklah, kita makan siang bertiga,”
Daiki
menoleh ke arah Ryosuke yang masih memasang wajah kesal, “Tenang saja, anggap
dia tidak ada,” Daiki mengedipkan mata. Senyum Ryosuke tidak simetris.
***
Pukul lima
sore. Aku masih betah bertengger di meja kerjaku. Hari ini kiosku lumayan
laris. Banyak yang memesan karangan bunga maupun hanya membeli setangkai. Aku
senang dan puas dengan pekerjaanku. Hari-hariku lebih indah dengan sepanjang
hari berada di tempat yang dikelilingi bunga. Ya, aku suka bunga. Terutama
mawar. Putih atau merah.
“Hime-sama,” seseorang membuka pintu kaca
kiosku. Aku menoleh.
“Ryosuke-kun,”
aku memasang senyum ke arahnya.
“Belum
tutup?” tanyanya. Ia melangkah mendekatiku.
“Un, tapi
sebentar lagi tutup, kok,” jawabku.
“Ah,
baiklah. Aku akan menunggu disini. Setelah itu kita pulang bersama, okay!” matanya
mengerling. Membuatku salah tingkah melihat itu. Ya, selalu begitu. Padahal ini
bukan kali pertama ia mengerling padaku.
“Duduklah,”
“Iya,
terima kasih, Hime-sama,”
Aku
meletakkan segelas air dingin di meja, “Minumlah, maaf hanya ada air putih,”
“Aha,
tidak apa-apa. Tidak usah merepotkanmu,”
“Tidak,
kok. Tidak merepotkan,”
Setengah
jam kemudian, tidak ada lagi pembeli yang datang, kurasa waktunya untuk menutup
kios. Ryosuke-kun membantuku
merapikan kios. Setelah itu aku mengunci pintu dan bergegas pulang. Aku
berjalan berdampingan dengan Ryosuke-kun.
Rumahnya dan rumahku satu arah, jadi kami biasa pulang bersama. Sepanjang jalan
aku hanya memperhatikan wajahnya yang terlihat indah dari samping. Ah,
maksudku, dari arah mana saja wajahnya selalu terlihat indah. Ya, tentu saja.
Dia indah. Dia makhluk terindah yang pernah kutemui, yang selalu mengindahkan
hari-hariku.
“Kau sudah
sampai, Hime-sama,”
“Eh?”
Ya ampun, aku sampai tidak sadar kalau aku sudah berada di depan rumahku. “Kalau
begitu, aku masuk dulu. Sampai jumpa,”
“Ya, masuk
dan istirahatlah. Sampai jumpa besok, Hime-sama,”
Ryosuke-kun menepuk pundakku. Aku
menurut. Ia melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Aku melambaikan tangan, dan tetap
bertahan di posisiku – memperhatikan punggungnya sampai aku tidak dapat
melihatnya lagi karena ia sudah menjauh dari tempatku.
Aku
berbalik dan membuka pintu, “Tadaima,”
“Ah,
baguslah kau sudah pulang. Cepat siapkan makan malam untukku!” Ibu menyambutku
dengan wajah ketusnya – setiap hari seperti itu.
“Hai,
aku ganti baju dulu,” aku hendak melangkahkan kakiku menaiki tangga,
namun...
“Aahhh...”
Ibu menarik rambutku. “Sakit, Kaa-chan,”
“Tidak
usah ganti baju! Sana ke dapur dan masak untukku!” Ibu mendorongku hingga aku
hampir terjatuh. Tanpa bisa melawan – lagi-lagi, aku hanya menuruti apa yang
Ibu katakan.
“Kaa-chan,
makanannya sudah siap,” aku menghampiri Ibu yang tengah bersantai di
depan televisi.
“Bawa
kesini!” perintahnya.
“Hai,”
aku kembali menurut.
“Bagus. Ingat
apa yang sudah kukatakan. Patuhi semua perintahku jika kau tidak mau kubuang ke
jalanan!”
Aku
terpaku, tidak tahu Ibu berkata apa, namun aku bisa melihat kalau ia sedang
marah dan berbicara dengan nada tinggi. Sedikit-sedikit aku bisa menyimpulkan
kalau Ibu akan membuangku jika tidak menuruti perintahnya.
Setelah
selesai merapikan piring bekas Ibu makan, aku segera ke kamarku. Aku ingin
mandi dan istirahat. Aku merasa lelah hari ini. Mungkin lebih tepatnya, setiap
hari aku selalu merasa lelah.
Tiit.. Tiit...
“Oyasuminasai, Hime-sama. Mimpi yang indah
ya...”
Sebuah
pesan dari Ryosuke-kun. Ya, hanya
itu. Hanya itu yang bisa melepaskanku dari penat dan rasa lelah. Keberadaan
Ryosuke-kun. Untungnya ada dia. Aku
tersenyum dan segera membalas pesannya.
***
“Hime!!!”
sebuah suara mengagetkanku dan seketika aku pun terbangun dari tidurku. “Himeeee!!!!
Aku tahu kau tuli, tapi apa suara kerasku tidak bisa membuatmu bangun??!! Cepat
buka pintunya!!” Ibu terus menggedor pintu kamarku. Aku segera membukanya.
“Doushite,
Kaa-chan?”
“Belikan
aku minuman kaleng dan makanan! Aku lapar. Di kulkas tidak ada apa-apa. Kenapa
kau ini, tidak sigap dalam hal apapun. Seharusnya kau membeli makanan lagi
sebelum persediaan di kulkas habis. Cepat pergi beli makanan!”
“Eh,
tapi Kaa-chan, ini sudah pukul 12 malam,” bantahku.
“Mau
melawan, hah? Cari supermarket 24 jam! Cepat... cepat.. cepat...!!”
“Ha-Hai,”
Tanpa
ba-bi-bu lagi aku bergegas keluar dan menuju supermarket 24 jam yang letaknya
lumayan jauh dari rumahku. Astaga, dingin sekali. Aku lupa memakai jaket.
Aku melangkahkan
kakiku menyusuri jalanan yang temaram. Begitu sepi, hanya ada satu atau dua
mobil yang lewat di jalan. Sejatinya seorang gadis akan merasa takut jika harus
berjalan sendiri di tengah malam seperti ini. Tapi, untunglah aku tidak seperti
itu. Aku sudah terbiasa melewati kegelapan, bahkan kesunyian seorang diri.
Sebelum meninggal, ayah berpesan agar aku jadi wanita yang kuat, dan sekarang aku
sedang berusaha memenuhi janjiku itu.
“Haa-hatchuuu...”
Udara
dingin membuatku bersin. Aku yakin aku akan bisa bertahan sampai kembali lagi
ke rumah. Supermarketnya sudah dekat. Tenang saja, aku pasti bisa bertahan.
Bugh!
Tanpa
sadar aku terjatuh. Rasanya pikiranku setengah sadar setengah tidak. Seharusnya
aku merasa sakit karena jatuh menghantam trotoar. Tapi, aku tidak merasa sakit.
Malah aku merasakan kehangatan di tubuhku.
“Hati-hati,”
sebuah suara membuatku mendadak tersadar kembali dan aku segera berdiri dengan
benar. Ketika aku berbalik, alangkah kagetnya ketika kulihat...
“Ryosuke-kun?”
“Mau kemana
malam-malam begini sendirian?”
“Supermarket.
Ibu menyuruhku membeli sesuatu.” Jelasku.
“Oh,
kenapa malam-malam?”
“Aku
lupa membeli persediaan makanan, jadi ibu kesusahan ketika ingin makan di
tengah malam. Terpaksa aku membelinya, ini semua juga salahku, hehe...”
“Biar aku
temani,”
“Eh,
memangnya Ryosuke-kun mau kemana? Ada yang mau dibeli juga?”
“Iie. Aku berjalan kesini hanya mengikuti
kata hatiku. Tiba-tiba aku ingin keluar dan ternyata, Hime-sama-ku sedang berada di luar sendirian,”
“Hmm...
Begitu... Ariga- Hatchuu...” Aku bersin lagi. Aku menyerosot ingusku
dan menggosok-gosok hidungku. “Gomen,” ucapku sambil tertunduk.
“Daijoubu. Kau kedinginan, ya.” Ryosuke-kun melepaskan mantel birunya dan memakaikannya
ke tubuhku. Rasa dingin yang kurasakan tadi seketika sirna dan tergantikan oleh
kehangatan yang begitu membuatku nyaman. “Ayo!” Ryosuke-kun merangkul pundakku dan kamipun berjalan menuju supermarket.
“Biar aku
yang bawa belanjaannya, ya.” Tawar Ryosuke-kun.
“Ah,
arigatou. Tapi, tidak usah repot-repot. Aku bisa sendiri,” tolakku
halus.
“Tidak
apa-apa. Sini. Biar aku yang bawa,” Ryosuke-kun
mengambil bungkusan plastik dari tanganku. Kemudian tangannya yang satu lagi
menggenggam tanganku.”Ayo jalan,” ajaknya.
“Eh,
iya.”
“Hime-sama,” panggilnya.
“Ya?”
jawabku.
“Masih
terasa dingin tidak?”
“E? He...
Iya, sedikit...”
Ryosuke-kun berbalik menghadapku dan menyimpan
belanjaan di dekat kakinya. Kedua tangannya menggengam tanganku, kemudian ia
memelukku. “Apa sekarang masih terasa dingin?”
Aku
menggeleng, dan berkata, “Hangat. Ini sangat hangat,” aku
membalas pelukannya. Kami berpelukan erat. Entah kenapa aku merasa nyaman
dengan ini semua. Setelah beberapa detik, Ryosuke-kun agak merenggangkan pelukannya. Dia menatap wajahku. Tatapannya
sangat lembut dan menenangkan. Perlahan tangannya memegang dan menarik daguku,
mendekatkan wajahku padanya. Dan, bibir kami bertemu selama beberapa detik.
Seketika itu pula, segala macam kedinginan dalam tubuhku menjelma menjadi
kehangatan yang begitu membuatku nyaman.
“Ryosuke-kun,
daisuki.” Bisikku dalam hati. “Apa kau bisa mendengarnya, Ryosuke-kun?”
***
Seperti biasa, keesokan harinya Ryosuke-kun mendatangi kiosku. Ia tersenyum
penuh kehangatan, dan penuh arti bagiku.
“Ohayou,”
sapanya singkat.
“Ohayou,” balasku.
“Beli bunga mawar,”
“Baik,” aku segera mengambil
setangkai dan memberikan padanya.
“Jangan yang ini. Aku mau se-buket,” tolaknya.
“Eh? Sebuket?” tanyaku heran. Tapi
aku segera mengambilkan buket mawar merah dan memberikan padanya.
“Yang ini berapa?” tanyanya.
“150 yen,” jawabku. Kemudian Ryosuke-kun menyerahkan uang padaku dan
mengambil bunganya.
“Ini untukmu, Hime-sama. Aku mendapat tugas ke luar kota selama sepuluh hari. Jadi selama
sepuluh hari, aku tidak bisa datang ke sini dan memberimu mawar setiap pagi.
Aku berikan sekalian saja hari ini, ya.”
“Eh?” perkataan Ryosuke-kun barusan itu membuatku kaget. “Pergi?”
“Ya. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali. Hanya
sepuluh hari. Tunggu aku, ya!” Ryosuke-kun
mengelus pipiku dan memberikan senyuman termanisnya. Entah kenapa aku merasa
dia akan pergi sangat jauh dan meninggalkan aku sendiri.
“Hati-hati, Ryosuke-kun. Jaga dirimu
baik-baik,” ujarku lirih.
“Ya, kau juga hati-hati disini, ya. Ittekimasu,”
“Itterashai...” balasku.
Kupandangi sosok itu, sampai ia benar-benar tak
dapat kulihat lagi. Entahlah, aku merasakan sesuatu yang ganjil. Ah! Aku
menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku tidak boleh berpikiran seperti ini.
Ryosuke-kun pasti baik-baik saja.
Pasti.
***
Setiap pagi aku membuka kios, aku selalu
membayangkan sosoknya yang datang dengan senyum mengembang di wajahnya yang
tampan. Membeli setangkai bunga dari kiosku kemudian memberikannya lagi padaku.
Tapi sosok itu kini tak datang lagi. Sudah dua puluh hari semenjak
keberangkatannya. Ini berarti dia sudah mengingkari sepuluh hari dari
perjanjian. Aku tak sabar menunggunya. Aku.... merindukannya. Kualihkan pandanganku
pada sederet bunga mawar pemberiannya. Semua masih kujaga baik-baik. Walaupun
warnanya sudah tak indah lagi, tapi bagiku mereka akan tetap indah sampai
kapanpun. Seindah perasaanku pada Ryosuke-kun.
Takkan pernah lapuk termakan oleh waktu.
“Ryosuke-kun... Sedang apa kau disana?”
bisikku.
***
Sudah satu bulan lebih. Ryosuke-kun tidak pulang. Apa yang harus aku lakukan? Bahkan ponselnya
tidak bisa dihubungi. Otakku mulai berpikir dan membayangkan hal yang
tidak-tidak. Aku menggeleng dengan cepat. Ryosuke-kun pasti baik-baik saja. Ryosuke-kun...
“Ryosuke-kun!” teriakku. Aku
melihatnya sekarang. Dia kembali berjalan melewati kiosku. Tapi dia tidak
menoleh. “Ryosuke-kun!” panggilku sekali lagi. Aku berusaha mengejarnya.
Ketika ia menoleh, ia memiringkan kepalanya sedikit.
Keningnya berkerut, seperti sedang mengingat sesuatu. “Dare?”
Apa? Dia tidak mengenalku?
“Oe-un... A-yo (Ryosuke-kun, ohayou),”
sapaku.
“Hah? Maaf,”
“Oe-un.. Ak e-nal a-u? (Ryosuke-kun tidak
kenal aku?)”
Ia masih mengernyit. Tampaknya ia tidak mengerti apa
yang kubicarakan. Isyarat-isyarat yang kubuat dengan tanganku pun tak dapat ia
baca.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” ia bertanya
padaku.
“Me (Hime),” jawabku sambil menunjuk
diri sendiri. “Ios- nga (Kios bunga),” aku menunjuk kiosku di sudut jalan. Ia
melongok memperhatikan tempat yang kutunjuk. Lagi-lagi ia mengernyit.
“Kau penjual bunga?” tanyanya polos.
Tuhan, aku masih tidak percaya. Apa yang terjadi
pada Ryosuke-kun sampai dia tidak
mengenalku? Apa ia mengalami kecelakaan selama di luar kota?
“Un, ir (ya, mau mampir),?” terpaksa
aku bertindak seolah aku juga baru mengenalnya.
“Ah, maaf nona, aku... tidak mengerti. Sekali lagi
maaf,”
“Ryosuke!” tiba-tiba seseorang memanggil Ryosuke-kun. Itu Daiki-kun. Dia teman kerja Ryosuke-kun.
Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. “Eh, Hime-chan... Apa kabar?”
“Ik (Baik),”
“Kau kenal dia, Daiki?”
“Ya, dia teman kita,”
“Oh, gomen na,
eh...” Ryosuke-kun menggantungkan
ucapannya.
“Hime,” Daiki-kun
berbisik.
“Hime-san,”
ia membungkuk sedikit. ‘Hime-sama’,
ia biasanya memanggilku ‘Hime-sama’.
Tapi sekarang ia bahkan lupa namaku.
“Un, obu (Un, daijoubu),” balasku.
“Hime-chan,
kami berangkat kerja dulu. Nanti aku akan menghubungimu, ya” kata Daiki-kun padaku.
“Un,” aku mengangguk. Kemudian mereka
berdua pergi meninggalkanku yang masih mematung tak percaya.
“Daiki, aku benar-benar tidak bisa mengingatnya. Aku
jadi tidak enak padanya,”
“Sudahlah, jangan memaksakan dirimu. Lambat laun kau
juga akan ingat semua memori masa lalumu,”
“Aku bahkan baru saja mengenalmu. Aku tidak ingat
kita sudah berapa lama berteman.”
“Haha.. Tidak apa-apa. Aku akan membantumu mengingat
semuanya, tenang saja,”
“Satu lagi. Aku tidak bisa mengerti apa yang gadis
tadi bicarakan padaku. Dia...”
“Tidak bisa bicara. Dulu kau orang yang paling
mengerti apa yang dia katakan, lho.”
“Benarkah?” Ryosuke mengernyit. Ia terdiam beberapa
saat – berusaha mengingat sesuatu. “Ahh...” ia memegang belakang kepalanya.
“Sudah kubilang jangan memaksakan mengingat,
pelan-pelan saja,”
***
Amnesia. Itu yang sekarang sedang terjadi pada
Ryosuke-kun. Ia mengalami kecelakaan
sewaktu berada di Osaka. Kepalanya terbentur dan terluka parah. Akibatnya, ia
harus kehilangan memori yang sudah ia simpan di dalam otaknya, termasuk,
menghilangkan ingatan tentang aku.
Daiki-kun
bilang padaku dia akan membantu Ryosuke-kun
mengembalikan ingatannya. Tapi ia menyuruhku untuk bersabar karena itu akan
membutuhkan waktu yang lama. Ya, mungkin aku memang harus menunggu.
“Ohayou,” sapa
seseorang padaku. Aku langsung sumringah ketika melihat itu adalah Ryosuke-kun.
“A-yo (Ohayou),”
“Ano... Daiki bilang aku harus ke sini setiap pagi
dan membeli bunga mawar,” ujarnya kikuk.
“Ah... hai, tte.. (Ah, hai, matte),”
Aku mengambil setangkai mawar dan memberikan padanya. “Ua-uh-ma-en (25 yen),”
ujarku sambil membentuk isyarat dengan jari-jariku.
“Sebentar,” ia merogoh sakunya dan memberikan uang
padaku. “Ini,”
“Hai,”
Ia kemudian berbalik tanpa memberikan bunga itu
padaku. Tidak seperti yang biasa ia lakukan. Sebelum keluar, ia berhenti untuk
melihat bunga-bunga mawar layu di mejaku. Cukup lama ia memperhatikan
bunga-bunga itu.
“Ano... Kenapa bunga itu dibiarkan layu disana?”
“Ah, tu-erian ri- oang (Aah, itu pemberian
dari seseorang),” jawabku.
“Sese..orang?” ia meyakinkan diri bahwa kata yang
ditangkapnya dari mulutku itu benar. Aku mengangguk. “Souka...” ia pun mengangguk. “Baiklah, aku pergi dulu, ya, Hime-san,” pamitnya.
“Un, ti (Un, hati-hati),”
***
“Ryosuke,” sapa Mizuki. Tapi Ryosuke hanya
menanggapinya asal. “Ah, bunga untukku?” Mizuki merebut bunga itu dari tangan
Ryosuke.
“Tidak tahu,”
“Kok tidak tahu, lalu kau beli untuk siapa?”
“Kalau kau mau ambil saja,”
“Benarkah? Terima kasih, sayang. Memang kau harus
begitu pada calon istrimu,”
Ryosuke menyipitkan matanya, “Calon istriku?”
“Iya, kita kan sudah lama berpacaran, dan akhir
bulan ini kau janji akan mengajakku menikah,”
“Apa iya?”
“Tentu saja,”
Ryosuke berpikir sejenak. Seperti biasa, kepalanya
terasa sakit jika dibawa berpikir keras untuk memanggil kembali memori yang
sudah tercerai-berai keluar dari otaknya.
“Ryosuke,” panggil Daiki.
“Ya,”
“Kau dipanggil Tuan Tachibana,”
“Oh, baik. Aku kesana,”
“Hey. Apa yang baru saja kau katakan pada Ryosuke?”
Daiki memandang sinis pada Mizuki.
“Tidak ada,”
“Kenapa bunga iu ada padamu?”
“Tentu saja Ryosuke yang memberikannya padaku. Dia
mencintaiku, Daiki. Kau harus tahu itu,”
“Hhhh... Jangan coba-coba kau mengatakan hal yang
tidak benar tentang masa lalunya. Aku yang akan mengembalikan ingatannya, kau
tahu?!” gertak Daiki.
“Masa bodoh! Aku tetap akan memaksanya percaya kalau
aku itu tunangannya, lihat saja,” Mizuki tersenyum licik.
“Dasar licik,”
“Aku tidak peduli!”
***
“Heh, Hime!!” bentak Ibu. “Kemari kau!!”
“Hai, Kaa-chan,”
“Mana uang untuk membayar sewa rumah ini? Tadi
pemilik rumah datang dan menagihnya,”
“Uangnya belum cukup, Kaa-chan,”
“Ah, alasan klise! Kau gunakan untuk apa uang hasil
berjualanmu itu? Kau pakai untuk berfoya-foya, hah? Kau pakai untuk
bersenang-senang dengan laki-laki?”
“Tidak!” bantahku. “Aku
tidak menggunakannya untuk apa-apa, Kaa-chan. Sungguh, uangnya memang belum
cukup, mungkin minggu depan aku baru bisa mengumpulkan uangnya,”
“Aaahhhh!!! Aku tidak mau dengar alasanmu lagi!
Mulai sekarang aku akan pergi ke rumah ibuku. Kau tinggal saja sendiri disini,
dan hadapi si pemilik rumah itu. Aku tidak mau ambil pusing.”
“Kaa-chan.. Akan meninggalkanku?”
“Ya, kenapa? Dari dulu juga aku sudah ingin
membuangmu. Aku tidak sudi punya anak sepertimu. Hanya membuatku malu saja!”
“Kaa-chan,” aku menangis, mencoba
menahan Ibu agar tidak pergi.
“Lepaskan, anak bodoh! Seberapapun kau memelas aku
akan tetap pergi. Aku akan bilang pada Ibu kalau kau sudah mati! Tahu!?”
“Kaa-chan,” aku mencoba menjerit.
Tapi aku tak bisa bersuara. Semua yang kulakukan sia-sia. Aku hanya bisa
menangis. “Kaa-chan,”
***
Malam ini aku sendirian. Walaupun biasanya Ibu
memang tidak memperdulikanku, tapi kali ini berbeda. Rasanya sungguh berbeda.
Apa tidak cukup aku kehilangan ayahku? Apa tidak cukup aku menghilang dari
ingatan Ryosuke-kun? Apa sekarang aku
harus kehilangan Ibu juga? Jujur, aku lebih memilih Ibu ada di sini, walaupun
ia selalu memarahiku. Aku tidak apa-apa. Daripada Ibu harus pergi
meninggalkanku, dan menganggap aku sudah mati.
Aku duduk di pinggir jendela kamarku. Air mata di
pipiku sudah mengering tertiup angin malam. Di bawah sana aku melihat seorang
pria dengan mantel birunya. Berjalan dengan santai. Sepertinya dia baru pulang
kerja.
“Ryosuke-kun, konbanwa,”
Seketika kulihat pria itu menghentikan langkahnya.
Tapi kemudian ia meneruskan langkahnya lagi.
Ia sekarang sama sekali tidak bisa mendengarku. Ia
tidak mengerti lagi apa yang kubicarakan.
Aku sendiri.....
Ayah....
Ibu...
Ryosuke-kun...
Aku merindukan kalian.....
***
Setahun
kemudian...
Dan sekarang aku benar-benar sendiri. Tidak ada
siapa-siapa di sisiku. Tidak ada yang menenangkanku ketika aku gelisah dan
takut. Tidak ada yang melarangku menangis. Tidak ada yang mengajakku tersenyum.
Tidak ada lagi ayah. Tidak ada lagi ibu. Tidak ada lagi bunga mawar. Tidak ada
lagi Ryosuke-kun. Semuanya tidak ada.
Semuanya telah pergi dariku. Dan aku hanya bisa menangis, memeluk lututku di
sudut kamar.
Aku ingin kalian.... Aku ingin kalian....
Aku tahu duniaku sudah hening. Tapi aku tidak suka ini.
Keheningan yang semula menenangkan kini telah berubah jahat. Semuanya menjadi
keheningan yang mencekam.
Ibu mungkin telah bahagia tinggal dengan nenek. Ayah
sudah pasti bahagia di surga sana. Dan, Ryosuke-kun. Dia akan segera menemukan kebahagiaannya. Ryosuke-kun akan menikah dengan wanita yang
bernama Mizuki.
Apa ada hal kejam lain yang harus aku terima?
Apa ini saja tidak cukup?
Mataku basah. Air mata terus mengalir membanjiri pipiku.
Aku kehilangan...
Tolong, dengarkan aku.... Aku ingin kau ada disini.......
Ingatanku menerawang ke malam dimana aku terakhir
kali bersama Ryosuke-kun. Itu
terakhir – tepatnya pertama dan terakhir, aku merasakan hangat tubuhnya. Berada
di pelukannya. Kini dia tidak mengenalku lagi. Semua usahaku dan Daiki-kun untuk mengembalikan ingatannya tak
berhasil. Ia tetap tidak bisa mengingat hal yang biasa ia lakukan denganku.
Mizuki, dia yang paling men-doktrin Ryosuke-kun
agar percaya bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Ketika aku dan Daiki-kun menyanggahnya, itu hanya membuat
Ryosuke-kun bingung dan tersiksa
dengan sakitnya. Maka aku bisa apa? Aku tidak mungkin membuatnya semakin
tersiksa dengan memaksanya untuk mengingatku.
Ketika ia datang ke kiosku bersama Daiki-kun. Ia menyerahkan undangan
pernikahannya. Ia memintaku datang. Sungguh, aku pikir dia bercanda.
Aku tahu, dia memang tidak pernah bilang kalau dia
mencintaiku. Begitupun juga aku. Selama ini aku hanya mencintainya dalam diam. Tanpa
pernah mengatakannya.
Aku juga tahu ini bukan salahnya. Kecelakaan ini
bukan keinginannya. Bukan keinginannya kehilangan ingatan.
“Kau akan datang, kan?”
“Un, aku pasti datang,” aku menjawab
mantap dan tersenyum ke arahnya.
“Arigatou,”
dia membalas senyumku. Sekarang dia sudah bisa mengerti bahasa isyarat yang aku
gunakan.
“Maafkan aku, Hime-chan,” Daiki-kun berkata
lirih.
“Iie. Daijoubu,” jawabku – berusaha
tegar.
***
Lonceng gereja sudah terdengar ketika aku baru saja
berjarak 500 meter dari gerbang gereja. Ya, hari ini hari pernikahan Ryosuke-kun. Aku memenuhi janjiku untuk datang.
“Daiki-kun,”
“Ya...”
“Apa aku bisa meminta sesuatu?”
“Apa itu?”
“Aku ingin bertemu dengan Ryosuke-kun sebelum
pernikahannya dimulai. Apa boleh?”
“Eh? Kurasa boleh. Acaranya baru akan dimulai satu
jam lagi. Ayo,”
“Arigatou,” aku berterima kasih.
Daiki-kun
terlihat menghampiri Ryosuke-kun. Tak
lama kemudian Ryosuke-kun
menghampiriku.
“Ada apa, Hime-san?”
“Ano...” dengan ragu aku menyerahkan sebuah
toples kecil padanya. “Aku ingin kau menyimpan ini,”
“Apa ini?” ia membuka tutup toplesnya.
“Itu abu dari mawar yang kubakar,”
“Eh?”
“Bacalah, disitu ada suratnya,”
Ryosuke-kun
membuka lipatan kertas yang kuberikan bersama toples itu. Aku menulis surat
padanya karena tahu dia tidak akan menangkap apa yang kubicarakan jika aku
berbicara langsung padanya.
“Ini mawar
dari seseorang yang sangat berarti bagiku. Yang selalu aku nantikan kedatangannya.
Aku selalu menyimpannya, sampai seseorang itu benar-benar tidak kembali lagi
padaku. Awalnya aku masih berharap seseorang itu bisa kembali. Namun, aku rasa
itu tak mungkin lagi. Aku tidak mungkin bisa bersamanya. Maka dari itu, aku
memutuskan untuk membakar semua mawar yang pernah dia berikan padaku. Agar aku
bisa melupakan perasaanku padanya. Ryosuke-kun, maafkan aku. Tapi... aku
mencintaimu...”
Ryosuke-kun
terlihat kaget ketika membaca kalimat terakhir yang kutulis. Sebenarnya aku
tidak yakin akan mengatakannya. Tapi aku tidak ingin menyesal dengan menyimpan
semua perasaanku padanya. Aku menunduk dalam-dalam. Aku benar-benar takut dia
akan marah padaku.
“Hime-san,”
suara lembutnya memanggilku. Pelan-pelan tangannya mengangkat wajahku. Matanya
melihat ke dalam mataku. Cukup lama. Kemudian ia menggenggam tanganku. Kehangatan
yang kurasakan masih tetap sama. Dia memang tidak pernah berubah. Hanya
kecelakaan itu yang membuat dia berubah.
“Ryosuke,” seseorang memanggil Ryosuke-kun. “Kau dipanggil ibumu, kesana lah,
acaranya sebentar lagi dimulai,”
“Ah, baik,” sebelum beranjak, Ryosuke-kun kembali menatap mataku.
“Terima kasih. Aku akan simpan abunya,” dia
tersenyum kemudian pergi meninggalkanku.
Daiki-kun
menghampiriku, “Ayo masuk,”
Aku mengangguk, kemudian menggandeng tangannya.
Saat sumpah pernikahan dilaksanakan, aku benar-benar
tidak sanggup. Aku rasa aku ingin pergi saja dari sini.
“Yamada Ryosuke, apa kau bersedia menerima Mizuki
Sato sebagai istrimu? Berjanji untuk mencintainya dalam suka maupun duka, sakit
maupun senang, hingga maut memisahkan kalian berdua?”
Ryosuke-kun
terdiam cukup lama, tak segera menjawab pertanyaan itu.
“Yamada Ryosuke?” pastur itu memastikan bahwa Ryosuke-kun baik-baik saja. “Apakah kau ber...”
“TIDAK!” jawabnya tiba-tiba.
Kontan saja jawabannya itu membuat semua orang di
dalam gereja – termasuk aku – tersentak kaget. Seketika ruangan gereja dipenuhi
suara berisik orang yang berbisik-bisik dengan orang di sampingnya. Mereka
pasti bertanya-tanya apa yang terjadi.
“Ryosuke!” teriak Mizuki. “Ada apa denganmu?”
“Aku tidak mencintaimu, Mizuki. Kau yang memaksaku
untuk menikah.”
“Apa maksudmu?”
Tanpa mempedulikan Mizuki, Ryosuke-kun turun dari altar dan menghampiriku.
“Hime-sama,”
“Eh?” dia memanggilku seperti itu
lagi.
“Maafkan aku,” ujarnya lirih.
“Iie. Tidak usah minta maaf,”
“Menikahlah denganku sekarang,”
“Eh?”
“Maukah kau menikah denganku, Hime-sama?”
Aku tidak menjawab. Tapi aku langsung mengangguk
mantap. Bulir-bulir bening kembali mengaliri pipiku saat mengucap sumpah
pernikahan dengan Ryosuke-kun. Hatiku
gerimis. Kesejukan itu kembali kurasakan.
***
Aku hendak
menutup jendela kamarku sore itu ketika kurasakan sepasang tangan menyentuh
pinggangku, kemudian dengan erat mendekapku. Suamiku, Ryosuke-sama. Ia mencium leherku dengan lembut,
kemudian membisikkan sesuatu ke telingaku.
“Aishiteru, Hime-sama. Tottemo aishiteru,”
Perlahan
aku melepaskan pelukannya dan berbalik menghadapnya. Kukalungkan tanganku ke
lehernya. Dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan menempelkan keningnya di
keningku.
“Aishiteru
mou, Ryosuke-sama. Tottemo aishiteru,” bisikku.
Ryosuke-sama tersenyum lembut padaku. Sedetik
kemudian bibirnya dengan lembut menyentuh bibirku.
Aku
mencintainya. Aku bahagia bersamanya. Terima kasih, Kamisama.
Ya, aku
tahu. Walaupun aku sempat menghilang dari memorinya, tapi aku yakin bahwa aku
tidak pernah benar-benar menghilang dari hatinya.
***
Epilog:
Tiit.. Tiit...
“Moshii.. moshii...”
“Hime.... Kau dimana sekarang? Ibu merindukanmu,
Hime...” kudengar suara isak tangis dari seberang telepon.
“Kaa-chan?”
***
=The End=
Glosarium:
Ohayou:
Selamat pagi
Un/hai:
Iya
Arigatou:
Terima kasih
Tadaima:
Aku pulang
Kaa-chan:
(okasan) Ibu
Oyasuminasai:
Selamat malam/ selamat tidur
Doushite:
ada apa/kenapa
Gomen:
maaf
Daisuki:
aku sayang kamu
Ittekimasu:
aku pergi dulu
Itterashai:
hati-hati
Dare:
siapa
Daijoubu:
tidak apa-apa
Matte:
tunggu
Souka: Oh
begitu
Konbanwa:
Selamat malam
Iie:
tidak/bukan
Tottemo
aishiteru: Aku sangat mencintaimu
Kamisama:
Tuhan
Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie [Asy
Chan]
Bandung, 13 Oktober 2012
2012年10月13日
[Asy
Chan kara Yuki-chan e...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d