To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 26 Agustus 2012

[Fanfiction] Angel with(out) Wings~ [Chapter V] {Indonesian Version}





Title                             : Angel with(out) Wings~
Categories                 : Multichapter
Genre                         : Fantasy – Romance – Friendship  
Rating                        : Teenager – PG-15
Theme song              : Angel comes to me – Yabu Kota [Hey! Say! JUMP], Angel’s Wings - Westlife
Author                                    : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s]                        :
  1. Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
  2. Hey! Say! JUMP members
  3. Shida Mirai
  4. Amakusa Ryuu (Original character)
  5. Daichi (Original Character)
  6. Nyonya Lin (Original character)
Disclaimer! : All casts are not mine. The story is mine.
Synopsis/Quote: When a fairy flies down to the earth and falls in love...
 
<-->

Chapter Five: Let’s Start the Mission

“Ryo,” panggil Ryuu. Ia baru saja tiba dari sekolah. “Ryo,” panggilnya sekali lagi. Tidak ada jawaban. Ryuu mengerutkan kening. Aneh. “Kemana anak itu?” gumamnya pelan. “Kunci masih menggantung di pintu, tapi Ryo tidak ada di rumah,” Ryuu menyimpan tasnya di atas meja lalu menuju ke dapur untuk mengambil air minum. Perjalanan pulang dari sekolah memang tidak terlalu jauh, tapi sengatan matahari yang begitu terik cukup membuat kerongkongannya kering. Ryuu menuangkan air ke dalam gelas, lalu dengan sigap ia meneguk isinya dan dengan hitungan detik gelas itu sudah kosong kembali. “Aahh, segaar,” Ryuu mengelap sudut bibirnya. “Walaupun bukan air es seperti di rumah, tapi lumayan lah,”

Tiba-tiba terdengar pintu dibuka. Ryuu segera menoleh ke arah pintu. Ryo!

“Dari mana kau? Kenapa pergi tanpa mengunci pintu?” Ryuu langsung menodongnya dengan pertanyaan.

“Haa... Aku lupa. Hehe... Maaf,” jawab Ryo sambil memasang wajah innocent. Lalu ia segera berbaring di lantai – seperti biasa.

“Apanya yang lupa? Kau ini ceroboh, tahu?!” Ryuu tak puas dengan jawaban Ryo.

“Memangnya kenapa?”

“Kalau kau mau pergi? Setidaknya kunci pintu, berbahaya,” Ryuu melepas kemeja dan menggantungkannya di paku.

“Bahaya apa? Memangnya siapa yang akan mencuri di rumah ini. Disini tidak ada apa-apa,” jawab Ryo tenang.

“Kau iniiii....” Ryuu mulai geram. “Hhh... Ya sudahlah. Yang penting tidak terjadi apa-apa,” Ryuu ikut membaringkan tubuh di samping Ryo. “Ngomong-ngomong, kau kemana tadi?”

Tanpa melihat Ryuu, Ryo menjawab, “Adaa dehhh...” kemudian ia mengubah posisinya berbalik ke samping – membelakangi Ryuu.

“Heeh... Apa-apaan itu?!” Ryuu melotot ke arah Ryo – percuma, Ryo juga tidak melihatnya. Ryuu menarik bahu Ryo. Kini mereka berhadapan. “Katakan kau tadi dari mana?”

“Memangnya kenapa? Apa kau harus tahu?” Ryo mengangkat alis.

“Ehh.. Dasar kau orang menyebalkan!” Ryuu mendorong bahu Ryo.

“Ya sudah,” jawab Ryo datar. Kemudian ia membalikkan badannya lagi.

“Kita akan mencari pekerjaan kemana? Kau punya ide?” Ryuu mengalihkan pembicaraan.

“Restoran,” jawab Ryo singkat.

“Apa? Kau yakin?”

“Ya,”

“Yamada Ryosuke! Aku beritahu ya, tidak sopan namanya kalau berbicara sambil membelakangi orang yang kau ajak bicara!”

“Aku tidak mengajakmu bicara. Kau yang mengajakku,”

“Ih, aku tidak tahu ada orang sepertimu di dunia ini. Menyebalkan sekali!” Ryuu bangkit dan duduk bersandar ke dinding. “Restoran, ya?” gumamnya pelan. “Boleh juga,” ia mengangguk-angguk. “Eh, tapi memangnya kau bisa masak?”

Ryo diam.

“Ryosuke!” teriak Ryuu.

“Eh? Kau berbicara denganku?” Ryo berbalik menatap Ryuu – menunjuk hidungnya sendiri.

Ryuu mendesah – kesal. “Apa ada orang lain di ruangan ini yang bisa kuajak bicara?”

“Pekerjaan di restoran kan bukan hanya masak, kita bisa cuci piring, mengepel lantai atau hanya mengantarkan pesanan seperti gadis yang kemarin itu,”

“Benar juga. Kalau begitu, ayo!”

“Sekarang?”

“Memangnya kapan lagi? Sudah kubilang lebih cepat lebih baik,” Ryuu menyambar celana yang tergantung, kemudian ke kamar mandi untuk mengganti celana seragamnya.

“Ayo cepat, Ryo!” Ryuu masih mendapati Ryo yang tengkurap di atas lantai. Ia bangun dengan malas.

“Bawel!” katanya sambil melewati Ryuu.

“Euh! Kau!” Ryuu mengangkat kepalan tangannya ke udara dan meninju udara kosong – tak mungkin ia menyalurkan hasratnya untuk memukul Ryo. Itu gila.

<-->

Ryo dan Ryuu mendatangi restoran tempat Mirai bekerja. Hanya restoran itu yang terdekat dan mereka tahu. Mereka masih berdiri mematung di depan restoran. Ragu-ragu.

“Apa kau yakin tidak akan mencari restoran lain saja?” Ryuu menelan ludah. Ia ingat kejadian waktu Ryo membuat kekacauan di restoran itu.

“Tidak. Kita di sini saja,” ujar Ryo mantap. Tentu saja dia punya maksud pribadi mengapa tetap bersikeras ingin bekerja disitu. Hanya ingin segera menyelesaikan hukuman dari Yang Mulia Ratu.

“Kau tidak ingat apa yang sudah terjadi waktu lalu?”

“Sudah lupa,” jawabnya datar. Kemudian melenggang masuk ke restoran.

“Hey! Tunggu!” Ryuu berlari menyusul Ryo.

Ryo mengitarkan pandangan ke setiap sudut restoran. Mencari sosok Mirai. Dan, ah... ketemu! Ryo segera menghampiri Mirai.

“Selamat siang, Mirai-san,” sapanya ramah.

Mirai terdiam sejenak, namun ia tersadar akan kewajibannya terhadap seorang pelanggan dan segera mengukir senyum manis. “Ada yang perlu saya bantu, Tuan?”

“Aku ingin bekerja disini,”

Ryuu menyikut tangan Ryo.

“Ah, maksudku, kami. Kami ingin bekerja disini,”

“Temui pemilik restoran ini saja. Kantornya di sebelah sana,” Mirai menunjuk ke sudut kiri restoran.

Ryo terdiam. Menatap Mirai. Mirai merasa risih dan mengkerutkan keningnya. “Ada apa?”

“Oh, terima kasih. Kami akan ke sana,” Ryuu membungkukkan badan berterima kasih kemudian menarik Ryo menuju kantor yang dimaksud.

‘Owner’ itu tulisan yang tertempel di pintunya. Pintu kayu yang catnya sudah agak pudar. Ryuu mengetuk pintu. Suara dari dalam terdengar mempersilahkan mereka masuk.

“Permisi,”

Seorang pria paruh baya berkumis tebal dengan cerutu di mulutnya menyambut mereka. Tubuhnya tidak terlalu kurus tapi juga tidak gemuk. Singkatnya, sedang. Jika dia berdiri, mungkin tingginya hanya beberapa centimeter di atas Ryo. Pria itu mengulurkan tangan, memberi isyarat untuk duduk. Ryo dan Ryuu duduk di kursi yang tersedia. Saat diduduki, kursi itu bergoyang. Kakinya tidak sama. Satu bantalan karetnya sudah terlepas. Mereka tak habis pikir. Padahal restoran ini selalu ramai pengunjung. Pendapatan restoran ini per bulannya sepertinya cukup besar, tapi kenapa pemiliknya tidak punya niat untuk setidaknya mengecat ulang dinding dan pintu, atau mengganti kursi yang sudah usang. Apa orang ini begitu pelit?

“Ada perlu apa, anak muda?” suara pria itu terdengar parau.

“Eh, itu. Tuan, saya Amakusa Ryuu, dan ini teman saya Yamada Ryosuke. Kami ingin melamar pekerjaan disini,” Ryuu angkat bicara. Pria itu mengangguk-angguk. Melepaskan cerutu dari mulutnya dan menyembulkan asap ke udara. Ryo dan Ryuu terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangan di depan hidung mereka. Mencoba ‘menangkis’ asap yang berkeliaran di sekitar mereka.

“Ah, maaf. Kalian tidak suka asap rokok, ya?”

Ryuu dan Ryo hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan itu. Dalam hati Ryo bertanya, ‘Benda apa yang kecil dan berasap itu? Apa itu makanan?’

“Aku paling tidak bisa menahan diri untuk tidak merokok. Setidaknya aku hanya merokok di ruangan ini dan tidak melakukannya di depan pelangganku. Hahaha...” ia terbahak dengan suaranya yang berat. Pria itu menepukkan cerutunya di pinggir asbak hingga abunya berjatuhan. “Oh ya. Aku Hiroshi, pemilik restoran ini. Apa ada yang bisa aku bantu?”

“Kami sedang mencari pekerjaan, Tuan Hiroshi,” ujar Ryo. Tuan Hiroshi mengangguk-angguk. Jarinya iseng memelintir ujung kumis tebalnya.

“Restoran kami memang sedang mencari pegawai. Tapi...” tuan Hiroshi menggantungkan kalimatnya. Ryo dan Ryuu melongo menunggu tuan Hiroshi melanjutkan ucapannya. “tapi aku hanya membutuhkan satu orang pegawai,” lanjutnya. Kemudian kembali mengisap gulungan tembakau yang sedari tadi bertengger di sela jarinya.

Ryo dan Ryuu saling bertatapan seolah saling bertanya ‘Bagaimana ini?’

“Kalau begitu aku saja yang ambil,” bisik Ryo.

“Apa kau yakin? Bagaimana denganku?” Ryuu balas berbisik.

“Ya. Biar aku saja yang bekerja. Agar aku bisa mendapat uang untuk mengganti uangmu,” jawab Ryo yakin.

“Hmm... Aku akan bekerja sebagai apa, Tuan Hiroshi?” tanya Ryo.

“Apa kau bisa memasak?”

Ryo menggeleng.

“Mencuci piring?”

“Mungkin bisa,” jawab Ryo.

“Ah, sebentar. Aku rasa kau lebih cocok menjadi waiter,”

“Wa.. waiter?”

“Ya. Mengantarkan pesanan ke meja-meja,”

“Seperti Mirai,” gumam Ryo pelan. Lekas ia menggeleng ketika dua pria yang sedang bersamanya bertanya apa yang sedang ia gumamkan.

“Baiklah. Kapan saya bisa mulai bekerja?”

“Kapanpun kau mau. Sekarang juga bisa,”

“Ah?”

“Mari kuantar kau ke dapur,”

“Baiklah,” Ryo dan Ryuu beranjak dari kursi mengikuti tuan Hiroshi.

Ryo berhenti sejenak. “Ryuu,” panggilnya. Ryuu menoleh, tanpa suara. “Maaf,” Ryuu mengangguk. Hatinya tersenyum. Akhirnya Ryo bisa sedikit bersikap lembut.

“Bersemangatlah, Ryo!” Ryuu tersenyum. Menepuk pundak Ryo, sementara tangan yang satunya mengepal memberi Ryo semangat.

Un,” Ryo mengangguk. “Aku akan berusaha,”

Baguslah, Ryuu berharap ini bisa menjadi jalan bagi Ryo untuk memperbaiki diri, agar ia tidak bermalas-malasan lagi. Ryuu masih bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Tokyo ini sangat luas, kan?
<-->
To be Continued...

2 komentar:

  1. its become atractive :)

    more good if there is not mirai LOL *jealous///

    seru, ditunggu lanjutannya yah (^^.)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe~ sankyuu~

      haha.. the end of this story will make you happy ^^

      okke kak.. masih tahap revisi.. ^^

      Hapus

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...