Categories : Multichapter
Genre : Fantasy – Romance – Friendship
Rating : Teenager – PG-15
Theme song : Angel comes to me – Yabu Kota [Hey! Say! JUMP], Angel’s Wings - Westlife
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s] :
- Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
- Hey! Say! JUMP members
- Shida Mirai
- Amakusa Ryuu (Original character)
- Daichi (Original Character)
- Nyonya Lin (Original character)
Disclaimer! : All casts are not mine. The story
is mine.
Synopsis/Quote: When a fairy flies down to the
earth and falls in love...
<-->
Chapter Five: Let’s Start the
Mission
“Ryo,” panggil
Ryuu. Ia baru saja tiba dari sekolah. “Ryo,” panggilnya sekali lagi. Tidak ada
jawaban. Ryuu mengerutkan kening. Aneh. “Kemana anak itu?” gumamnya pelan. “Kunci
masih menggantung di pintu, tapi Ryo tidak ada di rumah,” Ryuu menyimpan tasnya
di atas meja lalu menuju ke dapur untuk mengambil air minum. Perjalanan pulang dari
sekolah memang tidak terlalu jauh, tapi sengatan matahari yang begitu terik
cukup membuat kerongkongannya kering. Ryuu menuangkan air ke dalam gelas, lalu
dengan sigap ia meneguk isinya dan dengan hitungan detik gelas itu sudah kosong
kembali. “Aahh, segaar,” Ryuu mengelap sudut bibirnya. “Walaupun bukan air es
seperti di rumah, tapi lumayan lah,”
Tiba-tiba
terdengar pintu dibuka. Ryuu segera menoleh ke arah pintu. Ryo!
“Dari mana kau?
Kenapa pergi tanpa mengunci pintu?” Ryuu langsung menodongnya dengan
pertanyaan.
“Haa... Aku
lupa. Hehe... Maaf,” jawab Ryo sambil memasang wajah innocent. Lalu ia
segera berbaring di lantai – seperti biasa.
“Apanya yang
lupa? Kau ini ceroboh, tahu?!” Ryuu tak puas dengan jawaban Ryo.
“Memangnya
kenapa?”
“Kalau kau mau
pergi? Setidaknya kunci pintu, berbahaya,” Ryuu melepas kemeja dan
menggantungkannya di paku.
“Bahaya apa?
Memangnya siapa yang akan mencuri di rumah ini. Disini tidak ada apa-apa,”
jawab Ryo tenang.
“Kau
iniiii....” Ryuu mulai geram. “Hhh... Ya sudahlah. Yang penting tidak terjadi
apa-apa,” Ryuu ikut membaringkan tubuh di samping Ryo. “Ngomong-ngomong, kau
kemana tadi?”
Tanpa melihat Ryuu,
Ryo menjawab, “Adaa dehhh...” kemudian ia mengubah posisinya berbalik ke
samping – membelakangi Ryuu.
“Heeh... Apa-apaan
itu?!” Ryuu melotot ke arah Ryo – percuma, Ryo juga tidak melihatnya. Ryuu menarik
bahu Ryo. Kini mereka berhadapan. “Katakan kau tadi dari mana?”
“Memangnya
kenapa? Apa kau harus tahu?” Ryo mengangkat alis.
“Ehh.. Dasar
kau orang menyebalkan!” Ryuu mendorong bahu Ryo.
“Ya sudah,”
jawab Ryo datar. Kemudian ia membalikkan badannya lagi.
“Kita akan
mencari pekerjaan kemana? Kau punya ide?” Ryuu mengalihkan pembicaraan.
“Restoran,”
jawab Ryo singkat.
“Apa? Kau
yakin?”
“Ya,”
“Yamada
Ryosuke! Aku beritahu ya, tidak sopan namanya kalau berbicara sambil
membelakangi orang yang kau ajak bicara!”
“Aku tidak
mengajakmu bicara. Kau yang mengajakku,”
“Ih, aku tidak
tahu ada orang sepertimu di dunia ini. Menyebalkan sekali!” Ryuu bangkit dan
duduk bersandar ke dinding. “Restoran, ya?” gumamnya pelan. “Boleh juga,” ia
mengangguk-angguk. “Eh, tapi memangnya kau bisa masak?”
Ryo diam.
“Ryosuke!”
teriak Ryuu.
“Eh? Kau
berbicara denganku?” Ryo berbalik menatap Ryuu – menunjuk hidungnya sendiri.
Ryuu mendesah –
kesal. “Apa ada orang lain di ruangan ini yang bisa kuajak bicara?”
“Pekerjaan di
restoran kan bukan hanya masak, kita bisa cuci piring, mengepel lantai atau
hanya mengantarkan pesanan seperti gadis yang kemarin itu,”
“Benar juga. Kalau
begitu, ayo!”
“Sekarang?”
“Memangnya
kapan lagi? Sudah kubilang lebih cepat lebih baik,” Ryuu menyambar celana yang
tergantung, kemudian ke kamar mandi untuk mengganti celana seragamnya.
“Ayo cepat,
Ryo!” Ryuu masih mendapati Ryo yang tengkurap di atas lantai. Ia bangun dengan
malas.
“Bawel!” katanya
sambil melewati Ryuu.
“Euh! Kau!”
Ryuu mengangkat kepalan tangannya ke udara dan meninju udara kosong – tak
mungkin ia menyalurkan hasratnya untuk memukul Ryo. Itu gila.
<-->
Ryo dan Ryuu
mendatangi restoran tempat Mirai bekerja. Hanya restoran itu yang terdekat dan
mereka tahu. Mereka masih berdiri mematung di depan restoran. Ragu-ragu.
“Apa kau yakin
tidak akan mencari restoran lain saja?” Ryuu menelan ludah. Ia ingat kejadian
waktu Ryo membuat kekacauan di restoran itu.
“Tidak. Kita di
sini saja,” ujar Ryo mantap. Tentu saja dia punya maksud pribadi mengapa tetap
bersikeras ingin bekerja disitu. Hanya ingin segera menyelesaikan hukuman dari
Yang Mulia Ratu.
“Kau tidak
ingat apa yang sudah terjadi waktu lalu?”
“Sudah lupa,”
jawabnya datar. Kemudian melenggang masuk ke restoran.
“Hey! Tunggu!”
Ryuu berlari menyusul Ryo.
Ryo mengitarkan
pandangan ke setiap sudut restoran. Mencari sosok Mirai. Dan, ah... ketemu! Ryo
segera menghampiri Mirai.
“Selamat siang,
Mirai-san,” sapanya ramah.
Mirai terdiam
sejenak, namun ia tersadar akan kewajibannya terhadap seorang pelanggan dan
segera mengukir senyum manis. “Ada yang perlu saya bantu, Tuan?”
“Aku ingin
bekerja disini,”
Ryuu menyikut
tangan Ryo.
“Ah, maksudku,
kami. Kami ingin bekerja disini,”
“Temui pemilik
restoran ini saja. Kantornya di sebelah sana,” Mirai menunjuk ke sudut kiri
restoran.
Ryo terdiam.
Menatap Mirai. Mirai merasa risih dan mengkerutkan keningnya. “Ada apa?”
“Oh, terima
kasih. Kami akan ke sana,” Ryuu membungkukkan badan berterima kasih kemudian
menarik Ryo menuju kantor yang dimaksud.
‘Owner’ itu
tulisan yang tertempel di pintunya. Pintu kayu yang catnya sudah agak pudar. Ryuu
mengetuk pintu. Suara dari dalam terdengar mempersilahkan mereka masuk.
“Permisi,”
Seorang pria paruh
baya berkumis tebal dengan cerutu di mulutnya menyambut mereka. Tubuhnya tidak
terlalu kurus tapi juga tidak gemuk. Singkatnya, sedang. Jika dia berdiri,
mungkin tingginya hanya beberapa centimeter di atas Ryo. Pria itu mengulurkan
tangan, memberi isyarat untuk duduk. Ryo dan Ryuu duduk di kursi yang tersedia.
Saat diduduki, kursi itu bergoyang. Kakinya tidak sama. Satu bantalan karetnya
sudah terlepas. Mereka tak habis pikir. Padahal restoran ini selalu ramai
pengunjung. Pendapatan restoran ini per bulannya sepertinya cukup besar, tapi
kenapa pemiliknya tidak punya niat untuk setidaknya mengecat ulang dinding dan
pintu, atau mengganti kursi yang sudah usang. Apa orang ini begitu pelit?
“Ada perlu apa,
anak muda?” suara pria itu terdengar parau.
“Eh, itu. Tuan,
saya Amakusa Ryuu, dan ini teman saya Yamada Ryosuke. Kami ingin melamar
pekerjaan disini,” Ryuu angkat bicara. Pria itu mengangguk-angguk. Melepaskan
cerutu dari mulutnya dan menyembulkan asap ke udara. Ryo dan Ryuu
terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangan di depan hidung mereka. Mencoba ‘menangkis’
asap yang berkeliaran di sekitar mereka.
“Ah, maaf. Kalian
tidak suka asap rokok, ya?”
Ryuu dan Ryo
hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan itu. Dalam hati Ryo bertanya, ‘Benda
apa yang kecil dan berasap itu? Apa itu makanan?’
“Aku paling
tidak bisa menahan diri untuk tidak merokok. Setidaknya aku hanya merokok di
ruangan ini dan tidak melakukannya di depan pelangganku. Hahaha...” ia terbahak
dengan suaranya yang berat. Pria itu menepukkan cerutunya di pinggir asbak
hingga abunya berjatuhan. “Oh ya. Aku Hiroshi, pemilik restoran ini. Apa ada
yang bisa aku bantu?”
“Kami sedang
mencari pekerjaan, Tuan Hiroshi,” ujar Ryo. Tuan Hiroshi mengangguk-angguk. Jarinya
iseng memelintir ujung kumis tebalnya.
“Restoran kami
memang sedang mencari pegawai. Tapi...” tuan Hiroshi menggantungkan kalimatnya.
Ryo dan Ryuu melongo menunggu tuan Hiroshi melanjutkan ucapannya. “tapi aku
hanya membutuhkan satu orang pegawai,” lanjutnya. Kemudian kembali mengisap gulungan
tembakau yang sedari tadi bertengger di sela jarinya.
Ryo dan Ryuu
saling bertatapan seolah saling bertanya ‘Bagaimana ini?’
“Kalau begitu
aku saja yang ambil,” bisik Ryo.
“Apa kau yakin?
Bagaimana denganku?” Ryuu balas berbisik.
“Ya. Biar aku
saja yang bekerja. Agar aku bisa mendapat uang untuk mengganti uangmu,” jawab
Ryo yakin.
“Hmm... Aku
akan bekerja sebagai apa, Tuan Hiroshi?” tanya Ryo.
“Apa kau bisa
memasak?”
Ryo menggeleng.
“Mencuci
piring?”
“Mungkin bisa,”
jawab Ryo.
“Ah, sebentar. Aku
rasa kau lebih cocok menjadi waiter,”
“Wa.. waiter?”
“Ya. Mengantarkan
pesanan ke meja-meja,”
“Seperti Mirai,”
gumam Ryo pelan. Lekas ia menggeleng ketika dua pria yang sedang bersamanya
bertanya apa yang sedang ia gumamkan.
“Baiklah. Kapan
saya bisa mulai bekerja?”
“Kapanpun kau
mau. Sekarang juga bisa,”
“Ah?”
“Mari kuantar
kau ke dapur,”
“Baiklah,” Ryo
dan Ryuu beranjak dari kursi mengikuti tuan Hiroshi.
Ryo berhenti
sejenak. “Ryuu,” panggilnya. Ryuu menoleh, tanpa suara. “Maaf,” Ryuu
mengangguk. Hatinya tersenyum. Akhirnya Ryo bisa sedikit bersikap lembut.
“Bersemangatlah,
Ryo!” Ryuu tersenyum. Menepuk pundak Ryo, sementara tangan yang satunya
mengepal memberi Ryo semangat.
“Un,”
Ryo mengangguk. “Aku akan berusaha,”
Baguslah, Ryuu
berharap ini bisa menjadi jalan bagi Ryo untuk memperbaiki diri, agar ia tidak bermalas-malasan
lagi. Ryuu masih bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Tokyo ini sangat luas,
kan?
<-->
To be Continued...
its become atractive :)
BalasHapusmore good if there is not mirai LOL *jealous///
seru, ditunggu lanjutannya yah (^^.)
hehe~ sankyuu~
Hapushaha.. the end of this story will make you happy ^^
okke kak.. masih tahap revisi.. ^^