To make easy, Click the categories that you want to see^^

Rabu, 03 Oktober 2012

[Fanfiction] Angel with(out) Wings~ [Chapter VIII] {IndonesianVersion}




Title                             : Angel with(out) Wings~
Categories                 : Multichapter
Genre                         : Fantasy – Romance – Friendship  
Rating                        : Teenager – PG-15
Theme song              : Angel comes to me – Yabu Kota [Hey! Say! JUMP], Angel’s Wings - Westlife
Author                                    : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah Faqoth
Cast[s]                        :

  1. Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
  2. Hey! Say! JUMP members
  3. Shida Mirai
  4. Hongo Kanata
  5. Amakusa Ryuu (Original character)
  6. Daichi (Original Character)
  7. Nyonya Lin (Original character)
  8. Tuan Hiroshi (Original character)
  9. Rizuki (Original character)
Disclaimer! : All casts are not mine. The story is mine.
WARNING!: This is just a story. A fantasy. An imagination. Dont bash me coz my story.
Synopsis/Quote: When a fairy flies down to the earth and falls in love...
<-->

Chapter Eight: That’s what she needs

“Mirai-san,” gumam Ryo. Masih memegangi pipinya yang terkena tamparan Mirai.
Ryuu segera menghampiri mereka. “Ada apa?” ia berusaha mencari tahu apa yang terjadi.
“Kau jahat! Kenapa kau melarangku untuk menolong nenekku? Sekarang apa yang terjadi?? Kau lihat??!! Kau tega sekalii...! Aku benci padamuu!!” Mirai mendaratkan beberapa pukulan ke tubuh Ryo. Ryo tak berusaha menangkisnya.
“Aku hanya tidak ingin kau terluka. Api itu besar sekali, kau bisa celaka kalau masuk kesana,”
“Aku tidak peduli! Aku hanya ingin nenekku...” Mirai semakin menjerit.
Ryo berusaha menenangkan Mirai. Tapi Mirai semakin berontak. Ryuu ikut memegangi tubuhnya.
“Tenanglah, Mirai. Semuanya akan baik-baik saja,”
<-->
Mirai duduk bersandar ke dinding. Pandangannya kosong. Matanya masih mengeluarkan air mata, tapi tak bersuara. Ia menangis dalam diam. Ryo berusaha mendekatkan sesendok bubur ke mulutnya, tapi Mirai mengelak.
“Makanlah, Mirai-san. Agar kau tidak lemas,” bujuk Ryo.
“Benar, kau harus makan, Mirai. Perutmu harus diisi,” Ryuu ikut membujuk Mirai.
Apa gunanya bujukan itu? Mirai tetap diam. Dia sangat depresi. Bagaimana tidak, dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat neneknya hangus di’kremasi’ hidup-hidup.
“Mirai-san, makanlah. Kumohon,” bujuk Ryo sekali lagi.
“Ayolah, Mirai-san,” Ryuu berkata sekali lagi.
Dalam keadaan biasa saja, Mirai sangat dingin dan takut pada laki-laki, apalagi dalam keadaan seperti ini. Ia hanya ingin menangis, kalau bisa dipelukan neneknya.
Kejadian itu terus terbayang di benak Mirai. Ketika api menjalar dan melahap habis rumahnya. Ketika ia melihat mayat itu dibawa. Mirai menyesal. Menyesal kenapa ia tetap pergi bekerja hari itu. Kenapa ia tidak menjaga neneknya yang sakit saja. Semua itu hanya menambah sesak dada Mirai. Dan membuat air matanya panas. Sepanas kobaran api yang membara tadi siang.
Mirai mengalihkan pandangan pada Ryo. Sejenak Ryo tertegun, tapi kemudian tersenyum. Sementara ekspresi Mirai masih datar. Mirai berbalik memandang Ryuu. Ryuu menampilkan senyum termanisnya. Mirai tetap saja memasang ekspresi datar. Tak lama kemudian ia menunduk.
“Mirai-san, bagaimanapun kau harus makan. Lihat, bubur ini enak, Ryuu yang membuatnya. Dia jago memasak, hehe... Benar kan, Ryuu?” Ryo melirik ke arah Ryuu.
Ryuu mengangguk dan tersenyum, “Aehehe, kau bisa saja, Ryo...”  
Demi apapun, Mirai sama sekali tak tertarik dengan bujukan atau candaan dua laki-laki di hadapannya. Ryo dan Ryuu hampir saja kehabisan akal.
Hari sudah gelap. Mirai masih saja tak bisa diajak bicara. Apalagi makan. Dia terus terdiam dan matanya tetap mengalirkan isi kelenjar air mata. Melamun, tak tentu arah.
<-->
“Selamat pagi...” sapa Rizu pada Ryo.
“Selamat pagi,” jawab Ryo singkat.
“Mana Mirai?”
“Dia tidak masuk,”
“Ohh... Masih belum baikan?”
Ryo mengangguk.
“Hh.. Kasihan Mirai. Nanti sepulang kerja aku akan menengoknya, boleh kan?”
“Ya. Tentu saja,” jawab Ryo sambil menyunggingkan senyuman.
“Ryosuke,” sebuah suara parau terdengar memanggil Ryo.
“Ya, tuan Hiroshi,” Ryo merendahkan badan.
“Ke ruanganku sekarang,”
“Baik, Tuan,” Ryo memberi isyarat pada Rizu karena ia harus meninggalkannya menuju ruangan tuan Hiroshi. Rizu mengangguk.
“Duduklah,” pria dengan cerutu yang setia menempel di jarinya itu menunjuk kursi di hadapannya. Ryo pun duduk dengan sopan.
“Bagaimana keadaan Mirai?”
“Belum baik, Tuan,”
“Aku harap dia segera sembuh. Oh ya, apa temanmu yang waktu itu datang bersamamu bisa bekerja di sini?” tuan Hiroshi menghisap cerutunya.
“Amakusa Ryuu?”
Un,” Tuan Hiroshi mengangguk kemudian menghembuskan asap dari mulutnya.
“Memangnya kenapa, Tuan?”
“Mirai sudah 3 hari tidak masuk kerja. Apa temanmu itu bisa menggantikannya?”
“Nanti akan kutanyakan padanya, Tuan,”
“Hmm...” tanggap pria itu asal. “Kau tahu restoran ini setiap hari ramai pengunjung. Jika kekurangan pegawai, mereka bisa kerepotan. Haha..” pria itu tertawa garing.
“Iya, Tuan. Nanti saya bicara pada Ryuu. Saya permisi dulu, Tuan,” Ryo beranjak dari kursi dan menunduk – mohon diri. “Dasar orang aneh, kenapa dia kemarin tidak menerima Ryuu juga, kalau dia memang kekurangan pegawai,” gerutu Ryo dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
<-->
“Ryo, tunggu aku. Kita pulang bersama,”
“Ya. Ayo!”
Ryo dan Rizu berjalan berdampingan menuju rumah kontrakan Ryuu. Ryo tak banyak bicara atau bertanya sesuatu pada Rizu sampai Rizu sendiri yang membuka pembicaraan.
“Sudah berapa lama kau tinggal disana, Ryo?”
“Ah... Baru dua minggu yang lalu,”
“Hhmmm... Pantas saja,”
“Pantas saja apa?”
“Pantas saja aku baru tahu kalau Mirai mempunyai tetangga yang ganteng, hehe..”
“Hee... Dasar, kau,” Ryo tertawa kecil. Rizu malah tersipu sendiri.
Tak lama kemudian mereka tiba di depan rumah. Ryo membuka pintu.
“Masuklah,” Ryo memberi isyarat dengan tangannya.
“Ya,” Rizu membuka alas kakinya. “Permisi...”
“Ryo... Eh? Ada tamu... Hehe...” Ryuu segera meletakkan semangkuk bubur di atas meja dan memberi salam pada Rizu. “Saya Amakusa Ryuu,”
Rizu menundukkan badan membalas salamnya. “Saya Rizuki,”
“Ingin menjenguk Mirai?” Rizu mengangguk. “Masuklah, dia sedang tidur,”
Rizu perlahan melangkah mendekati Mirai, lalu duduk di sampingnya. Ryo menyentuh pundak Rizu. Rizu menengok.
“Tolong bujuk dia agar mau makan. Selama tiga hari ini dia sama sekali tidak mau makan,” Ryo menyodorkan semangkuk bubur. Rizu mengangguk, dan menerima mangkuk itu. Ryo tersenyum, “Terima kasih, ya,”
“Ryuu, sini sebentar, aku mau bicara denganmu,” Ryo mengajak Ryuu ke luar. Mereka duduk di depan pintu.
“Ada apa?” tanya Ryuu.
“Tuan Hiroshi memintamu bekerja menggantikan Mirai,”
“Apa?”
“Ya. Kau bersedia tidak? Dia bilang restorannya kekurangan pegawai jika Mirai absen terus. Sementara kita juga tidak tahu kapan Mirai bisa mulai bekerja kembali,”
“Oh... Baiklah... Kebetulan besok lusa aku sudah mulai liburan musim panas. Aku akan bekerja di sana,” ujar Ryuu mantap.
“Ah, baguslah,” Ryo tersenyum.
Sementara Rizu masih terduduk di samping Mirai. Rizu tak tega membangunkannya. Tiba-tiba Mirai mengerjap, membuka matanya perlahan. Samar-samar ia melihat seorang wanita di hadapannya. Bukan dua laki-laki menyebalkan itu lagi. Mirai melebarkan matanya. Kemudian dia bangkit memeluk Rizu, dan menangis kembali sejadi-jadinya.
“Sudahlah, Mirai... Jangan menangis lagi... Maafkan aku baru bisa mengunjungimu, aku mengurusi ibuku di rumah sakit,” Rizu membelai rambut Mirai dengan lembut. Mirai terus terisak. “Mirai, kau belum makan, kan? Makan dulu, ya?” Rizu melonggarkan pelukannya dan menghapus air mata di pipi Mirai dengan ibu jarinya. Rizu tersenyum penuh kehangatan. Ini, yang dibutuhkan Mirai. Pelukan dan ketenangan dari seorang wanita. “Senyum dulu dong, sayang,” goda Rizu. Mirai melakukannya walau otot-otot pipinya masih terasa berat untuk melengkungkan senyuman.
<-->
“Ryo, aku pulang dulu, ya,”
Ryo dan Ryuu yang sedang duduk di depan pintu segera beranjak.
“Oh, iya... Apa Mirai sudah makan?” tanya Ryo – khawatir.
“Sudah. Tenang saja, mulai sekarang dia tidak akan menolak bubur buatanmu lagi,” Rizu mengedipkan mata pada Ryuu.
“Benarkah? Apa yang kau katakan padanya?” tanya Ryo dan Ryuu bersamaan.
“Rahasiaa...” Rizu kembali mengedipkan matanya. “Aku pulang, ya. Sampai jumpa,”
Ryo dan Ryuu melambaikan tangan sampai sosok itu menghilang di tikungan jalan. Lalu mereka saling bertatapan dan mengangkat bahu bersama-sama.
Bingung? Tak apalah, yang penting Mirai sudah mau makan. Mereka berdua tersenyum lega.
<-->
To be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...