Title : I’ll be there~
Categories : OneShot
Genre : Friendship – School Life - Romance – Angst
Rating : [Maybe] General or [Maybe] Teenager
Theme song : I’ll be there - Westlife
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s] :
Categories : OneShot
Genre : Friendship – School Life - Romance – Angst
Rating : [Maybe] General or [Maybe] Teenager
Theme song : I’ll be there - Westlife
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s] :
1. Yamada Ryosuke [Hey!Say!JUMP]
2. Shida Mirai
3. Kei Inoo [Hey!Say!JUMP]
4. Rika (OC) – friends at school
5. Olive (OC) – Mirai’s rival
Disclaimer!
: All casts (kecuali OC) adalah tokoh idola yang saya pinjam untuk memerankan
fanfic saya [Meski tanpa izin >,<]. Ide cerita hanyalah fiktif/khayalan
penulis belaka. Jika terdapat kesamaan latar maupun jalan cerita, maka itu
merupakan ketidaksengajaan.
Note: Jika
anda menemukan ketidakjelasan di awal, di tengah, atau di akhir cerita
[singkatnya: kalo ceritanya gaje], itu hanya salah satu aspek ke’amatir’an
author [mafhum, masih belajar]. After all, happy reading, minna san! ^^
Synopsis: I’ll
be there to comfort you~ I’ll be there to protect you~ Just call my name, and
I’ll be there~
~(^_^)~
#Yamada Ryosuke’s POV
Sahabat
jadi cinta.
Pertama
kali aku tertawa mendengar kalimat klise itu. Bagiku itu hal yang konyol.
Laki-laki dan perempuan yang sudah bersahabat untuk waktu yang lama tidak
mungkin saling mencintai, bahkan sampai berpacaran. Mereka akan saling
mengetahui bahkan terlalu mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Hubungan persahabatan biasanya lebih terbuka daripada hubungan percintaan.
Namun
kini aku akui aku sudah menelan kembali kata-kata yang sudah dengan tegas aku
lontarkan, aku tidak akan pernah mencintai sahabatku – lebih dari sekedar sahabat.
Aku tidak pernah berpikir untuk mencintai Mirai, sahabatku. Tapi apa kuasaku?
Perasaan itu datang sendiri tanpa kuundang, dan yang aku benci adalah aku tidak
dapat mengusirnya.
Sudah
lama aku bersahabat dengan Mirai. Banyak teman yang menggosipkan kami pacaran
dan kami hanya menanggapinya dengan tertawa.
Mirai
adalah tipe perempuan yang mudah sekali ditebak. Mudah mengutarakan
perasaannya. Mudah jatuh cinta, tetapi mudah patah hati. Dia unik – menurutku. Umm,
mungkin karena itu aku menyukainya.
Mirai
sering datang padaku dengan berbagai ekspresi. Kadang-kadang dia datang dengan senyuman
lebar dan mata yang berseri-seri – ketika dia baru saja menerima cinta
laki-laki pujaannya. Kadang-kadang dia datang padaku dengan wajahnya yang
ditekuk sedemikian rupa dan mata yang berkaca-kaca – ketika dia baru saja putus
dengan pacarnya. Dan aku~ aku selalu menerimanya saat dia datang padaku dalam
keadaan apapun. Aku berusaha untuk selalu ada kapanpun dia membutuhkanku. Aku
melakukan ini karena dia sahabatku? Atau karena aku mencintainya? Entahlah, aku
tak tahu. Yang jelas aku hanya ingin melihatnya selalu tersenyum. Aku berjanji
pada diriku sendiri, akan melindunginya sampai batas terakhir kemampuanku –
sampai aku berhenti bernafas.
~(^_^)~
Tiit~Tiit~
Klik~
“Moshii-moshii~,
kenapa Mirai?” sapaku pada orang di seberang telepon.
“Moshii-moshii~,
Ryo,” suara Mirai terdengar agak serak.
“Apa
yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir. Mirai hanya terdiam
sambil terisak. “Kau menangis?” aku tanya lagi.
“Kanata~”
ia menjawab singkat. Dan aku langsung bisa menyimpulkan bahwa dia baru saja
putus dengan pacarnya – Kanata.
“Ah~
tenanglah, kau baik-baik saja sekarang? Jangan terlalu lama menangis,” aku
mencoba menenangkannya.
“Temani
aku mengobrol malam ini~” pintanya.
“Tentu~”
jawabku mantap.
Beberapa
menit setelah kami mengobrol, aku tak mendengar suaranya lagi – dia sudah
tertidur. Aku sengaja tak mematikan teleponnya dulu, ingin mendengarkan suara
nafasnya. “Oyasuminasai~” bisikku. Kemudian kumatikan sambungan teleponnya.
~(^_^)~
“Ryooo~”
panggil Mirai dari bawah kamarku.
“Iya~,”
jawabku dari atas. Aku segera melongok ke luar jendela dan melambai ke arah
Mirai, “Chotto matte, aku segera turun,” teriakku yang hanya ditanggapi
anggukan Mirai.
“Ikou~”
ajakku.
“Kau
pasti tak sempat sarapan lagi ya?”
“He~he~”
aku menggaruk belakang kepalaku yang sama sekali tak gatal.
“Kebiasaan,”
katanya sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Untung aku bawa bento,
nanti kau makan ya,” dia menepuk-nepuk pundakku pelan. Aku hanya mengangguk dan
tersenyum.
“Oya,
maaf tadi malam aku ketiduran, he~” kali ini Mirai yang menggaruk kepalanya
yang tak gatal. Aku sama sekali tidak apa-apa, itu sudah kebiasaannya, dia yang
mengajak ngobrol, tapi dia yang tertidur duluan.
“Iya,
tidak apa-apa. Kau mau tahu sesuatu?” bisikku.
“Apa?”
tanyanya penasaran.
“Hhhmmm~
tadi malam aku mendengar anak perempuan yang tidurnya mendengkur,” candaku pada
Mirai.
“Hah?”
dia terlihat sangat kaget mendengarnya. Pipinya memerah. Kemudian ia bergumam
pelan, “Apa aku mendengkur,”
“Ah,
tidak Mirai, aku hanya bercanda. Kau tidak mendengkur kok...,” aku melirik
wajahnya yang terlihat sedikit lebih lega. “bukan hanya mendengkur, tapi juga mengigau~”
“Hah?!”
Mirai memukul punggungku dengan tasnya.
“Auwh~!
apa yang kau lakukan. Sakit tahu?”
“Jahat~”
ujarnya sambil mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali.
“Hahaaa~.
Cewek tukang ngigau,” godaku sambil berlari. Mirai mengejarku dan memukulku
tanpa ampun.
Bugh~
Tiba-tiba
aku menabrak seseorang di depanku hingga kami berdua terjatuh.
“Sumimasen~”
ucapku padanya.
“Ya,
tidak apa-apa,” dia berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang kotor. Seragamnya
sama dengan kami, tapi aku tak pernah melihat orang ini sebelumnya. “Aku
duluan,” dia segera berbalik dan berjalan meninggalkan kami.
Aku
berjalan lagi, tapi setelah beberapa meter aku berhenti ketika kulihat Mirai
masih mematung di posisinya tadi. “Mirai, hayaku! Kita hampir
terlambat,” kataku agak berteriak.
Mirai
seperti baru tersadar dari lamunannya, “Ah, iya,” kemudian ia berlari
menyusulku.
~(^_^)~
“Kei
Inoo desu. Indonesia kara kimashita. Yoroshiku onegaishimasu,”
seorang anak laki-laki berkacamata dan bertubuh agak tinggi berdiri di depan
kelas, memperkenalkan dirinya. Ia menunduk memberi salam. Murid baru dari luar
negeri. Ia anak yang tadi bertabrakan denganku.
Aku
melihat Mirai memperhatikan anak itu serius sekali – seperti ketika kami
bertemu tadi pagi. Boleh kuambil kesimpulan kalau Mirai tertarik pada anak itu?
Dia
duduk di sebelah Mirai, di depan bangkuku.
“Shida
Mirai desu, yoroshiku,” Mirai berbisik, diikuti anggukan kecil dan senyuman
ramah dari pria itu. Aku berusaha mengacuhkan mereka dan memfokuskan perhatian
pada pelajaran yang sedang disampaikan Mukai-sensei. Aku tidak ingin
peduli pada mereka.
Sepanjang
perjalanan pulang dari sekolah, Mirai tak henti membicarakan anak pindahan itu.
Walaupun sedikit tidak tertarik, tapi aku mencoba mendengarkannya.
“Ryo,
menurutmu bagaimana anak baru itu?” tanya Mirai serius.
“Bagaimana
apanya?” jawabku datar.
“Iya,
bagaimana menurutmu tentang dia?”
“Entahlah,
kita baru saja bertemu dengannya. Aku belum bisa menyimpulkan karena aku tidak
mengenalnya,”
“Hmmm,”
Mirai mengerucutkan bibirnya. Kebiasaan jika ia sedang kesal.
“Memangnya
kenapa? Kau tertarik padanya?”
“Eh?
Tidak kok,” Mirai gelagapan.
Aku
merangkulkan tanganku ke bahu Mirai, “Dengar ya, sahabatku sayang. Mata dan
ekspresi wajahmu itu tidak bisa berbohong. Apalagi di depanku. Semua itu
terbaca jelas, kau tahu?”
Mirai
melirikku, dahinya mengkerut, sudut bibirnya terangkat sebelah, kemudian
mendorongku pelan menjauh darinya, “Sok tahu!” ujarnya ketus. Mirai berjalan
lebih cepat meninggalkanku.
Terkadang
aku memang tahu apa yang tidak kau katakan, Mirai.
~(^_^)~
Sudah
hampir dua bulan Kei bersekolah disini. Kulihat dia baik juga. Orangnya ramah
dan mudah bergaul. Terutama dengan Mirai. Yah, walaupun aku sangat iri – emm,
mungkin lebih tepatnya cemburu, tapi aku mendukung saja Mirai dekat dengan
siapapun. Selama dia itu orang baik.
Kedekatan
Mirai dan Kei semakin terlihat. Mereka sering makan siang bersama,
kadang-kadang Mirai mengajaknya untuk mengerjakan tugas bersama. Dan, jarakku
dengan Mirai mulai merenggang karena itu.
“Ryo,
tumben sendirian,” tiba-tiba Rika sudah berada di sampingku yang dari tadi
duduk di bawah pohon dekat lapang olahraga – melamun.
“Ah,
lagi pengen sendiri aja,” jawabku datar.
“Mirai
kemana?” tanyanya lagi. Anak ini memang terkenal tukang gosip dan selalu ingin
tahu urusan orang lain.
“Dia
sedang ada urusan,”
“Urusan
cinta?” Rika tersenyum sinis.
“Apa
maksudmu?”
“Ah,
semua orang sudah tahu, kok. Mirai dekat dengan anak baru dari Indonesia itu.
Mereka digosipkan berpacaran, bla... bla... bla...”
Sementara
Rika masih sibuk memaparkan pengetahuannya yang sok tahu itu tentang Mirai, aku
langsung beranjak pergi meninggalkannya. Aku sama sekali tidak tertarik
mendengarnya.
“Eh,
Ryo. Tunggu. Tidak sopan sekali, pergi disaat orang lain sedang bicara!” Rika
berlari menyusulku. Setelah langkahnya sejajar denganku, ia kembali mengoceh
lagi. “Ryo, Mirai itu tidak tahu diri, ya. Lagi ada butuhnya aja dia dekat sama
kamu. Sekarang sudah ada Kei, dia tinggalin kamu. Ckckck~” Rika menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Aku
sudah hampir muak dengan celotehannya yang tak berguna itu. “Hey, jangan bicara
kalau kau tidak tahu apa-apa!” aku menatap tajam pada Rika.
“Tidak
tahu apa-apa?? Aku ini tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan semua siswa
di sekolah ini, Ryo. Aku juga tahu kalau kau suka pada Mirai dan cemburu
melihat Mirai dengan Kei,” ia berbicara sambil melipat tangannya di dada.
Kali
ini aku sudah benar-benar kesal padanya, “Heh! Tahu apa kau soal perasaanku?! Sudahlah
diam dan urus urusanmu sendiri. Kalau perlu keluarlah dari sekolah ini dan
daftarkan dirimu menjadi paparazzi. Dasar tukang gosip!!”
“Kalau
kau marah, berarti kau merasa. Iya, kan?” Rika memicingkan matanya ke arahku. Ia
sama sekali tidak mempan dengan gertakanku.
“Ahh~
sudahlah. Aku tidak ada waktu untuk mendengarkan omong kosongmu itu,” aku
mengibaskan tangan di depannya dan segera berlalu. Beraninya dia mengungkit
tentang perasaanku pada Mirai. Aku bahkan tidak pernah membicarakan ini dengan
siapapun. Tahu apa dia?
Aku
berjalan menuju kelas karena jam istirahat sebentar lagi berakhir. Tiba-tiba
langkahku terhenti ketika kulihat di dalam kelas hanya ada mereka berdua –
Mirai dan Kei. Kei terlihat sedang mengajarkan Mirai matematika – pelajaran
yang paling sulit diterima Mirai. Iya, sejak ada Kei, Mirai tidak pernah lagi
bertanya soal PR matematika padaku. Dia dan Kei...
“Apa
ku bilang? Kau cemburu kan pada mereka?”
Aish~
tiba-tiba Rika sudah ada lagi di sampingku. Dia itu hantu atau apa?!?
“Hey,
berhenti mengikutiku. Apa sih maumu?” teriakku.
Teriakanku
berhasil menyadarkan Mirai dan Kei dari dunianya dan menoleh ke arahku.
“Ada
apa Ryo?” Mirai bertanya padaku.
“Tidak
ada,” aku menggeleng dan segera menuju bangkuku. Tak lama siswa yang lain pun
berdatangan memenuhi ruangan kelas.
~(^_^)~
Sudah
beberapa minggu aku hampir tidak pernah pulang dan pergi sekolah bersama Mirai.
Dia lebih sering bersama Kei, dan sama sekali tidak ingat padaku. Setidaknya
mengajakku pulang bersama atau apa.
“Ryo...
Besok berangkat sama-sama, ya,” Mirai mengirim email padaku.
“Ya,
memangnya Kei kemana?” aku membalasnya.
“Katanya
dia akan berangkat dari rumah pamannya. Tidak lewat sini, jadi tidak akan
menjemputku,”
“Oh,
ya sudah.”
“Kau
sudah belajar untuk ulangan matematika besok, Ryo?”
“Sedikit,”
jawabku singkat.
“Haha~
aku tahu, sang master matematika tidak perlu belajar lagi, ya kan? :)”
“Iya,
itu kau sudah tahu, haha~”
“Ya
sudah, sampai jumpa besok. Selamat malam.”
Email
Mirai yang terakhir tidak kubalas lagi. Aku jawab di dalam hati saja, selamat
malam, cinta.
~(^_^)~
Sepuluh
menit lagi sepertinya kelas akan dimulai, tapi aku masih berdiri di depan rumah
menunggu Mirai. Dia belum datang juga menjemputku. Aku sudah mengirim email
tapi tidak dibalas.
“Ryo,
kenapa belum berangkat?”
“Lagi
nunggu Mirai, Ma...”
“Sudah
jam segini, dia pasti sudah berangkat,”
Tiit~Tiit~
“Ryo,
maaf. Aku sudah di sekolah. Tadi Kei menjemputku. Dia bawa motor. Kau sudah
berangkat?”
Mataku
membelalak. Kututup flip ponselku dengan kasar dan segera kumasukkan ke saku. Dengan
cepat aku berlari menuju sekolah. Kuso! Pagi ini akan ulangan
matematika, dan aku harus terlambat karena ini? Mirai bahkan tidak
memberitahuku sebelumnya kalau ia tidak jadi berangkat denganku.
Aku
menambah kecepatan lariku. Tanpa peduli pada orang-orang yang tak sengaja
kutabrak. Aku hanya meneriakkan “Maaf” sambil terus berlari. Aku tidak boleh
ketinggalan ulangan.
“Hhhh~
Hhhh~ Hhhh~,” akhirnya aku sampai di depan kelas. Dengan terengah-engah aku
masuk ke dalam kelas.
“Sensei,
maaf aku terlambat.”
“Ya,
silahkan ambil kertas soalnya, tapi ingat, tidak ada waktu tambahan untuk mengerjakan.”
Aku
segera mengambil kertas soal dan lembar jawaban lalu menuju ke bangku. Sekilas
kulihat Mirai memandangku, tapi tak kupedulikan dia. Mungkin aku marah padanya!
“Ryo~”
panggil Mirai setelah semua siswa mengumpulkan kertas ulangannya. “Kau marah
padaku?”
“Kenapa
harus marah?”
“Kau
terlambat ulangan karena menungguku...” dia mulai menekuk wajahnya.
“Tidak
kok. Tadi aku sakit perut dan lama sekali di kamar mandi, jadi aku telat,”
dustaku.
“Benar?”
Aku
mengangguk. Mana bisa aku berterus terang padanya bahwa aku marah karena dia
sudah membuatku terlambat saat ulangan dan alhasil aku tidak bisa menyelesaikan
semua soal ulangan.
“Hhmmm~
Sebagai permintaan maaf, akan kutraktir kau makan siang, bagaimana?” Mirai
menepuk pundakku.
Aku
melihat ke arahnya, Kei sedang berdiri di sampingnya. Dia tersenyum padaku.
“Tidak
usah, lagi pula ini bukan salahmu. Kalian makan saja berdua,” aku memaksakan sebuah
senyuman.
“Pergilah
dengan kami, Ryo,” kali ini Kei yang menawarkan.
“Ah~
tidak usah repot-repot. Aku tidak sedang ingin makan siang, aku masih sakit
perut,” Mereka akhirnya mengalah dan melenggang ke kantin.
“Ryo~”
Rika si tukang gosip tiba-tiba sudah ada di depanku. Aku menghembuskan nafas
panjang – kesal. “Mereka makin mesra saja ya,”
Aku
berusaha mengacuhkan gadis di depanku itu.
“Apa
kau tahu Ryo? Mereka sudah resmi pacaran sekarang, kalau tidak salah....” Rika
menempelkan telunjuk ke bibirnya, matanya menatap ke atas. “Dua minggu yang
lalu,” Ia menjentikkan jarinya dan kembali menatapku. Matanya membesar. Membuatku
semakin muak. Aku memicingkan mata ke arahnya – menatap curiga.
“Kali
ini kau harus percaya padaku, Ryo. Berita yang aku sampaikan kali ini adalah
benar. Coba kau tanya teman-teman yang lain. Semuanya sudah tahu,”
Aku
masih memasang mimik tak peduli.
“Apa
Mirai tidak memberitahumu? Ckckck... keterlaluan sekali...” Rika menggelengkan
kepalanya.
Apa
aku harus mempercayai cerita si tukang gosip ini?
~(^_^)~
Tak
seperti biasanya pelajaran olahraga kali ini membuatku malas. Aku tak
sesemangat biasanya. Aku terus memikirkan perkataan Rika tadi. Ah! Aku
menggeleng keras. Kenapa aku harus percaya pada orang yang kucap sebagai tukang
gosip?
“Anak
baru itu hebat, ya,”
“Ya,
baru beberapa bulan bersekolah disini, sudah berhasil mendapatkan Mirai. Aku
saja yang sudah lama mengincar Mirai tidak bisa,”
Aku
menoleh ke sumber suara ketika samar-samar kudengar ada yang menyebut nama Mirai.
Percakapan kedua orang teman sekelasku membuyarkanku dari lamunan. Apa Mirai
benar-benar sudah pacaran dengan Kei?
Apa
artinya semua ini? Kenapa aku merasa tidak dianggap ketika Mirai memilih pulang
sekolah dengan Kei? Kenapa aku merasa dipermainkan ketika Mirai mengingakari
janjinya denganku demi Kei? Kenapa aku merasa tidak dihargai ketika ia tak lagi
bercerita padaku tentang laki-laki yang disukainya? Kenapa aku semakin tidak
bisa berhenti memikirkannya? Kenapa sekarang aku merasa sakit hati ketika mengetahui
Mirai bersama Kei? Semua ini membuatku gila!
Dash!
Tiba-tiba
sebuah bola sepak menghantam kepalaku keras-keras sehingga membuatku
terjungkal. Aku merasakan kepalaku sakit sekali. Mataku berkunang-kunang dan
pandanganku membuyar, lalu satu detik kemudian aku tidak melihat apa-apa.
“Ryo~,
bangun,”
Aku
membuka mata perlahan. Kepalaku masih pusing karena hantaman bola. Perlahan aku
bangun sambil terus memegangi kepalaku. Samar-samar, tapi kemudian pandanganku
semakin jelas. Mirai dan Kei.
“Kau
tidak apa-apa, Ryo?” tanya Kei.
Aku
mengangguk pelan.
“Tidak
biasanya kau pingsan seperti ini. Kau sedang kurang sehat, ya?” Mirai
menempelkan punggung tangannya ke dahiku. Dengan cepat aku menangkisnya.
“Aku
tidak apa-apa.”
“Yang
benar?”
“Iya,”
“Lebih
baik kau izin pulang saja, Ryo,” Mirai masih terlihat khawatir padaku.
“Sudahlah,
aku bilang aku tidak apa-apa. Aku ke kelas dulu,” aku beranjak dari ranjang UKS
dan hendak berjalan keluar. Ah~ sial! Efek hantaman bola itu masih terasa.
Mirai
dan Kei masih di ruang kesehatan. Mereka saling pandang, merasa heran dengan
sikapku.
“Kei,
menurutmu apa dia marah padaku gara-gara tadi aku meninggalkannya?”
“Mungkin
saja. Lagipula kenapa kau tidak memberitahunya dulu kalau kau sudah berangkat?
Dan kau tidak bilang padaku juga sudah ada janji dengan Ryo,”
“Jadi
kau menyalahkan aku?”
“Tidak.
Tapi sebaiknya kau minta maaf pada Ryo,”
“Hhmmm~”
~(^_^)~
“Ryo,
ayolah~ jangan bersikap seperti itu...” rajuk Mirai. Ia terus mengikutiku
sambil memegangi ujung lengan kemejaku.
Akhirnya
aku mengalah dan berbalik menghadapnya. “Aku sudah maafkan.” ujarku mantap.
“Tapi
sikapmu masih seperti itu padaku?”
“Aku
sedang ada masalah dengan Mama,” ujarku berbohong.
“Benarkah?
Tapi kalian seperti baik-baik saja,” Mirai mengkerut, membuat lipatan-lipatan
kecil di dahinya.
“Bagaimana
kau tahu, kau bahkan tidak pernah ke rumahku lagi sekarang,” aku masih bisa
mengelak.
“Ah,
baiklah. Baguslah kalau kau sudah tidak marah padaku. Janji ya, jangan marah
lagi,” dia mengacungkan kelingkingnya di depan wajahku.
Aku
tersenyum sinis, “Kau yang harus berjanji untuk tidak membuatku terlambat lagi
ketika ada ulangan,” candaku. Kemudian aku menyambut kelingkingnya dan
menautkan dengan kelingkingku.
“Haa~
masih dibahas saja. Iya janji, nggak lagi,” Mirai tersenyum.
Hhh~
Mirai, ada apa dengan dirimu? Kau begitu mudah sekali ditebak tapi kau sendiri
tak bisa membaca pikiran dan melihat perasaan orang lain.
“Kei
apa kabar?” tanyaku tiba-tiba.
“Ah,
baik,”
“Mirai,
apa kau sudah tidak menganggapku sahabatmu?”
“Eh,
kenapa bicara begitu?”
“Lalu
kenapa kau merahasiakan sesuatu dariku,”
“Eh?
Rahasia apa?”
“Sudahlah,
jangan berpura-pura tidak tahu. Aku sudah bilang berapa kali kalau aku itu bisa
membaca pikiranmu, aku tahu bahkan yang tidak kau katakan sekalipun,”
“Hhhmm~,
Iya, aku minta maaf tidak bilang padamu soal Kei,” Mirai menunduk. Kemudian
mengangkat lagi wajahnya dengan senyuman terkembang disana, “Kami sudah pacaran,
Ryo,” senyumnya semakin lebar.
“Ah,
baguslah. Apa dia baik padamu?”
“Kau
bicara apa? Tentu saja baik,”
Aku
mengangguk.
“Malam
ini kami akan makan malam, di restoran..”
Jantungku
seakan berhenti sepersekian detik mendengar itu. Aku membayangkan sebuah candle-light
dinner yang sangat romantis dan hanya ada mereka berdua di restoran itu.
Bukan jantungku saja yang berhenti berdetak, tapi hatiku juga terbakar.
“Hey,
Ryo~ kenapa bengong?”
“Ah,
tidak. Iya baguslah kalau begitu. Aku ikut senang,” kembali kupaksakan seulas
senyum di wajahku. Sudut bibirku terasa berat saat aku akan melengkungkan
senyum.
~(^_^)~
#Author’s POV
Mirai
tiba di sebuah restoran yang lumayan mewah. Ia diarahkan oleh seorang pelayan
untuk menuju meja yang sudah Kei sediakan. Cahaya lampu hanya remang-remang
berwarna oranye, dengan beberapa lilin di atas meja. Persis seperti bayangan
Ryo. Kesan romantis langsung tercium ketika musik klasik mengalun lembut
ditambah dengan wewangian aroma terapi yang membuat suasana seakan memanjakan
para tamu yang hadir disana.
“Silahkan...”
pelayan itu mempersilahkan Mirai duduk dan menunggu Kei disana. Mirai masih terbengong-bengong
melihat kemewahan itu. Ini pertama kalinya dia makan di restoran semewah ini.
“Sudah
lama?”
“Ah,
Kei. Tidak. Aku baru saja datang,” Mirai menyunggingkan senyuman.
Kei
kemudian duduk di depan Mirai. “Sebentar lagi makanannya datang,” ujarnya
sambil tersenyum.
“Kei,”
panggil Mirai setengah berbisik.
“Ya,”
“Kau
habiskan uang berapa untuk menyewa restoran ini? Kelihatannya mahal sekali,”
“Haha~”
Kei tertawa pelan. “Tenang saja, restoran ini punya kakekku,” jawab Kei santai.
“Hah~?”
Mirai tak menyangka kalau Kei ini ternyata turunan orang kaya juga.
“Silahkan,”
seorang pelayan menyusun hidangan dan beberapa minuman di atas meja.
“Arigatou,”
‘KEEEIIIII....!!!”
tiba-tiba sebuah suara kencang membuyarkan keasyikan mereka menyantap makanan.
Kei
melihat ke arah orang yang memanggilnya. Ia tersentak dan terlonjak kaget.
“Olive?!?,”
Wanita
yang kelihatannya sedang marah itu segera menghampiri Kei dan Mirai.
“Oh,
jadi ini wanita yang sudah merebut tunanganku?” wanita yang dipanggil Olive itu
menatap tajam ke arah Mirai.
Mirai
beranjak dari duduknya, dan masih dengan wajah polosnya ia bertanya “Apa
maksudmu? Siapa kau?”
“Heh!
Kei itu tunanganku tahu?!” suara Olive masih bervolume tinggi. Terdengar keras
sekali di telinga Mirai.
“Hei,
jangan sembarangan, siapa yang tunanganmu? Aku belum bilang kalau aku
menyetujui pertunangan itu,” sanggah Kei.
“Kei,
orang tua kita sudah setuju, dan mau tidak mau kau juga harus setuju. Malam ini
juga kita pulang ke Indonesia,”
“Apa?!?”
“Maaf,
tapi, bisa jelaskan apa maksud semua ini?” Mirai memberanikan diri untuk
bertanya.
“Diam
perempuan tidak tahu diri, perebut pacar orang. Kei itu pacarku, tunanganku,
calon suamiku, jadi kau tidak boleh dekat-dekat dengan Kei, tahu!?”
“Tapi,”
“Mirai,
aku bisa jelaskan,”
“Sudahlah
Kei, ayo pulang. Kau tahu, kakekmu sedang sakit di Jakarta, dan kemarin dia
memintaku untuk membawamu pulang, kau tidak usah tinggal di Jepang lagi. Kita
akan menikah dan tinggal di Jakarta,”
Mirai
mundur dan berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
“Mirai,
tunggu! Ahh~!” Kei melepaskan tangannya dari tangan Olive dengan paksa,
kemudian mengejar Mirai. “Mirai, dengar aku dulu,”
“Hiks~,
aku sudah dengar, Kei. Hiks. Pergilah dengannya. Kenapa? Kenapa kau tidak
bilang kau sudah bertunangan?”
“Mirai,
dia itu bukan tunanganku? Aku hanya dijodohkan. Aku bahkan belum menyetujui
perjodohan itu,”
“Kei,”
Olive menarik lengan Kei dengan paksa dan hendak memasukkannya ke mobil yang
sudah menunggu di depan restoran. “Ayo. Kita pulang ke Indonesia,”
Mirai
hanya menatap nanar pada mereka. Kei bahkan kalah oleh wanita itu. Atau ia justru
mengalah, karena dia memang tunangannya?
Mirai
berjalan dengan langkah gontai kembali ke rumahnya. Ia mengeluarkan ponsel dari
tasnya dan menyambungkan ke satu nomor.
Tuutt~ Tuutt~
“Hai,
ada apa Mirai?”
“Ryo~
hiks...”
“Eh?
Ada apa? Kenapa menangis?” Ryo yang sedang tiduran tiba-tiba mengubah posisinya
menjadi duduk.
“Jemput
aku, aku sendirian,”
“Ah,
baiklah, kau dimana sekarang?”
Ryo
yang tahu kalau Mirai sangat takut berjalan sendirian di malam hari segera menuju
tempat yang disebutkan Mirai.
~(^_^)~
#Yamada Ryosuke’s POV
Aku
masih belum berani bertanya tentang Kei. Aku hanya bisa mengutuk dalam hati,
kenapa Kei tega sekali meninggalkan Mirai sendirian.
Langkahnya
masih gontai, dia berjalan pelan sekali. Sayangnya aku tidak punya kendaraan,
jadi harus membiarkannya berjalan sampai rumah.
“Emm,
Mirai, kau pasti lelah, ya. Bagaimana kalau ku gend...”
Belum
sempat kuselesaikan kalimatku, Mirai mendekapkan tubuhnya ke tubuhku. Aku
tertegun seketika. Mirai hanya menangis di pelukanku. Perlahan kuangkat
tanganku dan balas memeluknya.
“Tenanglah,
Mirai, Aku disini. Kau tidak akan apa-apa. Kau aman sekarang,”
Sudah
seminggu Kei tidak masuk sekolah, tapi Mirai juga tidak pernah menceritakan
apa-apa padaku. Dan aku pun memillih untuk tidak membicarakannya. Mungkin Kei
sudah kembali ke Indonesia.
Ketika
aku dan Mirai sedang makan siang di kantin, tiba-tiba kulihat Kei menghampiri
kami, dia tidak memakai seragam sekolah.
“Mirai,”
Mirai
menoleh sejenak kemudian beranjak dan menarik tanganku. “Ayo, Ryo,”
“Mirai,
tunggu,” Kei menggenggam tangan Mirai – menahannya pergi.
Perlahan
aku melepaskan tangan Kei dari tangan Mirai, kemudian menghempaskannya dengan
kasar. “Mau apa lagi, kau?”
“Aku
tidak ada urusan denganmu, Ryo,”
“Urusanmu
dengan Mirai adalah urusanku juga,” aku menarik tubuh Mirai dan menyembunyikannya
di belakang tubuhku. Dia tidak tahu janjiku untuk melindungi Mirai.
“Tapi
ini masalah antara kami berdua,”
“Kei,
dengar. Setelah kau meninggalkannya pulang sendirian di tengah malam, kukira
kau tidak ada urusan lagi dengannya,”
“Itu
bukan keinginanku. Aku tidak berniat meninggalkannya,”
Aku
masih memasang wajah dingin dan menatap tajam ke arah Kei.
“Baiklah,
aku akan bicara denganmu saja,” akhirnya Kei luluh.
“Hah?”
“Iya,
kau! Ikut aku ke atap sekolah,” ujar Kei kemudian pergi meninggalkan kami.
Aku
masih terdiam di posisiku semula. Aku melirik ke arah Mirai yang masih
bersembunyi di belakang tubuhku. “Aku temui dia dulu. Kau tunggu disini ya,”
~(^_^)~
“Jadi,
kau bisa jelaskan apa yang terjadi?” aku mengawali pembicaraan.
Kei
masih terdiam menatap hamparan luas kota Tokyo dari atap sekolah. “Aku minta
maaf,”
“Eh?”
“Sore
ini aku akan kembali ke Indonesia. Dan kemungkinan tidak akan ke Jepang lagi,”
“Lalu?”
ucapku sedingin mungkin.
“Aku
ingin minta maaf pada Mirai,”
“Apa
perlu?”
“Ryo,
kau tidak mengerti. Kakekku sakit keras dan dia terus berpesan agar aku menikah
dengan Olive,”
“Kau
bahkan belum lulus sekolah, sudah bicara soal pernikahan,”
“Aku
tahu, keluargaku sangat kolot. Mereka masih memegang tradisi jodoh menjodohkan
anak. Aku tidak bisa apa-apa. Aku berhutang banyak pada kakekku. Mau tidak mau
aku harus menuruti keinginannya,”
“Lalu
dari awal kenapa kau mendekati Mirai kalau kau sudah punya tunangan?”
“Aku
pergi ke Jepang ini untuk menghindari perjodohan itu. Aku tidak setuju. Aku
tidak mau. Tapi, ternyata semuanya memang harus seperti itu. Aku harus kembali
ke Indonesia, jika tidak aku akan merasa bersalah seumur hidup pada kakekku,”
“Kau
tahu! Aku tidak suka pada laki-laki yang tidak punya pendirian. Tentukan hidupmu
sendiri! Kenapa harus orang lain yang mengaturmu? Jika kau merasa bersalah pada
kakekmu, apa kau tidak merasa bersalah pada Mirai?” aku agak berteriak pada Kei.
“Ryo,
aku...”
“Mirai~”
aku melihat Mirai sudah berdiri di belakang kami. Sepertinya sudah lama, dan cukup
untuk mendengar semua pengakuan Kei. Kei langsung membalikkan badannya.
“Mirai,”
Tanpa
Kei sempat menyelesaikan perkataannya, Mirai pergi meninggalkan kami berdua.
Aku hendak menyusulnya, tapi aku menghentikan langkahku dan berbalik ke arah
Kei.
“Kei,
urusan kita sudah selesai. Hati-hati di jalan,” aku menepuk pundak Kei,
kemudian pergi menyusul Mirai.
~(^_^)~
“Ryosuke-kun,
apa Mirai ada di rumahmu?” tanya ibunya Mirai dari seberang telepon.
“Tidak,
Bibi. Dia tidak kesini,”
“Ah,
kemana anak itu. Bibi sudah menelepon semua temannya, tapi dia tidak bersama
mereka. Bibi jadi khawatir,”
“Ah,
tenang saja, Bi. Aku akan mencarinya, dan akan mengantarnya pulang begitu aku
menemukannya,”
“Baiklah,
terimakasih. Maaf sudah merepotkan,”
Mirai
sampai berbuat seperti ini gara-gara Kei. Dia biasanya takut berjalan sendirian
di malam hari, tapi sekarang dia malah keluyuran malam-malam. Awas kau kalau
kutemukan!
Aku
segera menuju taman yang biasa kami kunjungi. Mirai sangat menyukai tempat itu,
dan selalu kesana ketika sedang ada masalah.
Dan
benar saja, dia memang disana. Tapi, dia tidak sendirian, ada empat orang pemuda berpenampilan seperti
preman mendekati dan mengerumuni Mirai.
“Hei,
gadis cantik. Sedang apa malam-malam sendirian,” goda pemuda itu.
“Ah~
awas kalian. Jangan ganggu aku,”
Pemuda
itu semakin menggoda dan merayu Mirai, mereka mendekap dan membekap Mirai
ketika Mirai berteriak.
Bugh!
Aku
melayangkan pukulan ke wajah salah satu dari mereka hingga dia berhasil
tersungkur di tanah. Tapi kawannya yang lain segera menangkapku dan memegangi
tanganku. Orang yang tadi aku pukul hingga jatuh itu segera bangkit dan
mendaratkan pukulan keras di perutku sampai membuatku mual. Tak puas sampai
disitu, ia berkali-kali meninju pipiku bergantian di kiri dan kanan. Darah
mengucur dari sudut bibir dan hidungku. Aku berusaha melepaskan diri. Aku
berkelahi dengan tiga orang preman itu sementara yang satu orang lagi masih
sibuk memegangi dan membekap Mirai yang meronta-ronta.
Bugh~ Bugh~ Bugh~
Bergantian
kami saling melayangkan pukulan dan berkelit sebisa mungkin.
Tiga
lawan satu, sungguh tidak adil, hah? Tapi demi Mirai aku akan menghabisi
kalian.
Aku
berhasil membuat K.O salah satu dari mereka. Setelah memastikan orang itu tak
berkutik lagi, aku berbalik hendak melawan dua orang berandalan yang masih membabi
buta menghajarku.
Aku
hendak mendaratkan pukulan ke perut mereka ketika....
Jleb~ Jleb~
Kurasakan
benda tajam dan dingin menembus punggungku – beberapa kali. Orang yang tadi
ternyata hanya berpura-pura kalah agar aku lengah. Sebelum aku jatuh terduduk, preman
yang di depanku menusukkan lagi pisau tepat ke ulu hatiku. Seketika kurasakan
darahku berhenti mengalir. Sebelum kemudian semuanya mengalir keluar dari luka
yang menganga di tubuhku. Aku tak dapat merasakan apa-apa. Hanya desiran
darahku yang semakin deras mengalir keluar dari tubuhku.
Aku
ambruk. Keempat pemuda itu berlarian ketika melihatku sudah kalah.
“Ryoooo~”
Mirai berlari ke arahku dan mengangkat tubuhku. Dia memelukku. “Ryoo
bertahanlah...” Mirai terisak.
“Mirai~
berjanjilah kau tidak akan keluar malam sendirian lagi,”
Mirai
hanya mengangguk. Kemudian ia kembali memelukku. “Maaf, Ryo~ Ini semua
gara-gara aku,” aku dapat merasakan air matanya mengalir mengenai wajahku. “Aku
akan minta tolong orang memanggilkan ambulans,” Mirai hendak beranjak tapi aku
mencegahnya. Aku ingin bertahan, tapi aku rasa keadaanku sudah sangat parah.
Aku tak bisa merasakan apa-apa. Tubuhku terasa kosong, sepertinya darahku sudah
habis keluar semua. Aku tidak merasakan lagi dekapan Mirai. Aku tidak mendengar
lagi suara tangisnya. Aku... perlahan ia mengabur dari pandanganku. Kemudian
semuanya gelap~
Yah,
paling tidak aku sudah memenuhi janjiku untuk melindungi Mirai sampai jatah
nafasku habis.
~(^_^)~
You and I must make a pact (kau dan aku harus membuat perjanjian)
We must bring salvation back (kita harus saling menyelamatkan)
Where there is love, I'll be there (dimana ada cinta,
selalu
akan ada aku)
I'll reach out my hand to you (aku akan mengulurkan tanganku padamu)
I'll have faith, you know you do (Aku punya kesetiaan, kau tahu kau
juga)
Just call my name, and I'll be there (panggil saja namaku, dan aku
akan
selalu
ada)
I'll be there to comfort you (aku akan
selalu
ada untuk membuatmu nyaman)
I'll build my world of dreams around you (Aku akan mewujudkan
mimpiku bersamamu)
I'm so glad that I've found you (Aku bahagia menemukanmu)
I'll be there with love that's strong (Aku akan
selalu
ada dengan cinta
yang begitu kuat)
I'll be your strength (aku akan menjadi kekuatanmu)
I'll be holding on and on (aku akan bertahan, dan bertahan)
Oh yes I will (Ya, aku akan)
Let me fill your heart with joy and laughter (izinkan aku mengisi
hatimu dengan kesenangan dan tawa)
Togetherness (kebersamaan)
Well that's all I'm after (Ya, itulah aku)
Whenever you need me (Kapanpun kamu membutuhkan aku)
I'll be there (aku akan
selalu
ada)
I'll be there to protect you (aku akan
selalu
ada untuk melindungimu)
With an unselfish love, and respect you (dengan cinta yang tak
egois, dan menghormatimu)
Just call my name (cukup panggil namaku)
I'll be there (aku akan
selalu
ada)
If you should ever find someone new (jika kau menemukan seseorang
yang baru)
I know he better be good to you (aku tahu dia lebih baik untukmu)
Cos if he doesn't (karena jika tidak)
Then I'll be there (maka aku akan
selalu
ada disana)
Dont' you know baby (tidakkah kau tahu, kasih)
I'll be there (aku akan selalu ada)
Just call my name (cukup panggil namaku)
I'll be there (aku akan selalu ada)
=The
End=
Glosarium:
Moshii-moshii:
Halo
Oyasuminasai:
Selamat malam/tidur
Chotto
matte: tunggu sebentar
Ikou:
ayo
Bento:
kotak makan siang
Sumimasen:
maaf
Hayaku:
cepat
Kara
kimashita: berasal dari
Yoroshiku
onegaishimasu: senang berkenalan dengan anda/mohon bantuannya (dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai “Nice to meet you”)
Sensei:
guru
Kuso:
sialan
Arigatou:
terimakasih
Hai:
iya
Rizuki
Yamazaki Asy-Syauqie,
Bandung,
June 2012
2012年6月27日
Nah ini baru Angst,
BalasHapusuntung yamachan gak sama mirai *komentar jahat*
LOL,
bahasanya enak, kalo Kei agak jahat dikit kayaknya tambah seru #misalnya yang merencanakan pengeroyokan#. ^^ kk suka dark & crime type sih :) *gak suka romance*
wah makin jago nih buat ff nya, ngalir aja pas baca tau2 udah tamat.
ditunggu englishnya biar kk post di Lounge.
Hehe~ ^^
HapusGak rela ya kak XD
makasih kak,,
tadinya rencana nya Olive yang mau dibuat jadi biang keladi pengeroyokan Ryo, tapi akku mentok idenya >,< jadinya gini deh T_T
aku pengen belajar buat FF dark, detective, atau crime, tapi imajinasi aku masih kurang soal itu , pdhal pgn bgt bikin ceita detektif :(
hehe~ makasih kak.. aku juga banyak belajar dari kakak ^^d
oke kak, aku proses dulu English version nya ^^
eh asy chan, coba latar post pagenya di buat warna putih, abu-abu, atau sejenis, & tulisannya warna gelap. atau tulisan putih latar itam. Biar enak bacanya :)
BalasHapus*tips: post page jangan dibuat transparant.
dibagian gadgetnya gak papa, bagus~
oh, oke kak, mau coba diganti dulu~
Hapushehe, makasih suggestion nya ^^