Title :
Frienemy (Friend or Enemy?) {Male | Indonesian Version}
Categories : OneShot
Genre : Friendship
Rating : Teenager – PG-15
Theme song : Oretachi no Seishun-Takaki Yuya [Hey! Say! JUMP]
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s] :
Categories : OneShot
Genre : Friendship
Rating : Teenager – PG-15
Theme song : Oretachi no Seishun-Takaki Yuya [Hey! Say! JUMP]
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s] :
- Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
- Chinen Yuri [Hey! Say! JUMP]
- Nakajima Yuto [Hey! Say! JUMP]
- Shida Mirai
Disclaimer! : All casts are not mine. The story is mine.
Synopsis/Quote: Kesetiaan~Pertolongan~Kebahagiaan~Kesedihan~Pengkhianatan.
Semua itu bisa saja terangkum dalam kata ‘sahabat’. Namun, seberapa pun
kebencian yang ada, seorang sahabat sejati tidak akan menumbuhkan dan
mengabadikan rasa itu. Jika rasa cinta itu lebih indah, lalu untuk apa rasa
benci meraja?
“Persahabatan
itu sangat indah dan berharga. Persahabatan itu bukan barang pecah. Tapi
seperti sebatang pohon...”
~(,^^)~~(^^,)~
#Author’s
POV
Apa
yang terlintas di benakmu ketika mendengar kata ‘Sahabat’?
Kesetiaan~?
Pertolongan~?
Kebahagiaan~?
Kesedihan~?
Atau
bahkan~
Pengkhianatan!?
Semua
itu bisa saja terangkum dalam kata ‘sahabat’. Namun, seberapa pun kebencian
yang ada, seorang sahabat sejati tidak akan menumbuhkan dan mengabadikan rasa
itu. Jika rasa cinta itu lebih indah, lalu untuk apa rasa benci meraja?
~(,^^)~~(^^,)~
#Chinen
Yuri’s POV
Aku,
Chinen Yuri, sudah belasan tahun merangkai puzzle persahabatan dengan Yamada
Ryosuke dan Nakajima Yuto. Bagiku,
mereka adalah teman terbaik yang pernah ada. Yang pernah kumiliki.
Dari
mereka aku belajar banyak hal. Dan tahu segala yang aku tidak tahu sebelumnya. Mereka
memberiku segala arti tentang persahabatan. Meskipun sifat kami tidak sama,
kami tetap bersama. Kami sama sekali tidak pernah memperbesar masalah kecil yang
ada di antara kami. Just take it easy, itu yang selalu kami katakan satu
sama lain jika ada masalah yang muncul.
Aku~
Berharap
ini semua hanya mimpi. Hanya mimpi buruk.
Dan
aku berharap aku akan bangun sebentar lagi, membebaskan diri dari mimpi buruk
ini.
Aku~
Hanya
bermimpi.
Ini
sudah bulan kedua mereka bertengkar. Ryo-chan dan Yuto-kun tidak
pernah bertegur sapa lagi sejak kejadian itu. Dan imbasnya, aku pun tidak bisa
menentukan sikap harus membela siapa, karena mereka berdua sahabatku.
~(,^^)~~(^^,)~
Pagi
ini di kelas baru ada kami bertiga, dan suasana hening. Tak ada percakapan.
“Ryo-chan,
nanti sore kau akan datang latihan sepakbola, kan? Sudah dua pertemuan kau
tidak datang,” aku mencoba menghampiri Ryo-chan yang sedang asyik dengan
manga-nya.
“Ah,
gomen Chii... Aku rasa aku tidak bisa, ada urusan yang harus ku
selesaikan,” ia menjawab tanpa melepaskan pandangan dari manga-nya.
“Masa
tidak latihan lagi, pertandingannya sebentar lagi, lho~”
“Gomen,
aku...”
“Sudah
jangan memaksa dia untuk latihan, pengkhianat seperti dia pasti malu untuk mengikuti
pertandingan lagi,” Yuto-kun tiba-tiba menyambar kalimat Ryo-chan
yang belum selesai.
Ryo-chan
sontak berdiri dan memukul meja dengan keras. “DIAM! Jaga bicaramu! Siapa yang
kau panggil pengkhianat?!” teriaknya sambil mengangkat telunjuk ke arah Yuto-kun.
“Berani
apa kau menyuruhku diam, hah? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, kau memang
PENG~KHI~A~NAT!”
Ryo-chan
tak dapat menahan amarahnya lagi dan ia segera mendekati Yuto-kun. Menarik
kerah baju Yuto-kun dan meninju pipinya.
BUGH~
Yuto-kun
terjungkir di antara meja-meja yang berderet rapi, kini meja-meja itu harus
rela barisan mereka dirusak oleh dua orang yang sedang diredam amarah. Yuto-kun
bangkit dan membalas pukulan Ryo-chan. Perkelahian tak terhindarkan.
“Yamete~,
kimitachi, yamete~!” teriakku, mencoba menghentikan mereka. Namun apa daya,
dengan tubuhku yang lebih kecil dari mereka, aku tak berhasil melerai keduanya.
“Yamete~,
onegai~, jangan berkelahi,” aku memeluk Ryo-chan dari belakang dan
menariknya menjauhi Yuto-kun. Ryo-chan meronta dan memaksa
melepaskan rangkulanku. Ia berhasil. Ia menghempaskanku ke lantai, dan...
“DIAM
kau! Jangan so’ jadi pahlawan dan merasa paling benar!” teriak mereka bersamaan. Mereka
keluar dan meninggalkan diriku yang masih tersungkur di lantai.
“Eh?”
aku menatap nanar pada mereka.
~(,^^)~~(^^,)~
Aku
sendiri. Ya, sendiri. Sebelum kejadian itu aku selalu bersama Ryo-chan
dan Yuto-kun di tempat ini. Atap sekolah. Ini tempat favorit kami. Kami
selalu menghabiskan waktu di sini dan menikmati hamparan luas kota Tokyo dari
atas. Sungguh indah.
Tapi
sekarang bukan keindahan lagi yang aku lihat. Semua keindahan itu seakan
terhalang oleh bayangan permusuhan yang mereka ciptakan. Aku benci pada diriku
sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengakhiri semua ini.
Aku
benci~
~(,^^)~~(^^,)~
#Yamada
Ryosuke’s POV
Riak
air sungai di depanku masih berkilauan memantulkan sinar jingga matahari yang
sebentar lagi akan menyusup ke peraduannya.
Pikiranku
menerawang jauh entah kemana. Mataku hanya menatap kosong pada objek di hadapanku.
Aku ingin menumpahkan air yang sedari tadi menggenang di sudut mataku. Tapi,
aku tidak boleh lemah dengan semua ini.
Sesungguhnya
aku benci, benci dengan semua ini. Kenapa aku harus bertengkar dengan Yuto?
Tapi
ini semua salahnya, kenapa dia tidak meminta maaf padaku?
Dia
hanya menunggu aku yang meminta maaf. Aku tidak mau. Ini bukan salahku. Bukan.
Ini bukan salahku. Dia yang sudah memulai ini semua. Dia, Yuto.
~(,^^)~~(^^,)~
#Nakajima
Yuto’s POV
Kali
ini bukit ini begitu sepi. Aku terbiasa dengan tawa mereka. Chinen dan Ryo.
Tapi sekarang mereka tidak disini bersamaku. Tidak. Kami berpisah karena suatu
hal bodoh, mungkin aku bisa menanggapnya satu hal bodoh. Kami tidak bersama
lagi. Kami sudah bukan sahabat lagi. Bukan.
Aku
tahu ini salah Ryo. Dia begitu egois dan tidak mau mengakui kesalahannya. Dia
menyuruhku meminta maaf. Hah, jangan gila. Dia yang harusnya minta maaf padaku.
~(,^^)~~(^^,)~
=Flashback=
#Author’s
POV
“Haa~
sakit..sakit..sakittt... ssh~” Yuto meringis memegangi pergelangan kakinya. “Aduuh~
itai...” ia menggigit bibirnya dan hampir menangis.
“Ha~
dasar cengeng! Sudah diam, aku sedang berusaha mengobatinya,” Ryo mengoleskan
obat ke kaki Yuto.
“Gampang
sekali kau bicara seperti itu, coba kau rasakan, sakit tahu!” Yuto mengkerut.
“Iya..
Iya.. Maaf..” Ryo melihat wajah sahabatnya itu penuh kekhawatiran. Cedera Yuto
sepertinya cukup parah.
“Minna,
gomen... Aku baru dapat es nya, ini~” Chinen berlari terengah-engah dan
menyodorkan es batu kepada Ryo.
Ryo
segera mengompres kaki Yuto sementara Yuto masih terus meringis kesakitan.
“Ryo,
pertandingannya lusa, dan aku malah cedera. Bagaimana ini?”
Ryo
berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Yuto. “Aku rasa cederamu
bisa sembuh. Tapi kau tidak mungkin langsung bertanding dengan kondisi seperti
ini. Terlalu beresiko,”
“Hee?
Jadi Yuto-kun tidak akan ikut bertanding?” Chinen berjongkok di samping
Yuto.
“Ahh~
aku tidak mungkin absen di pertandingan itu, Ryo. Tidak mungkin. Ibuku memberiku
kesempatan terakhir pada pertandingan ini. Jika aku menang, aku boleh
melanjutkan bermain sepakbola, tapi jika aku kalah aku harus menurutinya untuk
berhenti bermain,” Yuto menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Chinen
dan Ryo saling berpandangan dalam diam. Tak lama kemudian Ryo angkat bicara.
“Kau
jangan khawatir, tim kita akan menang. Aku janji, walaupun aku cuma pemain
belakang, tapi aku akan mencetak gol untukmu. Chii juga akan melakukannya, iya
kan Chii?”
“Ah,
iya. Tentu. Aku memang bukan striker seperti Yuto-kun, tapi aku
akan berusaha mencetak gol agar tim kita menang.” Chinen tersenyum lebar
memamerkan dua gigi kelincinya.
“Tapi,
lusa kita bertanding dengan Hyogo. Tim itu lebih kuat dari kita. Kalian...”
“Kau
tidak percaya pada kami, hey! Sudahlah, kalau kondisimu memang sudah baik, kau
bisa ikut bertanding, tapi jika keadaanmu masih kurang baik, percayakan lah
semua pada kami, dan tim kita, Kyoka.” Ryo menepuk pundak Yuto. Yuto tertegun
mendengar ucapan sahabatnya itu. Ryo benar, ia tak boleh meremehkan kemampuan
sahabatnya. Ia harus percaya pada Chinen dan Ryo.
~(,^^)~~(^^,)~
“Ryo-chan~”
sebuah suara lembut terdengar menggetarkan gendang telinga Ryo. Ia menengok ke
arah suara.
“Ah,
Mirai-chan, ada apa?” Ryo menyunggingkan senyuman termanisnya untuk
wanita di hadapannya.
“Bisa
bicara sebentar?”
“Ah,
tentu. Kita ke pinggir sungai. Di sana lumayan sepi jadi kita bisa berbicara
dengan tenang,”
“Iya,”
Mirai
kemudian mengekor Ryo menuju pinggir sungai.
“Hai,
duduklah. Ne, kau mau bicara apa, Mirai-chan?”
Beberapa
detik Mirai masih bungkam, tidak segera mengawali pembicaraan.
“Ano~
Ryo-chan,”
“Hmm,
doushite?”
“Lusa,
aku akan menjalani operasi mataku. Kau bisa melihatku tanpa kacamata tebal ini
lagi,” Mirai membetulkan letak kacamatanya. Tersenyum lebar.
“Benarkah?
Baguslah,”
“Tapi,
maukah Ryo-chan menemaniku di rumah sakit saat aku menjalani operasi?”
“Eh?”
“Kumohon...
Aku sangat takut. Bibi dan paman sudah pasti tidak akan datang. Kau tahu kan
mereka sangat tidak peduli padaku.”
“Tapi,”
Ryo menggantung ucapannya, berusaha memikirkan apa kata yang tepat untuk
menolak permintaan Mirai. Ya Tuhan, lusa nanti Ryo harus bertanding. Mana
mungkin ia...
“Jika
ayah dan ibu masih hidup, aku akan meminta mereka yang menemaniku. Tapi, sekarang
aku hanya punya Ryo-chan yang baik padaku. Jadi, aku mohon, Ryo-chan...
Temani aku di rumah sakit,” Mirai memohon sambil menggenggam tangan Ryo. Ryo
masih tertegun memandang wanita berkacamata tebal di hadapannya. Ia dilanda
dilema.
Mirai
ditinggal mati kedua orang tuanya sejak ia masih TK. Dan ia tinggal bersama
paman dan bibinya yang sama sekali tidak pernah memperhatikan Mirai. Biaya
operasi ini pun Mirai yang mengumpulkannya sendiri. Meskipun belum cukup umur,
ia bekerja sambilan di restoran dan di beberapa toko sepulang sekolah demi
memenuhi keinginannya melepas kacamata tebalnya. Mungkin ia tidak nyaman dengan
penampilannya. Ia seringkali diledek teman-temannya karena penampilannya yang
sedikit berbeda. Kacamata minus tebal, rambut pendek yang agak tak rapi,
pakaian yang kurang modis, dan buku-buku tebal yang selalu ada di dekapannya.
Itu membuat ia tak punya teman di sekolah. Sangat wajar jika Mirai ingin
mengubah itu semua. Karena ia pasti merasa sangat kesepian. Selama ini hanya
Ryo yang mau peduli pada Mirai.
“Mirai-chan,
pukul berapa operasimu dimulai?”
“Sekitar
pukul sembilan pagi, di Rumah Sakit Tokyo,”
Pukul
sembilan. Pertandingan Kyoka vs Hyogo dimulai pukul delapan. Rumah Sakit Tokyo
letaknya cukup jauh dari stadion tempat mereka bertanding. Mendadak Ryo merasa
ia sedang berdiri di satu persimpangan dan ia tak bisa menentukan kemana ia harus
melangkah.
“Ryo-chan
tidak bisa datang ya?” Mirai melepaskan genggamannya dari tangan Ryo. Bibirnya
kini menekuk ke bawah.
“Hhmm,
lusa itu, aku...”
“Ya
sudah, kalau memang Ryo-chan tidak bisa datang, tidak apa-apa. Maaf aku
sudah memaksa. Tadinya aku hanya ingin ada orang yang mendukung dan menemaniku.
Operasinya belum tentu berhasil, karena aku masih di bawah 17 tahun. Jika
operasi itu gagal, dan aku jadi buta. Aku hanya ingin Ryo-chan adalah
orang terakhir yang aku lihat.”
“Mirai-chan.
Kenapa kau tidak menunggu saja sampai kau cukup umur untuk operasi itu? Tidak
lama, tiga tahun lagi. Dan hasil operasinya juga akan lebih maksimal,”
“Ryo-chan,
hidup tiga tahun dengan penuh cacian itu bukan sebentar,”
“Itu..”
“Aku
sudah putuskan untuk menjalani operasi itu sekarang. Aku ingin mengubah
hidupku, agar teman-teman tidak menghinaku lagi.”
“Mirai-chan,
seorang teman yang tulus tidak akan melihatmu dari penampilan luarmu. Lagipula,
masih ada aku yang menemanimu,”
“Iya,
aku tahu. Terimakasih sudah menyempatkan waktu bicara denganku,” Mirai beranjak
dan hendak pergi.
“Eh,
chotto matte. Mirai-chan...”
Mirai
menghentikan langkahnya. Tapi tak segera menoleh ke arah Ryo. Ryo beranjak dan berjalan
ke arah Mirai.
“Aku
akan datang ke operasimu nanti lusa,” Ryo tersenyum. Menatap lekat-lekat
sepasang onyx dibalik kacamata berbingkai persegi itu.
“Arigatou~”
senyum Mirai kembali terkembang.
~(,^^)~~(^^,)~
Ryo
masih berada di Rumah Sakit, Mirai baru saja memasuki ruang operasi. Sementara
handphonenya masih terus saja berdering. Yuto terus berusaha menelepon Ryo
karena pertandingan sudah berjalan 30 menit. Ryo harus segera pergi ke stadion.
Ia tak mungkin meninggalkan pertandingan itu. Pertandingan itu sangat penting.
Terlebih lagi, dia sudah janji pada Yuto untuk mencetak gol dan memenangkan
pertandingan itu.
Tapi,
bagaimana dengan Mirai? Ryo juga tak mungkin meninggalkannya sendirian. Ah,
tidak. Ryo bisa pergi ke pertandingan dan kembali lagi kesini. Operasi Mirai
sepertinya tidak akan selesai dalam waktu cepat.
Ryo
segera beranjak dan hendak menuju stadion. Tiba-tiba langkahnya terhenti.
“Tetaplah
disini, Ryo-chan. Sampai operasiku selesai,”
Kalimat
Mirai kembali menahannya pergi.
“Ibuku
memberiku kesempatan terakhir pada pertandingan ini. Jika aku menang, aku boleh
melanjutkan bermain sepakbola, tapi jika aku kalah aku harus menurutinya untuk
berhenti bermain,”
Ketika
suara Yuto mengiang di telinganya, dia kembali berlari menuju stadion.
“Maafkan
aku Mirai-chan, aku akan segera kembali setelah pertandingannya
selesai,”
~(,^^)~~(^^,)~
Perjalanan
terasa sangat panjang. Kenapa jarak antara Rumah Sakit dan stadion terasa
sangat jauh sekali kali ini. Bis yang Ryo tumpangi terasa berjalan lambat
menyusuri jalan.
Tiit..
Tiit..
Ryo
membuka flip ponselnya dan membaca email dari Yuto.
“Ryo,
kamu dimana? Pertandingan babak kedua akan segera dimulai,”
Pikiran
dan hati Ryo semakin tak karuan. Bis yang membawa Ryo ke stadion masih terjebak
macet. Tanpa pikir panjang Ryo segera turun dari bis itu dan berlari ke
stadion. Ia terus berlari... Berlari... Berlari....
“Yuto...
aku akan datang... memenuhi janjiku...”
~(,^^)~~(^^,)~
Ryo
tiba di stadion. Ia segera menuju locker room dan mengenakan kostumnya.
Kemudian bergegas ke lapangan.
“Yuto,”
panggil Ryo pada laki-laki yang duduk di bangku cadangan. Kakinya terbalut
perban karena cederanya bebepara waktu lalu.
Yuto
hanya meliriknya sekilas. “Aku kira kau tidak akan datang,”
“Gomen...
Hhhh~ Aku akan segera bertanding,”
“Kau
tidak lihat, kita sudah ketinggalan tiga angka. Sedangkan waktunya tak lebih
dari 15 menit lagi. Apa tim kita bisa menang dalam waktu sesingkat itu?”
“Ganbarimasu,”
“Coach,
masukkan aku ke lapangan,” Ryo mendekati Kagawa-san.
“Hah?
Ryo, dari mana saja kau? Kalau begitu gantikan Chinen, ia sudah kelelahan dan tadi
kakinya sempat cedera,”
“Apa?
Tapi, aku akan bermain bersama Chinen,”
“Sudahlah
jangan banyak bicara. Waktu kita tak banyak,” Kagawa-san memberikan kode
untuk meminta pergantian pemain. Chinen berlari ke pinggir lapangan.
“Yosh,
ganbatte Ryo-chan,” Chinen menepuk punggung Ryo pelan.
“Hai,”
Ryo segera berlari ke tengah lapang.
~(,^^)~~(^^,)~
#Chinen
Yuri’s POV
Kami
masih mematung dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Yuto-kun melipat
tangannya di perut sambil memandang kesal ke bawah hamparan kota Tokyo. Aku tak
berani mengawali pembicaraan. Jika aku salah bicara, semuanya bisa fatal.
“Yuto,”
akhirnya Ryo-chan yang memberanikan diri memecah keheningan yang menyelubungi
kami.
Yuto-kun
tidak menanggapi panggilan Ryo-chan.
“Yutoo,”
Ryo-chan memanggilnya agak keras kali ini.
“Apa?!”
balas Yuto-kun kasar.
“Kau
marah padaku gara-gara itu?”
“Menurutmu?”
“Hhh~
tapi aku sudah penuhi janjiku untuk mencetak gol, dan...”
“Kau
berjanji untuk bertanding untukku, dan akan memenangkan pertandingan itu, bukan
hanya mencetak gol. Tapi kau mengingkarinya. Sekarang, aku tidak bisa bermain
lagi. Tidak akan bisa... Kau tahu?”
Ryo-chan
dan aku hanya bergeming mendengar kalimat Yuto-kun.
“Gomen...”
suara Ryo-chan terdengar sangat pelan. “Aku..”
“Ya,
aku tahu, kau sibuk mengurusi gadis aneh itu, kan? Sampai kau melupakan janjimu
padaku,” Yuto-kun tertawa miris.
“Jangan
bilang dia gadis aneh!” tiba-tiba Ryo-chan menaikkan nada bicaranya.
“Kenapa?
Kau marah? kau tidak menghargai lagi persahabatan kita, dan itu semua gara-gara
gadis aneh itu. Dasar tidak bisa menjaga komitmen.”
“Kau...”
Ryo-chan bangkit dan mengangkat kepalan tangannya ke udara – hendak
memukul Yuto-kun.
“Ryo-chan,
jangan,” aku berusaha menggapai tangan Ryo-chan dan menghentikan niatnya
untuk melukai Yuto-kun.
“Kau
tidak mengerti perasaanku Ryo... Hidupku begitu diatur oleh orangtuaku. Aku tidak
bisa sebebas kau. Kau tidak mengerti bagaimana rasanya tidak bisa lagi
melakukan hal yang sangat kau sukai hanya karena orangtuamu melarangmu.”
“Yuto...”
“Yuto-kun...”
“Hhh~
bodohnya. Tentu saja kau tak akan merasakannya. Hidupmu bebas. Tanpa ada yang
mengatur. Siapa yang akan mengaturmu, kau tidak punya orang tua dan hanya
tinggal di panti asuhan,” ujar Yuto-kun diakhiri senyuman sinis.
“Apa
maksudmu? Jaga bicaramu hey Tuan!” emosi Ryo-chan mulai mendidih lagi.
Aku terus memegangi tangan Ryo-chan agar ia tak melakukan hal yang
buruk. Tapi Ryo-chan lebih kuat dan berhasil melepaskan peganganku.
“Apa
hak mu menilai hidupku?” Ryo-chan menghampiri Yuto-kun dan
melotot sambil mengacungkan telunjuk di depan Yuto-kun. Aku mulai panik
dan khawatir mereka akan berkelahi.
“Ryo-chan,
sudah...” aku berusaha menenangkan Ryo-chan.
“Diam!”
hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sedikit, tapi kasar.
“Dengar,
aku sudah berusaha datang ke pertandingan, aku sudah mencetak gol, dan aku
sudah meminta maaf padamu. Masalah menang atau kalah bukan salahku. Kalaupun
kau ikut bertanding juga belum tentu tim kita akan menang.” Ryo-chan
berteriak pada Yuto-kun.
“Tapi
jika kau datang lebih awal kau akan punya banyak waktu untuk membalikkan
keadaan. Apa yang kau bicarakan. Tentu saja aku akan mengalahkan mereka, aku
ini...”
“Pemain
terbaik di tim. Aku sudah tahu! Silahkan~ silahkan lanjutkan tuan sempurna,
tuan pemain terbaik di tim Kyoka. Tuan yang tidak pernah kalah, tuan yang tidak
pernah salah. Lain kali jangan minta bantuan pada orang brengsek *sensor*
seperti aku, yang bahkan tidak punya orangtua,” Ryo-chan bicara penuh
emosi, kemudian berbalik dan segera meninggalkan kami.
Yuto-kun
terlihat tidak peduli pada kata-kata Ryo-chan. Ia seperti mengacuhkan Ryo-chan.
Terlebih lagi, ia seperti tidak menyesal sudah mengucapkan kata-kata yang
menyakiti hati Ryo-chan. Aku melihatnya, walaupun sekilas. Ryo-chan
menitikkan air mata saat Yuto-kun membahas tentang orangtuanya.
Aku
tertegun melihat pemandangan di depanku. Dua orang sahabat terbaikku bertengkar.
Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
=End
of Flashback=
~(,^^)~~(^^,)~
#Author’s
POV
“Ryo-chan”
sebuah suara lembut berhasil mengembalikan Ryo dari dunia khayalnya. Ryo
menengok ke sumber suara. Tersenyum. Seorang wanita cantik berambut panjang
sebahu, dengan dress pink selutut sudah berdiri di sampingnya.
“Apa
kabar?” sapa wanita itu lagi.
“Ah,
baik... Duduklah, Mirai-chan,” Mirai tak segera menuruti tawaran Ryo.
“Ah, kau takut bajumu kotor, ya. Ini, duduklah disini,” Ryo melepaskan jaketnya
dan menghamparkannya di rumput.
“Hmm,
terimakasih, tapi tidak usah repot-repot,” Mirai tersenyum dan memungut jaket coklat
tua itu. Kemudian menyerahkannya pada Ryo. “Aku kan sudah biasa duduk di rumput
ini,” Mirai kemudian mengambil posisi di samping Ryo.
“Ah,
iya..” Ryo tersenyum seraya mengambil jaketnya dari tangan Mirai.
Mirai
menatap pemandangan yang sedari tadi sedang dinikmati Ryo – matahari terbenam.
“Suteki
desu ne,”
“Un,”
“Ryo-chan...
Masih bertengkar dengan Yuto-kun?”
“Eh?”
“Maaf,
ini semua salahku... Aku yang memaksamu datang ke rumah sakit, sehingga Ryo-chan
terlambat ke pertandingan,”
“Ah...
Daijoubu.. Sama sekali tidak apa-apa. Kami bertengkar bukan karena
itu... Iya.. He...” Ryo menjawab dengan gugup.
“Moushiwake
arimasen...” suara Mirai terdengar turun beberapa oktaf.
“Iie,
sudahlah. Ini semua bukan salahmu, sungguh...” Ryo memaksa Mirai untuk
tersenyum. Mirai masih terlihat merasa bersalah telah meretakkan hubungan
persahabatan mereka.
Dulu,
Ryo memilih untuk menemani Mirai di Rumah sakit karena ia tahu rasanya sendiri.
Ia tahu bagaimana rasanya tidak ada orangtua yang mendukungnya.
“Ryo-chan...
Kau sangat suka matahari ya?” akhirnya wajah Mirai sedikit lebih cerah kembali.
“Un,
aku suka matahari. Matahari itu menghangatkan, dan menyinari. Dia juga memberi
kekuatan dan kehidupan,” ujar Ryo mantap. Matanya tak lepas memandang cahaya
jingga di hamparan langit.
“Tapi,
Ryo-chan. Tahukah bahwa ada yang lebih indah, bersinar dan menghangatkan
daripada matahari?”
“Eh?”
Ryo menoleh ke arah Mirai dan mengangkat sebelah alisnya.
“Persahabatan.”
Ucap Mirai mantap.
Ryo terbelalak
mendengar kata itu. Mirai menghela nafas dan kembali meneruskan kalimatnya. “Persahabatan
itu sangat indah dan berharga. Persahabatan itu bukan barang pecah. Tapi bagiku
persahabatan itu seperti sebatang pohon. Persahabatan sama sekali tidak akan
pernah bisa hancur. Sahabat itu selamanya sahabat. Tidak akan pernah berubah. Musuh
mungkin bisa saja menjadi sahabat. Tapi sahabat tidak akan menjadi musuh. Karena
ia dibangun dengan cinta. Cinta pada sesama teman. Seperti sebatang pohon, walaupun
musim terus berganti, dan sesering apapun matahari terbit dan tenggelam, ia
tetap berdiri tegak. Tidak terpengaruh oleh apapun.”
Ryo
masih tertegun memperhatikan Mirai. Ia masih berusaha mencerna kata-kata yang
baru saja didengarnya.
“Maafkan
aku terlalu lancang,” Mirai menunduk. “Aku pamit dulu, Ryo-chan. Bibi
akan marah kalau aku pulang terlambat, sampai jumpa.”
“Iya,
hati-hati,” Ryo hanya menjawab singkat.
“Eh,
Mirai-chan..”
“Ya?”
“Arigatou~”
Mirai
hanya menjawabnya dengan senyuman.
~(,^^)~~(^^,)~
Sreekk~
Srekkk~
Yuto
segera terbangun dari lamunannya dan menengok ke arah suara.
Sreekk~
Sreekkk~
Suara
itu terdengar lagi. Yuto berusaha mencari arah suara itu. Ia melihat seorang
anak laki-laki berusia 6 tahunan sedang membungkuk dan menyingkap semak-semak.
Yuto segera menghampiri anak itu.
“Ano...
Sedang apa adik kecil?”
Anak
itu melirik ke arah Yuto kemudian kembali memfokuskan pandangan ke semak-semak.
“Sedang
mencari sesuatu? Sini kakak bantu,”
“Tidak
usah,”
“Kenapa?
Akan lebih cepat kalau aku membantumu, kau sedang mencari apa?”
“Tidak
ada. Sesuatu yang aku cari tidak akan pernah ditemukan,”
“Eh?
Apa maksudmu?”
Anak
itu masih bungkam, tidak mau segera memberitahu Yuto tentang sesuatu yang
sedang dicarinya.
“Adik
kecil, ada apa?”
Alih-alih
menjawab pertanyaan Yuto, anak itu malah menangis.
“Eh?
Ada apa? Hei, jangan menangis...”
“Aku
mencari anak anjing temanku,”
“Ah,
seperti apa anjingnya? Biar kakak yang mencarinya,”
“Tidak
akan ada. Sudah kubilang tidak akan ada...”
“Eh?
Kenapa?”
“Anjingnya
sudah mati,”
“Eh?”
Yuto masih bingung dengan perkataan anak yang masih terisak itu.
‘Lalu,
kenapa kau masih mencarinya?”
“Ryuu-chan
sedang sakit. Dia menitipkan anjingnya padaku. Aku berjanji akan menjaganya
selama Ryuu-chan sakit. Tapi.... Tapi.... Dia mati.... jatuh dari atas
bukit ini...huaaa~” anak itu bercerita sambil terus menangis.
“Kau
bilang pada Ryuu-chan kalau anjingnya sudah mati?”
Anak
itu menggeleng, “Aku hanya bilang kalau Hachi hilang. Dia akan marah sekali
padaku kalau tahu Hachi sudah mati. Sekarang saja dia sudah marah sekali
padaku. Dia bilang aku tidak bisa dipercaya. Dia bilang aku harus mencari Hachi
sampai dapat,” Anak itu kembali menyibak semak-semak di depannya.
“Tapi,
untuk apa kau mencari anjing itu kalau kau sudah tahu bahwa dia tidak ada
disini?”
“Aku
sudah berjanji pada Ryuu-chan akan mencarinya. Walaupun aku tahu
aku tidak akan pernah menemukan Hachi.
Aku berjanji untuk mencari Hachi, aku tidak ingin Ryuu-chan marah
padaku.”
Tiba-tiba
otak Yuto memutar ulang rekaman kalimat yang pernah ia dengar dari Ryo,
“...aku
sudah berusaha datang ke pertandingan, aku sudah mencetak gol, dan aku sudah
meminta maaf padamu. Masalah menang atau kalah bukan salahku...”
Kalimat
itu sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang dari memori Yuto. Tiba-tiba Yuto
sadar. Ia merasa sangat egois. Egois. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia
hanya ingin mempertahankan mimpinya sendiri, tanpa peduli harus kehilangan Ryo,
sahabatnya.
“Taro-chan...”
“Ryuu-chan?”
“Taro-chan...
Maafkan aku... Aku sudah marah-marah padamu. Aku menyuruhmu mencari Hachi,”
“Un,
tidak apa-apa. Aku sedang mencarinya Ryuu-chan, tenang saja.” Anak yang
dipanggil Taro-chan itu segera berbalik kembali ke semak-semak. Dengan
sigap Ryuu-chan menahannya.
“Jangan...”
“Eh?”
“Kaa-chan
sudah bilang padaku kalau Hachi sudah mati,”
“Hah?
Tapi...”
“Sudah
Taro-chan... Jangan mencarinya lagi. Aku minta maaf. Aku masih bisa
membeli anak anjing di toko, tapi jika terjadi apa-apa padamu, aku tidak bisa
mendapatkan sahabat sepertimu dimanapun,”
“Ryuu-chan...”
Kedua
pasang bola mata onyx itu terlihat berkaca-kaca. Mereka berpelukan.
“Arigatou,
Ryuu-chan... aku minta maaf tidak menjaga Hachi dengan baik,”
“Un,
tidak apa-apa. Aku yang minta maaf tidak menjaga teman sebaik dirimu,”
Yuto
tertegun menyaksikan peristiwa itu. Ia kembali berusaha memutar ulang kalimat
yang beberapa detik lalu ia dengar dari anak bernama Ryuu-chan itu,
“Sudah
Taro-chan... Jangan mencarinya lagi. Aku minta maaf. Aku masih bisa membeli
anak anjing di toko, tapi jika terjadi apa-apa padamu, aku tidak bisa
mendapatkan sahabat sepertimu dimanapun,”
Sahabat.
Ia tak kan bisa mengganti sahabat dengan apapun. Ryo tak bisa diganti dengan
prestasi atau kemenangan macam apapun. Pertandingan itu, izin bermain sepakbola
dari orangtuanya. Semua itu tidak lebih berharga dari persahabatannya dengan
Ryo dan Chinen.
“Ayo
kita pulang, Taro-chan..”
“Hai,
Kakak, aku pulang dulu,” pamit anak itu pada Yuto. Yuto hanya mengangguk.
~(,^^)~~(^^,)~
Hari
hampir gelap. Sementara Chinen masih asik duduk memandang kota Tokyo dari atap
sekolah. Ia masih merasa sangat sangat sangat tak berguna. Ia tak bisa
melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan.
“Ah,
aku harus menemui Yuto-kun dan Ryo-chan...” Chinen kemudian
beranjak dan segera menuju bukit belakang sekolah. Tempat favorit kedua mereka
setelah atap sekolah. Mereka sangat suka melihat kota dari ketinggian.
Chinen
berpapasan dengan Ryo ketika ia hendak naik ke bukit.
“Chii?”
“Ryo-chan?”
“Aku...”
“Ikou...”
Chinen meraih tangan Ryo dan menariknya naik ke bukit. Belum sampai dua meter mereka
berjalan, mereka terhenti. Yuto sudah ada di depan mereka.
“Yuto...”
“Yuto-kun...”
“Ryo...”
Ucap
mereka bersamaan.
“Gomen...”
lanjut mereka bersamaan lagi.
Seketika
suasana hening. “Haha...” tapi kemudian terdengar tawa kecil dari bibir mereka
bertiga.
Ryo
dan Chinen segera menghampiri Yuto. Setelah mereka hanya berjarak 30 centimeter,
mereka saling memandang.
“Gomen
nasai...” Yuto berkata pelan namun mantap.
Ryo
mengangguk. “Aku juga minta maaf,”
Yuto
menarik Ryo ke pelukannya. Chinen hanya bisa termangu melihat mereka berdua.
Yah, ternyata ia memang tidak harus berbuat apa-apa untuk menyatukan mereka.
Karena pada dasarnya mereka memang sudah bersatu. Apapun yang terjadi mereka
akan tetap bersatu.
“Hey,
kalian mau asik berdua dan melupakan aku?”
“Hahaa~
tentu saja tidak Chii...” Yuto menarik Chinen ke pelukannya. Mereka bertiga
berpelukan.
~(,^^)~~(^^,)~
“Ayo
naik, sini.. Hati-hati...” Yuto dan Ryo mengulurkan tangannya ke arah Chinen.
Hap~
Chinen
berhasil mencapai dahan pohon yang tinggi, sehingga ia bisa melihat lampu-lampu
kota dan cahaya oranye Menara Tokyo dengan jelas.
“Haa~
suteki desu ne... Haha...”
Cahaya
bulan yang bulat sempurna, hembusan angin malam yang lembut, dan cahaya-cahaya
lampu di hamparan kota Tokyo itu sudah cukup menjadi saksi dari persahabatan
mereka bertiga. Persahabatan yang tidak akan terpisahkan oleh apapun.
~(,^^)~~(^^,)~
Oretachi ima shika dekinai koto ga aru no sa
Sore wo kudaranai koto da to Muda na koto da to iwasenai
Taiyou yori mabushii mono , Me wo tojite itemo mune made atsuku naru
Yuujou wakariaeru yatsu, Kanjou butsuke aeru yatsu
Inochi moyashite ikite iru , Oretachi ga koko ni iru
Kokoro wo zawatsukaseta mama , Kisetsu wa sugiyou to shiteru
Subete ga kawaru sono mae ni , Nanika wo kaetakute hashitta
Oretachi doko made ittemo , Doko ni mo ikenai you na
Kibun de itsumo no basho ni omoi wo tokihanatsu
Oka no ue de miorosu machi , Chippoke na oretachi to hateshinai sora
Yuujou kesshite kowarenai , Junjou kizu tsukinagara mo
Kakegae no nai kono toki wo , Tomo ni koeru koto no imi
Konna itami mo ashita ni wa , Kieru no ka mo shirenai kedo
Matenai no sa oretachi ni wa , Ima shika dekinai koto ga aru
Oretachi no seishun ~
Sore wo kudaranai koto da to Muda na koto da to iwasenai
Taiyou yori mabushii mono , Me wo tojite itemo mune made atsuku naru
Yuujou wakariaeru yatsu, Kanjou butsuke aeru yatsu
Inochi moyashite ikite iru , Oretachi ga koko ni iru
Kokoro wo zawatsukaseta mama , Kisetsu wa sugiyou to shiteru
Subete ga kawaru sono mae ni , Nanika wo kaetakute hashitta
Oretachi doko made ittemo , Doko ni mo ikenai you na
Kibun de itsumo no basho ni omoi wo tokihanatsu
Oka no ue de miorosu machi , Chippoke na oretachi to hateshinai sora
Yuujou kesshite kowarenai , Junjou kizu tsukinagara mo
Kakegae no nai kono toki wo , Tomo ni koeru koto no imi
Konna itami mo ashita ni wa , Kieru no ka mo shirenai kedo
Matenai no sa oretachi ni wa , Ima shika dekinai koto ga aru
Oretachi no seishun ~
Translation:
Ada banyak hal yang hanya bisa kita lakukan
sekarang
Dan aku tidak akan membiarkan seseorang mengatakan
Itu adalah hal yang bodoh atau tidak berguna
Sesuatu yang lebih bersinar dari mentari , Bahkan dengan mata tertutup, ia mampu menggapai dan menghangatkan hatiku
Persahabatan adalah seseorang yang memahami dirimu
Seseorang yang bisa kau tunjukkan perasaanmu padanya
Kita disini, membakar hidup kita
Walaupun musim telah berlalu , Hati kita masih berdengung
Kita berlari ingin mengubah sesuatu , Sebelum segalanya berubah
Tidak masalah kemanapun kita pergi
Rasanya seperti kita tidak bisa pergi kemanapun
Jadi, ku melepaskan perasaanku di tempat yang sama
Mengamati kota dari puncak bukit , Kita terlalu kecil tuk melawan langit yang tak berujung
Persahabatan tak akan pernah putus , Walaupun hati suci kita telah terluka
Makna menghabiskan waktu yang berharga ini bersama
Mungkin rasa sakit ini akan menghilang di hari esok
Tapi kita tidak bisa menunggu , Ada hal yang hanya bisa kita lakukan sekarang
Masa muda kita ~
Dan aku tidak akan membiarkan seseorang mengatakan
Itu adalah hal yang bodoh atau tidak berguna
Sesuatu yang lebih bersinar dari mentari , Bahkan dengan mata tertutup, ia mampu menggapai dan menghangatkan hatiku
Persahabatan adalah seseorang yang memahami dirimu
Seseorang yang bisa kau tunjukkan perasaanmu padanya
Kita disini, membakar hidup kita
Walaupun musim telah berlalu , Hati kita masih berdengung
Kita berlari ingin mengubah sesuatu , Sebelum segalanya berubah
Tidak masalah kemanapun kita pergi
Rasanya seperti kita tidak bisa pergi kemanapun
Jadi, ku melepaskan perasaanku di tempat yang sama
Mengamati kota dari puncak bukit , Kita terlalu kecil tuk melawan langit yang tak berujung
Persahabatan tak akan pernah putus , Walaupun hati suci kita telah terluka
Makna menghabiskan waktu yang berharga ini bersama
Mungkin rasa sakit ini akan menghilang di hari esok
Tapi kita tidak bisa menunggu , Ada hal yang hanya bisa kita lakukan sekarang
Masa muda kita ~
=The
End=
Glosarium:
Just take it easy: Santai saja
Manga: komik
Gomen: maaf
Yamete: Hentikan
Kimitachi: kalian
Onegai: kumohon
Itai: sakit
Minna: Teman-teman
Hai: baik
Doushite: kenapa
Chotto matte: tunggu sebentar
Arigatou: terimakasih
Ganbarimasu: aku akan berusaha
Coach: pelatih
Ganbatte: semangat
Suteki desu ne: indah ya
Un: iya
Daijoubu: tidak apa-apa
Moushiwake arimasen: maaf
Iie: tidak
Kaachan: ibu
Ikou: ayo
Rizuki Yamazaki
Asy-Syauqie
Bandung, July 2012
2012年7月9日
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMOhon komentar nya.. to make me better... (^^)
BalasHapushiks sedih, kk suka.... next tie ganti jangan mirai yah ^^
BalasHapusdi ff emang sah sah aja sih pake POV, lebih enak pake kata2 aja kalo mau ubah sudut pandang.
tapi kalo asy chan biasa kan nulis gak selayaknya ff, menjurus ke novel, cerpen dll. kayaknya lebih enak. katanya mau jadi penulis ^^
makasih kak ^^
Hapusaehehe... kk sukanya siapa? :)
emm, gimana caranya kak? apa kayak FF kk yang 'Dont believe in anything' itu? itu kan POV nya RYo sama Diyanu ganti2an..
emm... iya kak... ntar mau dicoba, hehe
makasih suggestion nya.. :)