To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 20 Mei 2012

[Fanfiction] Pergi untuk (tidak) Kembali... {Indonesian Version}

Title              : Pergi untuk (tidak) Kembali...
Categories    : OneShot
Genre           : Romance - a little Angst
Rating           : (Maybe) G
Theme song  : Futarigake no Basho – Hey! Say! JUMP [Theme song versi Indonesia: Bicara pada Bintang – Rossa]
Author          : Rizuki Yamazaki a.k.a Zakiyah
Cast[s]             :
  1. Yamada Ryosuke [Hey!Say!JUMP] – main cast
  2. Shida Mirai – main cast
  3. Chinen Yuuri [Hey!Say!JUMP] – pemeran pembantu
  4. Arioka Daiki [Hey!Say!JUMP] – pemeran pembantu
Disclaimer:All Casts adalah tokoh idola yang sudah terkenal dan saya pinjam untuk memerankan fanfic saya [Meski tanpa izin. LOL]. Ide cerita hanyalah fiktif/khayalan penulis belaka. Jika terdapat kesaaman latar, waktu maupun jalan cerita, maka itu merupakan ketidaksengajaan [Banyak orang di dunia ini yang memiliki cerita yang sama] . Alasan lain, author [mungkin] memang [sengaja] mengambil sedikit inspirasi dari cerita anda [lol]. Terakhir, jika anda menemukan ketidakjelasan di awal, di tengah, atau di akhir cerita [singkatnya: kalo ceritanya gaje], itu hanya salah satu aspek ke’amatir’an author [mafhum, masih belajar].
After all, happy reading, minna [guys]! ^^

Synopsis/ Quote:
“Kau harus ingat, Ryo-chan.. Kau adalah bulan, dan aku adalah bintang... Ketika kita sedang berjauhan, kau lihatlah ke langit, bulan dan bintang [kau dan aku], selalu bersama. Berdekatan. Dan saling memberi cahaya.
Bintang hatinya yang satu itu mungkin sudah mengingkari atau mungkin melupakan janjinya.
***
Hari ini pengumuman kelulusan. Anak-anak SMA se-Jepang merayakan moment bersejarah dalam hidup mereka dengan suka cita. Termasuk juga murid SMA Nankatsu: Yamada Ryosuke, Shida Mirai, Chinen Yuuri, dan Arioka Daiki. Keempat sekawan itu pun segera menuju bukit belakang sekolah dengan berlari riang.
“Wuuuhhhuuuuu.....!!!!!!!!!” mereka terus berteriak-teriak.
Yamada melepas jas sekolahnya dan memutar-mutarkannya di udara. Yang lain pun mengikuti aksinya itu.
Sesampainya di puncak bukit... Yamada tersenyum melihat pemandangan kota Tokyo dari atas bukit itu. Ia kembali berteriak.
Toudai [Toukyou Daigaku=Universitas Tokyo]... Aku dataaaang....!!!!” senyumnya tak henti mengembang. Deretan giginya yang putih terus ia pamerkan.
Daiki membungkuk seraya memegangi kedua lututnya dengan nafas terengah-engah. Chinen menepuk pundaknya, “Ah, kau tetap saja payah, Dai-chan! Masa Cuma segitu saja kecapean..” ledek Chinen.
“Ah, jangan banyak bicara. Yang penting aku kan sudah ikut kesini. Ini buktinya aku sudah mengalami kemajuan..” Daiki yang memang terkenal paling payah dalam olah-mengolah raga itu melakukan pembelaan.
“Haha... Wakatta [aku tahu].. kau sudah hebat sekarang...” Chinen menyodorkan botol air minum ke arah Daiki. Daiki hendak meraihnya ketika Chinen malah menariknya kembali dan meminum air itu sendiri.
Kuso! [sialan].. berikan air itu, baka! [bodoh]!! Aku haus..” Daiki terus berusaha meraih botol air itu sementara Chinen terus berlari menjauh sambil tertawa-tawa.
Shida terkekeh melihat ulah kedua sahabatnya itu. Sejurus kemudian, ia menghampiri Yamada yang sedari tadi juga asik menertawakan tingkah Chii dan Dai-chan. Shida berdiri di samping teman spesialnya itu. Mereka saling bertatapan kemudian saling melempar senyuman. Sesekali Shida mengelap peluhnya yang bercucuran di sekitar pelipisnya. Nafasnya juga masih terengah-engah.
“Kau lihat bangunan Toudai itu Shii-chan?” Yamada menunjuk ke arah bangunan Toudai yang terlihat begitu kecil dari atas sana. “Aku akan segera menjadi mahasiswa disana!” semangatnya berapi-api.
Un! Ganbatte, Ryo-chan.. [Ya, bersemangatlah]” Shida mengangguk mengiyakan keinginan temannya itu. Teman? Baiklah, pacar.     
“Bagaimana denganmu? Kau juga akan masuk Toudai kan? Iya, kan? Kau sudah janji padaku...” Yamada mengedipkan sebelah matanya. Oh, tidak! Hal itu yang selalu membuat Shida ‘meleleh’. Shida segera mengalihkan pandangannya pada hamparan luas kota Tokyo. Wajahnya tak seceria tadi.
“Shii-chan... Doushita no [ada apa]?” Yamada agak mendekatkan wajahnya ke arah Shida. Shida mengerjat.
Iie...[tidak]..” sanggahnya.
Doushita no, Shii-chan...?” Yamada mengulangi pertanyaannya.
Ano... Ryo-chan..[Ano adalah kata yang biasa diucapkan oleh orang Jepang ketika sedang ragu-ragu]...” ucapan Shida terputus..
Deg.. deg.. deg...
Debaran jantung keduanya begitu jelas, diiringi hembusan angin dan nyanyian burung di atas bukit.  
Suasana hening sesaat.
Yamada segera merasa ada yang tak beres.
Ia menggenggam tangan Shida dan menatap matanya tajam.
“Katakan padaku... Apa kau akan benar-benar pergi ke Amerika?” suaranya terdengar melemah.
Shida tak menjawab.
“Shii-chan...” Yamada merajuk. “Katakan padaku...”
Shida masih bergeming, ia menundukkan pandangannya. Ia tak sanggup menatap mata kekasihnya itu. Ia bahkan lebih tak sanggup lagi jika harus berterus terang bahwa ia memang akan benar-benar pergi.
“Shii-chan...” Yamada mengangkat dagu Shida –- lembut.
“Apa kau akan pergi?” ulangnya.
Gomen...[maaf] Ryo-chan..” suara Shida terdengar lirih.
Gomen? Sudah! Tanpa Shida harus menjawab pun, Yamada sepertinya sudah tahu bahwa jawaban yang akan ia terima dari Shida adalah ‘Iya, aku akan pergi’.
Yamada tersenyum. “Omedetou...[selamat]”
Eh? Shida heran, kenapa Yamada malah memberinya semangat?
“Universitas mana yang akan kau tuju? Tetap kedokteran di Harvard?”
Shida mengangguk. “Aku sudah lolos seleksi beasiswanya. Lalu, Tou-chan [ayah] sudah mempersiapkan semuanya. Aku tidak mungkin bisa membatalkan kepergianku. Itu akan menyakiti hati Tou-chan [ayah] dan Kaa-chan [ibu]. Mereka akan kecewa.” jelas Shida panjang lebar.
Demo..[tapi] jika kau memintanya, aku tidak akan pergi, Ryo-chan...”
“Hah? Kau ini bercanda... Beasiswa itu sudah kau dapatkan dengan susah payah, mana mungkin aku melarangmu menjemput cita-citamu.”
Sebenarnya Yamada memang tak ingin membiarkan kekasihnya pergi – untuk waktu yang lama. Tapi mana bisa ia memperlihatkan kerapuhan hatinya di depan Shida. Ia terpaksa berpura-pura tegar.   
“Kau.. tidak keberatan aku pergi, Ryo-chan?”
Yamada mengangguk.
Un. Dunia ini sekarang sudah canggih, kan. Kita masih tetap bisa  berkirim email atau surat, atau menelepon, atau apapun. Kita masih tetap bisa berhubungan, kan?” Yamada menggenggam tangan Shida yang satunya. Mereka saling berhadapan.
“Lagipula kau kan tidak akan pergi untuk selamanya. Suatu saat kau pasti akan kembali ke sini, kan? Dan kita akan bersama lagi..” Yamada mengedipkan matanya lagi seraya mengembangkan senyum termanisnya.
Shida tersenyum dan mengganguk. Tanpa sadar tangannya merangkul leher Yamada dan ia menangis di bahu kekar pria itu.
***
“Kau harus ingat, Ryo-chan.. Kau adalah bulan, dan aku adalah bintang... Ketika kita sedang berjauhan, kau lihatlah ke langit, bulan dan bintang [kau dan aku], selalu bersama. Berdekatan. Dan saling memberi cahaya.
Yamada masih menggenggam kalung dengan gantungan berbentuk bintang itu. Malam itu cerah, bintang-bintang terlihat sangat jelas. Namun, ada satu bintang yang sangat ingin ia lihat.
Shida Mirai.
Bintang hatinya yang satu itu mungkin sudah mengingkari atau mungkin melupakan janjinya. Sudah lebih dari enam tahun sejak keberangkatannya, gadis itu sama sekali tak pernah memberi kabar. Yamada lupa, email ponselnya yang berlaku di Jepang tidak bisa berlaku di luar negeri. Yamada tidak bisa menemukan alamat atau apapaun yang bisa membantunya menghubungi gadis itu.
Ia hanya bisa berharap pada bintang di atas langit itu. Berharap bintang itu melihat Yamada yang setiap malam menatap langit dan menyampaikan pada Shida kalau ada yang sedang setia – sangat setia – menunggunya.
Sejenak Yamada menyesali keputusannya untuk membiarkan Shida pergi. Kenapa ia tak melarangnya saja waktu itu?
***
Penantian Yamada sepertinya harus berakhir sampai disini...
Pagi itu ketika ia melewati kios buku di jalan menuju kampusnya...
Yamada membaca headline berita di majalah yang membuatnya terbelalak..
“Putra direktur Rumah Sakit Valencius meminang seorang gadis Jepang”   
Bukan! Bukan headline-nya yang mengagetkan.
Tapi fotonya.
Jelas sekali Yamada lihat. Itu foto Shida!
Ya, Shida Mirai.
Kekasihnya yang ia tunggu.
Bintang di langit hati Yamada, redup seketika.
Pernah kau berkata, bila ku merindu,, bicara saja bintang kan mendengar maka kau kan merasakannya...Aku tahu diri, semua takkan mungkin...Biarkan saja semua jadi kenangan yang mungkin takkan terlupa sampai ku menua. Biar saja...”
“I can never get, it’s your life...”
=The End=


2 komentar:

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...