Categories : Multichapter
Genre : Fantasy – Romance – Friendship
Rating : Teenager – PG-15
Theme song : Angel comes to me – Yabu Kota [Hey! Say! JUMP], Angel’s Wings - Westlife
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah Faqoth
Cast[s] :
- Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
- Hey! Say! JUMP members
- Shida Mirai
- Hongo Kanata
- Amakusa Ryuu (Original character)
- Daichi (Original Character)
- Nyonya Lin (Original character)
- Tuan Hiroshi (Original character)
- Rizuki (Original character)
Disclaimer! : All casts are not mine. The story
is mine.
WARNING!: This is just a story. A fantasy.
An imagination. Dont bash me coz my story.
Synopsis/Quote: When a fairy flies down to the
earth and falls in love...
<-->
Chapter Seven: And the trouble
appears
Ryo mendongak
ke atas langit. Masih biru. Beberapa gumpalan awan terlihat cerah pagi itu. Kicauan
burung terdengar merdu di telinganya. Ryo menghirup udara segar itu dalam-dalam
melalui hidungnya hingga mengisi seluruh bagian paru-parunya. Kemudian
menghembuskannya lagi perlahan melalui mulutnya.
“Sudah siap berangkat?”
Ryuu sudah berdiri di sampingnya. Semenjak bekerja di restoran, Ryo tidak
pernah susah dibangunkan lagi. Apa dia memiliki rasa tanggung jawab sekarang?
Mungkin saja.
“Un,”
Ryo mengangguk. Baru saja ia akan melangkah, Ryo terhenti ketika melihat Mirai
baru keluar dari rumahnya.
“Mirai-san!”
Ryo melambaikan tangannya. Sungguh perbuatan yang sia-sia, karena Mirai tidak
mungkin membalasnya. Ia hanya melihat sebentar kemudian menundukkan kepala.
Baiklah, Mirai memaksakan sedikit senyuman di bibirnya.
“Ayo berangkat
bersama,” ujar Ryo girang. Mirai hanya mengangguk samar. Ryuu tertegun melihat
tingkah Ryo. Sungguh ceria. Dia benar-benar berubah.
“Ah, baiklah.
Kalau begitu aku duluan, ya. Ryo. Mirai. Sampai jumpa,”
“Un,
hati-hati...” balas Ryo. Ryuu kemudian memacu sepedanya menuju sekolah.
Ryo melirik ke
arah Mirai. Gadis itu masih memasang ekspresi datar. Mungkin bisa dibilang
tanpa ekspresi.
“Nenek Sayuri
apa kabar?” Ryo membuka perbincangan.
“Tadi malam dia
agak demam,” jawab Mirai lemas. Ah, mungkin karena itu Mirai terlihat tidak
bersemangat pagi ini.
“Benarkah? Lalu
bagaimana keadaannya sekarang? Sudah kau beri obat?”
“Sudah agak
baik. Sudah aku beri obat, kok.”
“Kau ingin
membolos kerja agar bisa menemani nenek Sayuri?”
“Eh?” Mirai
menoleh ke arah Ryo. Kenapa Ryo tahu?
“Minta izin
saja pada tuan Hiroshi,”
“Tidak,” Mirai
menggeleng. “Nenek tidak suka aku membolos kerja, dengan alasan apapun. Paling
nanti aku izin pulang lebih dulu,”
“Ah, begitu. Ya
sudah, nenek pasti baik-baik saja di rumah,”
<-->
Siang
ini nenek Sayuri masih tertidur pulas di kasurnya. Efek obat yang diberikan Mirai
tadi pagi. Dari belakang rumah terdengar suara cekikikan anak kecil yang sedang
bermain. Mereka sedang bermain kembang api. Musim panas memang identik dengan
kembang api, tapi anak-anak itu sangat berlebihan. Kenapa bermain kembang api
di siang hari? Ah, tidak, ternyata mereka juga sedang bermain api unggun.
“Lihat!
Aku bisa mematikan api dengan tanganku,” seru seorang anak. Ia menyalakan korek
api dan mengatupkan dua jarinya di api itu sampai apinya padam.
“Waaahh...
Hebat...” seru anak yang lain.
“Aku
juga ingin coba...”
“Aku
jugaa...”
“Kalian
tidak akan bisa,”
“Ah,
kami kan belum coba,”
“Berikan
korek apinya padaku!”
Seorang
anak menyalakan korek api dan mencoba menyentuh apinya. “Auwwhh.. Auwhh...
Panasss...” ia mengibas-ngibaskan tangannya.
“Hahaa...
sudah kubilang tidak akan bisa...”
“Awas!
Biar aku yang coba,” seorang anak yang dari tadi berjongkok di depan api unggun
berdiri dan merebut korek api. Api menyala. Tapi belum sempat ia menyentuh
apinya, angin bertiup agak kencang. Api kecil di batang korek langsung padam,
sementara api yang besar di api unggun tertiup dan sedikit mengenai kaki anak
itu.
“Ahh...
Ahh... Panasss...” jeritnya sambil berjinjit-jinjit. Tanpa sengaja ia menendang
jerigen minyak sehingga api dengan cepat menjalar sepanjang tumpahan minyak
itu. “Haaa... Kebakaran..!!” Anak-anak itu berlarian. Ketakutan. Tanpa berusaha
memadamkan api yang perlahan merambat ke dinding rumah nenek Sayuri.
<-->
Deg!
Tiba-tiba
Mirai merasakan sesuatu yang tidak enak. Mungkin kepalanya pusing. Ah, tidak.
Tapi matanya sakit. Bukan juga. Perutnya yang sedikit mual. Entahlah, Mirai tak
bisa menentukan bagian tubuhnya yang mana yang sakit. Yang jelas, dia tidak
enak hati.
“Ada
apa Mirai-san?” Ryo yang baru saja kembali dari mengantar pesanan merasa heran
melihat Mirai yang melamun – tak segera mengantar pesanan yang sudah ada di
hadapannya.
“Ah,
tidak. Aku hanya...” Mirai tak menyelesaikan ucapannya.
“Lebih
baik kau pulang saja, Mirai-san,”
Mirai
menggeleng. Hendak mengangkat nampan berisi makanan. Ryo mendekatinya dan
mencegahnya.
“Biar
aku saja,” ujar Ryo lembut. Mirai tertegun melihatnya. “Pulanglah, kau pasti
khawatir pada nenek Sayuri. Siapa tahu dia membutuhkan bantuanmu. Dia sedang
sakit jadi tidak mungkin bisa bebas melakukan apapun sendirian,” sambung Ryo
panjang lebar.
“Baiklah.
Aku akan minta izin pada tuan Hiroshi,” Mirai melepaskan celemeknya dan hendak
pergi ke ruang ganti.
“Tidak
usah, nanti biar aku yang bilang ke tuan Hiroshi,” Ryo tersenyum. Tapi senyuman
itu sungguh tak berhasil menyejukkan hati Mirai. Dia benar-benar tidak bisa
takluk pada laki-laki.
<-->
Mirai
melangkah gontai. Namun cepat. Perasaannya benar-benar tak karuan. Ia ingin
segera sampai di rumah, namun entah kenapa kakinya seakan begitu lemas sehingga
ia tak mampu berjalan lebih cepat lagi.
Tiba
di persimpangan menuju komplek perumahannya, Mirai tercengang melihat orang-orang
berlarian. Ia melihat ke langit. Kepulan asap hitam membumbung tinggi. Dengan
panik Mirai segera berlari menuju rumahnya. Rumah siapa yang terbakar?
Seketika
Mirai bagai disambar petir di hari yang terik ini. Ia tak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Api itu, sedang menjilat-jilat dan melahap rumahnya sampai
habis. Orang-orang disana berusaha memadamkan api, namun udara yang panas dan
hembusan angin yang kencang malah membuat api itu semakin besar.
“Neneeekkkk....”
Mirai berlari ke arah rumahnya. Tiba-tiba seseorang menahan dan menarik
tangannya. Mirai menoleh. Ryo!
“Lepaskaan..”
Mirai berusaha berontak dan bersikeras ingin masuk ke dalam kepungan api –
menyelamatkan nenek Sayuri.
“Jangan!
Itu bisa membahayakan dirimu...” cegah Ryo.
“Tidaakkk...
Aku harus.... Neneekkk....” air mata Mirai mengalir. Dia berusaha berlari ke
dalam lagi. Tapi Ryo lagi-lagi mencegahnya.
“Mirai-san,
apinya terlalu besar. Kau jangan gegabah!” kali ini Ryo agak berteriak.
Mirai
jatuh berlutut. Tangisnya semakin deras. Apa ia tidak boleh melakukan apapun
disaat nyawa neneknya sendiri sedang dalam bahaya?
Ryo
memeluk Mirai dan berusaha melindunginya. Ryo tertegun melihat api yang kian
ganas melahap rumah berdinding kayu itu. Wajahnya terasa panas.
Pemadam
kebakaran datang, dan akhirnya api dapat dijinakkan. Apinya sudah menjalar ke
rumah di sebelah rumah Mirai. Untungnya rumah itu tidak terbakar terlalu parah.
Kondisi
Mirai sudah sangat lemah karena ia tak henti menangis. Ia tak sanggup berdiri.
Apalagi ketika petugas pemadam kebakaran membopong satu mayat yang sudah hangus
seluruh tubuhnya. Mirai menjerit sekuat tenaga. Tangisnya semakin pecah.
<-->
Ryo
membaringkan tubuh Mirai di matras dengan hati-hati. Mirai pingsan. Ia tatap
wajah itu lekat-lekat. Terlihat sangat tertekan. Ryo bangkit ke kamar mandi.
Mengambil air dan handuk kecil milik Ryuu. Dengan hati-hati Ryo membersihkan
kotoran di wajah, tangan dan kaki Mirai. Badan Mirai panas. Ryo kemudian
mengompres dan menyelimutinya.
“Aku
pulang,” Ryuu terhenti di depan pintu melihat Mirai berbaring. Pelan-pelan ia
menuju ke kamar mandi, “Ryo,” panggilnya. Ryo menoleh. “Ada apa? Di luar ramai
sekali. Dan, kenapa Mirai?” Ryo menarik tangan Ryuu masuk ke kamar mandi
kemudian menutup pintunya. “Hey! Kau apa-apaan?!”
“Sssttt...”
Ryo menempelkan telunjuk di bibirnya. “Mirai-san baru saja terkena musibah.
Rumahnya terbakar. Dan, neneknya meninggal dalam kebakaran itu... Jadi,
bolehkah dia tinggal bersama kita sementara waktu?”
“Apaaa???
Astaga... Nenek Sayuri??? Tidak mungkin...” Ryuu terlonjak tak percaya dengan
apa yang baru saja didengarnya.
“Bagaimana?
Kasihan Mirai-san. Boleh, kan dia tinggal disini?”
Ryuu
mengangguk. “Aku turut berduka cita. Tapi, apa kita tidak usah minta izin dulu
pada Nyonya Lin?”
“Nyonya
Lin kan ke luar kota selama musim panas ini,”
“Oh,
iya. Aku lupa. Ya sudah, tidak apa-apa,”
Ryo
tersenyum. “Terima kasih,”
Ryuu
membuka pintu kamar mandi, dilihatnya sosok yang terbaring tak berdaya itu
sekali lagi. Hatinya merasa iba.
“Dia
pingsan, belum sadarkan diri. Dan badannya agak demam,” terang Ryo tanpa
ditanya. Ryuu mengangguk.
“Kau
sudah buatkan makanan untuknya?”
Ryo
menggeleng.
“Bagaimana
kau ini?”
“Kau
kan tahu aku tidak bisa memasak,”
“Hhh...
Ya sudah, aku ganti baju dulu. Nanti aku yang buatkan makanan,”
“Memang
seharusnya begitu,” Ryo menjulurkan lidahnya – meledek Ryuu. Ryuu mengayunkan
pukulan tapi Ryo cepat menangkisnya. Mereka tertawa kecil.
Ryo
duduk di samping Mirai yang sedang tertidur pulas. Sementara Ryuu masih sibuk
menyiapkan makanan di dapur. Ryo memperhatikan Mirai dengan seksama, bahkan
seperti menghitung setiap desahan nafasnya. Perlahan Ryo melihat Mirai
mengerjap dan menggerakkan kepalanya. Mirai membuka mata. Mirai beringsut dari
posisinya dan ia berhasil duduk. Ryo tersenyum – lega.
“Bagaimana
keadaanm....”
PLAK!
Sebuah
tamparan yang tiba-tiba mendarat di pipi Ryo berhasil memutuskan kalimatnya.
Ryo tercengang. Melongo. Tak mengerti apa yang terjadi.
“Orang
jahat!” teriak Mirai. “Kau orang jahaaatttt!!”
Ryuu
yang kaget mendengar teriakan Mirai segera keluar dari dapur. Ia melihat Mirai
tersedu, menutup wajah dengan kedua tangannya. Sementara Ryo memegangi pipinya
yang terasa perih.
“Apa
yang terjadi?” tanya Ryuu.
Tak
ada jawaban. Mereka hanya diam.
<-->
To be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d