Title
: Angel with(out)
Wings~
Categories : Multichapter
Genre : Fantasy – Romance – Friendship
Rating : Teenager – PG-15
Theme song : Angel comes to me – Yabu Kota [Hey! Say! JUMP], Angel’s Wings - Westlife
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s] :
Categories : Multichapter
Genre : Fantasy – Romance – Friendship
Rating : Teenager – PG-15
Theme song : Angel comes to me – Yabu Kota [Hey! Say! JUMP], Angel’s Wings - Westlife
Author : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s] :
- Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
- Hey! Say! JUMP members
- Shida Mirai
- Amakusa Ryuu (Original character)
- Daichi (Original Character)
- Nyonya Lin (Original character)
Disclaimer! : All casts are not mine. The story
is mine.
Synopsis/Quote: When a fairy flies down to the
earth and falls in love...
<-->
Chapter Four: What’s wrong with her?
Fajar telah
menyingsing di ufuk timur. Mentari perlahan merangkak dan memperlihatkan
cahayanya yang menghangatkan bumi. Tak seperti orang-orang yang mulai bangun
dan bersiap-siap untuk kesibukannya di hari itu, seorang anak laki-laki
berambut coklat dengan tinggi 165 centimeter masih bertahan dengan posisinya di
balik selimut tebal – tertidur pulas.
“Ryo...
Banguunnn...” Ryuu menarik selimut yang dari tadi setia membungkus tubuh Ryo.
“Ah... Kenapa
kau ini? Jangan ganggu aku,” Ryo kembali menarik selimutnya dan melingkarkan
tubuhnya dengan nyaman di atas matras.
“Iiihhh...
Dasar pemalas! Cepat bangun dan bereskan matrasnya!” paksa Ryuu.
“Memangnya ini
jam berapa? Hari masih gelap, tahu. Kau ini mengganggu saja,” gerutu Ryo.
“Masih gelap
dari mana? Makanya buka matamu! Ayo cepat bangun!” Ryuu menarik selimut Ryo
lagi dan melemparnya agak jauh hingga Ryo tak dapat menggapainya. Akhirnya
dengan mata yang masih setengah terpejam, Ryo mengangkat tubuhnya dengan
terpaksa.
“Iya, aku sudah
bangun. Sekarang mau apa?”
Ryuu tersenyum,
“Bagus, sekarang cepat mandi. Sebentar lagi aku berangkat sekolah. Tapi karena
aku tidak sempat membuat sarapan, aku akan makan siang di sekolah saja. Dan kau
nanti beli makanan sendiri, ya,” cerocos Ryuu sambil menarik Ryo menjauh dari
matras, kemudian menggulung matras dan meletakkannya di sudut ruangan. Ryo yang
masih setengah sadar setengah tidak hanya mengangguk-angguk sambil menguap.
Kali ini Ryuu mengambil sapu dan segera membersihkan debu-debu yang menempel di
lantai.
“Pukul berapa
kau pulang?”
“Sekitar pukul
dua siang. Nanti sepulang aku sekolah, kita berangkat mencari pekerjaan ya,”
“Hari ini?”
“Ya. Memangnya
kapan lagi? Lebih cepat lebih baik, kan?” Ryuu menggantungkan sapu di paku yang
tertancap di balik pintu dapur, kemudian menyambar tas sekolahnya dan mengenakan
sepatunya. “Aku pergi dulu. Oh iya, aku simpan uangku di atas meja, pakailah
untuk membeli sarapanmu pagi ini,” Ryuu mengedipkan sebelah matanya kemudian
meluncur bersama sepeda tuanya. Ryo hanya mengangguk.
<-->
Sampai saat ini
Ryo belum merasa lapar – tidak seperti biasanya. Tapi ia mulai merasa bosan
juga terus menerus berdiam diri di dalam rumah. Akhirnya ia memutuskan untuk menjelajahi
dunia luar. Siapa tahu ia bisa menemukan sesuatu, atau bertemu dengan gadis
bernama Mirai itu lagi. Dengan langkah
pelan namun pasti, Ryo menyusuri jalan yang membentang di antara barisan
rumah-rumah kontrakan sederhana itu. Pintu-pintunya tertutup rapat.
“Aneh.
Sebenarnya rumah-rumah ini berpenghuni atau tidak, sih?”
Ryo sampai di
depan rumah yang terletak di paling ujung. Ia berhenti dan memperhatikan setiap
inchi tampilan rumah itu. Ia ingat, ini rumah Nenek Sayuri.
Ketika Ryo
masih mematung memperhatikan rumah itu, seseorang membuka pintu. Ryo dan orang
yang membuka pintu itu tampak kaget.
“K... Kau?” si
pemilik rumah yang tak lain adalah Mirai, cucu Nenek Sayuri, membelalakkan
matanya saat melihat Ryo sudah berdiri di depan rumahnya.
“K... Kau?” Ryo
pun hanya mengeluarkan kata yang sama.
“Sedang apa kau
di depan rumahku?”
“Tidak ada. Aku
hanya sedang berjalan-jalan dan kebetulan lewat sini. Kau mau kemana?” tanya
Ryo santai sambil memasukkan tangan ke saku celananya.
“Apa aku harus
memberitahumu?” jawab Mirai tak ramah. Kemudian berjalan melewati Ryo – tanpa
melihatnya.
“Eh, kau ini
cucunya nenek Sayuri?”
“Ya. Memangnya
kenapa? Darimana kau tahu tentang nenekku?”
“Kemarin aku
bertemu dengannya,”
“Oh,” tanggap
Mirai singkat.
“Hei... Kau ini
kenapa? Kenapa selalu lari dariku?” Ryo mencoba mengejar Mirai.
“Dan kau?
Kenapa kau selalu mengikutiku?” Mirai menghentikan langkahnya dan berbalik
menatap Ryo – tajam.
“Eh?” Ryo tertegun
ditatap seperti itu. Mulutnya seakan terkunci ketika ia ingin mengatakan hal
yang dari tadi ingin ia katakan.
“Tolong,
tetangga baru. Kalau ingin berteman denganku, sewajarnya saja. Sikapmu kemarin
itu membuatku takut,” Mirai menghela nafas kemudian menghembuskannya perlahan.
“Baiklah,
maafkan sikapku kemarin. Tapi, aku mohon, izinkan aku membantu pekerjaanmu,”
“Untuk apa?”
“Untuk
menjalankan hukumanku,”
“Apa?”
“Eh? Tidak.
Maksudku... Aku ingin membantumu. Itu saja,”
“Tapi aku tidak
butuh bantuanmu,”
“Benarkah? Apa
kau yakin?”
“Ya,”
“Hmm... Aku
yakin kau pasti membutuhkan bantuanku suatu saat nanti. Dan jika saatnya tiba,
jangan halangi aku untuk menolongmu,”
Mirai hanya
menatap dingin pada laki-laki di hadapannya, “Terserah,” ucapnya kemudian. Lalu
ia berbalik dan meneruskan langkahnya. Kali ini Ryo tak mengejarnya dan hanya
menatap gamang pada sosok itu.
“Selamat pagi,”
sebuah suara menelusup ke gendang telinga Ryo. Ia kenal suara itu. Nenek
Sayuri. Ryo menoleh.
“Selamat pagi,”
jawabnya sambil membungkuk hormat.
“Mampirlah ke
rumah, e...” nenek Sayuri menggantungkan kalimatnya.
“Yamada
Ryosuke. Panggil saja aku Ryo,” Ryo tersenyum. Ia tahu mungkin nenek Sayuri
agak lupa dengan namanya.
“Ah, iya.
Ryo-san. Maaf. Nenek sudah tua, jadi sering lupa. Hehe,” nenek Sayuri terkekeh pelan.
“Hehe, iya
tidak apa-apa, Nek,” Ryo menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Mari,
mampirlah ke rumah,”
“Ah, apa boleh?”
“Tentu saja,”
nenek Sayuri mengulas senyuman di wajahnya.
“Silahkan
diminum, Ryo-san,” nenek Sayuri meletakkan segelas teh dan beberapa potong roti
di atas kotatsu.
“Ah, terima
kasih,” Ryo tersenyum.
“Ryo-san, berasal
dari mana?” tanya nenek Sayuri sesaat setelah ia mengambil posisi di hadapan
Ryo. Seketika itu juga Ryo kembali dibuat bingung harus menjawab apa. Ryo terdiam
sejenak.
“O..sa..ka...” bisiknya
kemudian.
“Apa?” nenek
Sayuri agak mengernyitkan dahinya, menambah kerutan di wajahnya.
“Osaka,” jawab
Ryo agak lantang – namun tetap dengan nada ragu. Ia asal saja menyebut kata itu
– siapa tahu itu memang nama tempat. Kemarin ia membaca tulisan ‘Osaka’ di
poster konser musik yang terpampang di depan sebuah toko ketika ia sedang
menuju ke restoran bersama Ryuu.
“Ooh... Iya,
iya,” nenek Sayuri mengangguk-angguk. “Sepertinya kau tidak tinggal sendiri di
rumah itu?”
“Iya, aku
tinggal bersama temanku, Amakusa Ryuu,”
“Oh, ya, ya,”
“Ngomong-ngomong,
kenapa rumah-rumah itu terlihat sepi?”
“Ah, penghuni
di sini rata-rata bekerja di pabrik. Pergi pagi sekali, dan pulang saat hari
sudah gelap. Mereka memilih untuk beristirahat di dalam rumah sepulang bekerja,
dari pada berjalan-jalan keluar,”
“Ah, begitu ya.
Umm, ano, nenek Sayuri,”
“Ya?”
“Aku ingin
bertanya sesuatu,”
“Tentu. Apa
yang ingin kau tanyakan, Ryo-san?”
“Ano,
Mirai-san... Dia cucu Anda, kan?”
“Iya. Memangnya
kenapa?”
“Kenapa dia
seperti...”
“Tidak ramah
padamu?” potong nenek Sayuri. Ryo mengangguk. Nenek Sayuri tersenyum tipis,
kemudian ia melanjutkan kalimatnya. “Mirai memang gadis yang agak tertutup. Dia
agak kaku, apalagi terhadap laki-laki,” terang nenek Sayuri.
“Oh, tapi...
kenapa dia...?”
“Ibunya sudah
meninggal tiga tahun yang lalu. Ayahnya sampai sekarang tidak diketahui
keberadaannya. Dia kabur dengan wanita lain. Itulah yang membuat Mirai agak
takut dan kaku dengan laki-laki. Sejak lulus SMP, Mirai tidak meneruskan sekolahnya
karena Nenek tidak punya biaya untuk menyekolahkan Mirai. Nenek sudah terlalu
tua untuk bekerja. Maka dari itu Mirai sekarang bekerja di restoran. Ia yang
membayar uang sewa rumah ini, sambil menabung untuk meneruskan sekolahnya tahun
depan,”
“Ooh,” Ryo mengangguk-angguk.
“Tapi, Nenek
juga khawatir dengannya jika dia terus bersikap seperti itu. Nenek harap akan
ada seseorang yang bisa mengubah sikapnya. Karena nasehat Nenek selama ini
belum berhasil mengubah sikapnya,”
“Tapi, waktu
aku bertemu di restoran, dia ramah sekali pada pelanggan,”
“Haha, tentu
saja. Ia tidak mungkin bersikap seperti itu jika sedang bekerja. Bisa-bisa dia
dipecat. Hehe...” nenek Sayuri kembali tertawa pelan hingga kedua matanya
membentuk garis.
“Ah, iya. Benar,
benar. Haha..” Ryo ikut tertawa.
“Minumlah
tehnya,” Nenek Sayuri menawarkan.
“Oh, iya terima
kasih,” Ryo mengambil gelas dan mendekatkan ke mulutnya. Setelah cairan itu
menyentuh lidahnya, Ryo membelalakkan mata dan berhenti meminum teh itu. “Ah?
Ini...” bisik Ryo.
“Kenapa, Ryo-san?”
“Aeh... Tidak...
He...” Ryo menjulurkan lidahnya.
“Ah... Jangan-jangan
aku salah membuat teh. Itu senburi... Aaah... Maaf Ryo-san...” Nenek
Sayuri segera bangkit ke dapur dan mengambil air putih.
Ryo meletakkan
kembali gelasnya di meja dan mengelap bibirnya. Tak lama nenek Sayuri datang dan
menyodorkan segelas air putih. Ryo segera meminumnya.
“Maaf, nenek
sering tertukar membuat teh. Nenek sering membuat senburi, tidak sadar
tadi malah membuat senburi untukmu...”
“Ah, tidak
apa-apa,” jawab Ryo. Ia berusaha bertingkah seperti tahu apa itu senburi.
“Gila, minuman apa ini, pahit banget...” katanya dalam hati.
“Apa masih
terasa pahit?”
“Ah, tidak. Ini
cukup untuk meredakannya,” Ryo tersenyum.
“Umm, Ryo-san,”
“Ya?” Ryo meletakkan
gelas di atas meja dan memandang nenek Sayuri.
“Ada yang ingin nenek sampaikan padamu,”
“Oh ya? Apa
itu?” Ryo penasaran.
“Nenek tidak
akan selamanya bersama Mirai. Jika suatu saat nenek tidak ada, nenek ingin ada
orang yang menjaga Mirai. Mungkin Ryo-san bisa menjadi teman baiknya,”
“Eh? Kenapa nenek
bicara seperti itu?”
“Tidak apa-apa.
Hanya saja, nenek khawatir dengan Mirai, jika esok atau lusa nenek tiba-tiba
meninggalkannya. Ia tidak akan punya siapa-siapa lagi,”
Ryo tertegun
mendengar ucapan nenek Sayuri. “Apakah karena ini Yang Mulia Ratu menyuruhku
menemui Mirai?” batinnya. “Jangan khawatir, Nek. Mirai tidak akan apa-apa.
Ia pasti baik-baik saja,” ujar Ryo mantap.
“Terima kasih,”
nenek Sayuri membungkukkan badannya sedikit.
Ini kali
pertama Ryo berbincang serius dengan seseorang. Kali pertama ia bisa bersikap
sopan pada seseorang. Dan kali pertama ia peduli pada seseorang. Ryo sendiri
merasa heran kenapa dirinya bisa berubah seperti itu di depan nenek Sayuri. Dan,
kenapa juga nenek Sayuri merasa bebas mengutarakan masalahnya kepada Ryo,
padahal ia baru kemarin mengenal Ryo.
<-->
“Bagaimana
kabar anak itu?” Daichi membuka percakapan dengan Ryuu sewaktu makan siang di
kantin.
“Ya, begitulah.
Sepertinya sifat pemalas dan apatisnya sudah kronis. Tidak bisa dihindari,”
Ryuu menjawab pertanyaan Daichi sambil terus menyantap makan siangnya.
“Haha... Apa
separah itu?” Daichi terus berbicara dengan mulut penuh makanan.
“Umm... Sekarang
aku masih bisa memakluminya, tapi jika ia seperti itu terus, aku akan
memberinya peringatan.”
“Ya. Memang
harus seperti itu,” Daichi mengangguk-angguk.
“Daichi,
rencananya aku dan anak itu akan mencari pekerjaan,”
“Oh ya?”
“Umm...”
“Apa uang yang
diberikan ayahmu tidak cukup?”
“Tidak, bukan
begitu. Kau tahu, anak itu tidak membawa uang sepeserpun. Dia terus memakai
uangku, dan aku tak bisa membiarkan itu. Dia harus membantuku membayar uang
sewa rumah, dan juga membeli makanan. Maka dari itu dia harus bekerja,”
“Lalu kenapa
kau ikut bekerja juga?”
“Aku ingin
menemaninya, kasihan kalau dia bekerja sendiri. Ini tempat asing baginya,”
“Ah, begitu.
Ya, terserah kau saja,” Daichi menatap sahabatnya yang terus menyantap makan
siang dengan lahap. Satu yang Daichi tahu tentang Ryuu adalah, walaupun dia
begitu keras kepala dan senang bertengkar, tapi di dalam jiwanya masih ada
setitik kepedulian, bahkan untuk orang yang menyebalkan macam Ryo sekalipun.
<-->
To be
Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d