To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 19 Agustus 2012

[Fanfiction] Angel with(out) Wings~ [Chapter IV] {Indonesian Version}


Title                             : Angel with(out) Wings~
Categories                 : Multichapter
Genre                         : Fantasy – Romance – Friendship
Rating                        : Teenager – PG-15
Theme song              : Angel comes to me – Yabu Kota [Hey! Say! JUMP], Angel’s Wings - Westlife
Author                         : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah
Cast[s]                        :
  1. Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
  2. Hey! Say! JUMP members
  3. Shida Mirai
  4. Amakusa Ryuu (Original character)
  5. Daichi (Original Character)
  6. Nyonya Lin (Original character)
Disclaimer! : All casts are not mine. The story is mine.
Synopsis/Quote: When a fairy flies down to the earth and falls in love...
<-->
Chapter Four: What’s wrong with her?

Fajar telah menyingsing di ufuk timur. Mentari perlahan merangkak dan memperlihatkan cahayanya yang menghangatkan bumi. Tak seperti orang-orang yang mulai bangun dan bersiap-siap untuk kesibukannya di hari itu, seorang anak laki-laki berambut coklat dengan tinggi 165 centimeter masih bertahan dengan posisinya di balik selimut tebal – tertidur pulas.

“Ryo... Banguunnn...” Ryuu menarik selimut yang dari tadi setia membungkus tubuh Ryo.

“Ah... Kenapa kau ini? Jangan ganggu aku,” Ryo kembali menarik selimutnya dan melingkarkan tubuhnya dengan nyaman di atas matras.

“Iiihhh... Dasar pemalas! Cepat bangun dan bereskan matrasnya!” paksa Ryuu.

“Memangnya ini jam berapa? Hari masih gelap, tahu. Kau ini mengganggu saja,” gerutu Ryo.

“Masih gelap dari mana? Makanya buka matamu! Ayo cepat bangun!” Ryuu menarik selimut Ryo lagi dan melemparnya agak jauh hingga Ryo tak dapat menggapainya. Akhirnya dengan mata yang masih setengah terpejam, Ryo mengangkat tubuhnya dengan terpaksa.

“Iya, aku sudah bangun. Sekarang mau apa?”

Ryuu tersenyum, “Bagus, sekarang cepat mandi. Sebentar lagi aku berangkat sekolah. Tapi karena aku tidak sempat membuat sarapan, aku akan makan siang di sekolah saja. Dan kau nanti beli makanan sendiri, ya,” cerocos Ryuu sambil menarik Ryo menjauh dari matras, kemudian menggulung matras dan meletakkannya di sudut ruangan. Ryo yang masih setengah sadar setengah tidak hanya mengangguk-angguk sambil menguap. Kali ini Ryuu mengambil sapu dan segera membersihkan debu-debu yang menempel di lantai.

“Pukul berapa kau pulang?”

“Sekitar pukul dua siang. Nanti sepulang aku sekolah, kita berangkat mencari pekerjaan ya,”

“Hari ini?”

“Ya. Memangnya kapan lagi? Lebih cepat lebih baik, kan?” Ryuu menggantungkan sapu di paku yang tertancap di balik pintu dapur, kemudian menyambar tas sekolahnya dan mengenakan sepatunya. “Aku pergi dulu. Oh iya, aku simpan uangku di atas meja, pakailah untuk membeli sarapanmu pagi ini,” Ryuu mengedipkan sebelah matanya kemudian meluncur bersama sepeda tuanya. Ryo hanya mengangguk.

<-->

Sampai saat ini Ryo belum merasa lapar – tidak seperti biasanya. Tapi ia mulai merasa bosan juga terus menerus berdiam diri di dalam rumah. Akhirnya ia memutuskan untuk menjelajahi dunia luar. Siapa tahu ia bisa menemukan sesuatu, atau bertemu dengan gadis bernama Mirai itu lagi.  Dengan langkah pelan namun pasti, Ryo menyusuri jalan yang membentang di antara barisan rumah-rumah kontrakan sederhana itu. Pintu-pintunya tertutup rapat.

“Aneh. Sebenarnya rumah-rumah ini berpenghuni atau tidak, sih?”

Ryo sampai di depan rumah yang terletak di paling ujung. Ia berhenti dan memperhatikan setiap inchi tampilan rumah itu. Ia ingat, ini rumah Nenek Sayuri.

Ketika Ryo masih mematung memperhatikan rumah itu, seseorang membuka pintu. Ryo dan orang yang membuka pintu itu tampak kaget.

“K... Kau?” si pemilik rumah yang tak lain adalah Mirai, cucu Nenek Sayuri, membelalakkan matanya saat melihat Ryo sudah berdiri di depan rumahnya.

“K... Kau?” Ryo pun hanya mengeluarkan kata yang sama.

“Sedang apa kau di depan rumahku?”

“Tidak ada. Aku hanya sedang berjalan-jalan dan kebetulan lewat sini. Kau mau kemana?” tanya Ryo santai sambil memasukkan tangan ke saku celananya.

“Apa aku harus memberitahumu?” jawab Mirai tak ramah. Kemudian berjalan melewati Ryo – tanpa melihatnya.

“Eh, kau ini cucunya nenek Sayuri?”

“Ya. Memangnya kenapa? Darimana kau tahu tentang nenekku?”

“Kemarin aku bertemu dengannya,”

“Oh,” tanggap Mirai singkat.

“Hei... Kau ini kenapa? Kenapa selalu lari dariku?” Ryo mencoba mengejar Mirai.

“Dan kau? Kenapa kau selalu mengikutiku?” Mirai menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ryo – tajam.

“Eh?” Ryo tertegun ditatap seperti itu. Mulutnya seakan terkunci ketika ia ingin mengatakan hal yang dari tadi ingin ia katakan.

“Tolong, tetangga baru. Kalau ingin berteman denganku, sewajarnya saja. Sikapmu kemarin itu membuatku takut,” Mirai menghela nafas kemudian menghembuskannya perlahan.

“Baiklah, maafkan sikapku kemarin. Tapi, aku mohon, izinkan aku membantu pekerjaanmu,”

“Untuk apa?”

“Untuk menjalankan hukumanku,”

“Apa?”

“Eh? Tidak. Maksudku... Aku ingin membantumu. Itu saja,”

“Tapi aku tidak butuh bantuanmu,”

“Benarkah? Apa kau yakin?”

“Ya,”

“Hmm... Aku yakin kau pasti membutuhkan bantuanku suatu saat nanti. Dan jika saatnya tiba, jangan halangi aku untuk menolongmu,”

Mirai hanya menatap dingin pada laki-laki di hadapannya, “Terserah,” ucapnya kemudian. Lalu ia berbalik dan meneruskan langkahnya. Kali ini Ryo tak mengejarnya dan hanya menatap gamang pada sosok itu.

“Selamat pagi,” sebuah suara menelusup ke gendang telinga Ryo. Ia kenal suara itu. Nenek Sayuri. Ryo menoleh.

“Selamat pagi,” jawabnya sambil membungkuk hormat.

“Mampirlah ke rumah, e...” nenek Sayuri menggantungkan kalimatnya.

“Yamada Ryosuke. Panggil saja aku Ryo,” Ryo tersenyum. Ia tahu mungkin nenek Sayuri agak lupa dengan namanya.

“Ah, iya. Ryo-san. Maaf. Nenek sudah tua, jadi sering lupa. Hehe,” nenek Sayuri terkekeh pelan.

“Hehe, iya tidak apa-apa, Nek,” Ryo menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Mari, mampirlah ke rumah,”

“Ah, apa boleh?”

“Tentu saja,” nenek Sayuri mengulas senyuman di wajahnya.

“Silahkan diminum, Ryo-san,” nenek Sayuri meletakkan segelas teh dan beberapa potong roti di atas kotatsu.

“Ah, terima kasih,” Ryo tersenyum.

“Ryo-san, berasal dari mana?” tanya nenek Sayuri sesaat setelah ia mengambil posisi di hadapan Ryo. Seketika itu juga Ryo kembali dibuat bingung harus menjawab apa. Ryo terdiam sejenak.

“O..sa..ka...” bisiknya kemudian.

“Apa?” nenek Sayuri agak mengernyitkan dahinya, menambah kerutan di wajahnya.

“Osaka,” jawab Ryo agak lantang – namun tetap dengan nada ragu. Ia asal saja menyebut kata itu – siapa tahu itu memang nama tempat. Kemarin ia membaca tulisan ‘Osaka’ di poster konser musik yang terpampang di depan sebuah toko ketika ia sedang menuju ke restoran bersama Ryuu.

“Ooh... Iya, iya,” nenek Sayuri mengangguk-angguk. “Sepertinya kau tidak tinggal sendiri di rumah itu?”

“Iya, aku tinggal bersama temanku, Amakusa Ryuu,”

“Oh, ya, ya,”

“Ngomong-ngomong, kenapa rumah-rumah itu terlihat sepi?”

“Ah, penghuni di sini rata-rata bekerja di pabrik. Pergi pagi sekali, dan pulang saat hari sudah gelap. Mereka memilih untuk beristirahat di dalam rumah sepulang bekerja, dari pada berjalan-jalan keluar,”

“Ah, begitu ya. Umm, ano, nenek Sayuri,”

“Ya?”

“Aku ingin bertanya sesuatu,”

“Tentu. Apa yang ingin kau tanyakan, Ryo-san?”

“Ano, Mirai-san... Dia cucu Anda, kan?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Kenapa dia seperti...”

“Tidak ramah padamu?” potong nenek Sayuri. Ryo mengangguk. Nenek Sayuri tersenyum tipis, kemudian ia melanjutkan kalimatnya. “Mirai memang gadis yang agak tertutup. Dia agak kaku, apalagi terhadap laki-laki,” terang nenek Sayuri.

“Oh, tapi... kenapa dia...?”

“Ibunya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Ayahnya sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Dia kabur dengan wanita lain. Itulah yang membuat Mirai agak takut dan kaku dengan laki-laki. Sejak lulus SMP, Mirai tidak meneruskan sekolahnya karena Nenek tidak punya biaya untuk menyekolahkan Mirai. Nenek sudah terlalu tua untuk bekerja. Maka dari itu Mirai sekarang bekerja di restoran. Ia yang membayar uang sewa rumah ini, sambil menabung untuk meneruskan sekolahnya tahun depan,”

“Ooh,” Ryo mengangguk-angguk.

“Tapi, Nenek juga khawatir dengannya jika dia terus bersikap seperti itu. Nenek harap akan ada seseorang yang bisa mengubah sikapnya. Karena nasehat Nenek selama ini belum berhasil mengubah sikapnya,”

“Tapi, waktu aku bertemu di restoran, dia ramah sekali pada pelanggan,”

“Haha, tentu saja. Ia tidak mungkin bersikap seperti itu jika sedang bekerja. Bisa-bisa dia dipecat. Hehe...” nenek Sayuri kembali tertawa pelan hingga kedua matanya membentuk garis.

“Ah, iya. Benar, benar. Haha..” Ryo ikut tertawa.

“Minumlah tehnya,” Nenek Sayuri menawarkan.

“Oh, iya terima kasih,” Ryo mengambil gelas dan mendekatkan ke mulutnya. Setelah cairan itu menyentuh lidahnya, Ryo membelalakkan mata dan berhenti meminum teh itu. “Ah? Ini...” bisik Ryo.

“Kenapa, Ryo-san?”

“Aeh... Tidak... He...” Ryo menjulurkan lidahnya.

“Ah... Jangan-jangan aku salah membuat teh. Itu senburi... Aaah... Maaf Ryo-san...” Nenek Sayuri segera bangkit ke dapur dan mengambil air putih.

Ryo meletakkan kembali gelasnya di meja dan mengelap bibirnya. Tak lama nenek Sayuri datang dan menyodorkan segelas air putih. Ryo segera meminumnya.

“Maaf, nenek sering tertukar membuat teh. Nenek sering membuat senburi, tidak sadar tadi malah membuat senburi untukmu...”

“Ah, tidak apa-apa,” jawab Ryo. Ia berusaha bertingkah seperti tahu apa itu senburi. “Gila, minuman apa ini, pahit banget...”  katanya dalam hati.

“Apa masih terasa pahit?”

“Ah, tidak. Ini cukup untuk meredakannya,” Ryo tersenyum.

“Umm, Ryo-san,”

“Ya?” Ryo meletakkan gelas di atas meja dan memandang nenek Sayuri.

“Ada yang ingin nenek sampaikan padamu,”

“Oh ya? Apa itu?” Ryo penasaran.

“Nenek tidak akan selamanya bersama Mirai. Jika suatu saat nenek tidak ada, nenek ingin ada orang yang menjaga Mirai. Mungkin Ryo-san bisa menjadi teman baiknya,”

“Eh? Kenapa nenek bicara seperti itu?”

“Tidak apa-apa. Hanya saja, nenek khawatir dengan Mirai, jika esok atau lusa nenek tiba-tiba meninggalkannya. Ia tidak akan punya siapa-siapa lagi,”

Ryo tertegun mendengar ucapan nenek Sayuri. “Apakah karena ini Yang Mulia Ratu menyuruhku menemui Mirai?” batinnya. “Jangan khawatir, Nek. Mirai tidak akan apa-apa. Ia pasti baik-baik saja,” ujar Ryo mantap.

“Terima kasih,” nenek Sayuri membungkukkan badannya sedikit.

Ini kali pertama Ryo berbincang serius dengan seseorang. Kali pertama ia bisa bersikap sopan pada seseorang. Dan kali pertama ia peduli pada seseorang. Ryo sendiri merasa heran kenapa dirinya bisa berubah seperti itu di depan nenek Sayuri. Dan, kenapa juga nenek Sayuri merasa bebas mengutarakan masalahnya kepada Ryo, padahal ia baru kemarin mengenal Ryo.    

<-->

“Bagaimana kabar anak itu?” Daichi membuka percakapan dengan Ryuu sewaktu makan siang di kantin.

“Ya, begitulah. Sepertinya sifat pemalas dan apatisnya sudah kronis. Tidak bisa dihindari,” Ryuu menjawab pertanyaan Daichi sambil terus menyantap makan siangnya.

“Haha... Apa separah itu?” Daichi terus berbicara dengan mulut penuh makanan.

“Umm... Sekarang aku masih bisa memakluminya, tapi jika ia seperti itu terus, aku akan memberinya peringatan.”

“Ya. Memang harus seperti itu,” Daichi mengangguk-angguk.

“Daichi, rencananya aku dan anak itu akan mencari pekerjaan,”

“Oh ya?”

“Umm...”

“Apa uang yang diberikan ayahmu tidak cukup?”

“Tidak, bukan begitu. Kau tahu, anak itu tidak membawa uang sepeserpun. Dia terus memakai uangku, dan aku tak bisa membiarkan itu. Dia harus membantuku membayar uang sewa rumah, dan juga membeli makanan. Maka dari itu dia harus bekerja,”

“Lalu kenapa kau ikut bekerja juga?”

“Aku ingin menemaninya, kasihan kalau dia bekerja sendiri. Ini tempat asing baginya,”

“Ah, begitu. Ya, terserah kau saja,” Daichi menatap sahabatnya yang terus menyantap makan siang dengan lahap. Satu yang Daichi tahu tentang Ryuu adalah, walaupun dia begitu keras kepala dan senang bertengkar, tapi di dalam jiwanya masih ada setitik kepedulian, bahkan untuk orang yang menyebalkan macam Ryo sekalipun.

<-->

To be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...