Prolog: Semua ini bermula dari tugas analisis
lagu dari dosen saya tercinta. ^^ Awalnya saya menganggap lagu itu tidak
easy listening, dan hanya mendengarkan demi tuntutan tugas. Tapiiii...
setelah membahasnya bersama-sama di kelas. Feel dari lagu itu tuuhh
dapeett bangetttt... (Ciyuss.. mi apa? :D) .. Dan jadilah saya
terinspirasi untuk membuat sebuah cerita dari lagu (seperti biasa).
Ssstt.. ini cerpen ketiga saya yang latarnya bukan di Jepang :D *gak
penting* . Rating untuk cerita pendek ini adalah PG-17 (Parental Guide -
17 tahun ke atas). Haha~ Bukan apa-apa, tapi di dalamnya banyak adegan
yang belum pantas dibaca anak di bawah umur. Sssttt~ jangan mikir macam2
dulu, mendingan baca dulu aja, ya ^_^ . Satu lagi, adegan dan dialog
dalam cerita tidak untuk ditiru dalam dunia nyata!! Just take the lesson
from it . Oya, dont forget to put your comment after you read it. Thank
you~ Happy reading^^
"When
the Memories must not be Remembered..."
By.
Zakiyah Faqoth
A
story inspired by ‘Love for A Child (Jason Mraz)’
Aku berdiri mematung di depan sebuah rumah tua yang
hampir roboh. Catnya terkelupas dimana-mana, tembok lembab berjamur, kaca
jendela usang, dan tiang-tiang kayu yang sudah digerogoti rayap. Aku yakin jika
malam hari rumah ini tampak seperti rumah hantu yang angker. Tidak ada lampu
tentu saja, dan banyak kelelawar atau burung malam yang beterbangan keluar
masuk rumah. Keadaannya sungguh mengkhawatirkan.
Hatiku miris. Melihat kembali rumah itu membuat
otakku memanggil semua memori yang dulu pernah aku lewati dengannya. Ya, itu
adalah rumah yang selama delapan belas tahun aku tinggali dengan ayah dan ibuku.
Sebelum aku memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya. Semua kenangan buruk
yang aku alami di sana.
***
Malam itu aku duduk manis di ruang makan. Di
hadapanku sudah ada mie rebus yang aku masak sendiri. Airnya kebanyakan. Bumbunya
tidak terasa, dan mie-nya lembek karena aku memasaknya terlalu lama. Aku
memegangi ibu jariku yang perih terkena panci panas sewaktu memasak tadi. Aku
meringis sambil menahan air mataku agar tidak tumpah. Malam itu, aku sendirian
lagi. Memang setiap hari, setiap malam. Aku sendirian. Dan terpaksa malam ini
lagi-lagi aku makan mie instan. Anak berumur lima tahun macam aku mana bisa
memasak. Sudah bisa membuat mie instan yang airnya kebanyakan saja sudah
untung.
Aku melirik jam dinding. Pukul sembilan malam.
Seperti biasa Mom dan Dad belum pulang. Tiba-tiba aku mendengar
bunyi menggelikan dari perutku diiringi gerakan melilit yang membuat tanganku
refleks memegangi perut. Satu organ tubuh yang sudah sejak pagi kuabaikan itu
meronta meminta haknya untuk kuperhatikan. Baik... baik... Tenang... Aku segera
memasukkan sesendok mie instan yang sudah agak dingin itu ke mulut, dan dengan
lancarnya makanan itu meluncur ke lambungku. Ugh... rasanya hambar. Tapi
mau bagaimana lagi. Memang ini yang biasanya aku makan setiap hari. Kasihan
perutku. Atau lebih tepatnya, kasihan aku.
Selesai makan, aku segera mencuci mangkuk bekas aku
makan. Susah payah aku naik ke kursi agar aku dapat mencapai keran di tempat
cuci piring. Aku mengusapkan sabun dengan belepotan dan air yang terciprat ke
lantai dapur. Aku mendengar suara mobil terparkir di halaman. Itu pasti Mom
dan Dad. Secepat mungkin aku berlari ke pintu dan hendak membukakannya
untuk mereka. Tapi belum sampai tanganku meraih knop pintu, pintu sudah terbuka
dengan kasar. Membuatku hampir terjatuh karena terdorong dengan tiba-tiba.
Oh, tidak. Sepertinya mereka sedang bertengkar lagi.
Dad yang menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kasar, Mom yang balas
membentak kata-kata Dad. Lalu Dad melayangkan tamparan di pipi Mom.
Mom menangis, dan Dad menendangnya. Mereka saling berteriak dan
membentak. Tak memberiku ruang untuk sekedar berkata ‘Selamat datang Mom,
Dad. Pasti capek, ya? Sini Erick simpankan tasnya. Mom dan Dad duduk saja.
Erick bawakan minum, ya?’. Tidak ada. Yang bisa dan biasa aku lakukan hanya
mengintip mereka dari balik pintu. Pernah aku memberanikan diri mendekati Mom
yang sedang menangis dan menanyakan apakah ia baik-baik saja, tapi yang aku
dapat adalah ‘Shut UP!! (DIAM!!) Kau anak kecil tidak tahu apa-apa!’. Ah,
ya. Mom benar. Aku memang tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu hanyalah,
orangtuaku adalah orang yang setiap hari saling membentak dan memukul.
***
BRAK!!
Aku membuka pintu dengan kasar.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Aku mencapit rokok di mulutku dengan
telunjuk dan jari tengah – perlahan melepaskannya dari mulut dan menyembulkan
asap yang berbentuk bulat-bulat. Kulirik teman-teman yang sudah berbaris di
belakangku dan memberi mereka isyarat untuk masuk. Malam itu kami berpesta di
rumahku karena aku tahu Mom dan Dad tidak akan pulang malam ini.
Kemana mereka pergi aku tidak peduli!
Kami merasa bebas dengan menyetel
musik keras-keras, saling menuangkan alkohol dan berlomba menenggaknya. Entah
sudah berapa bungkus rokok yang kami habiskan malam itu. Beberapa bungkus
heroin dan beberapa suntikan di lengan. Tentu saja, kami tutup malam menjelang
pagi itu dengan tidur bersama teman wanita kami. Siapa yang peduli dengan
keadaanku yang seperti ini? Tidak ada!
Aku tidak lulus SD, dan berhenti
sampai disitu. Aku tidak pernah mempunyai hasrat untuk merasakan bangku sekolah
lagi. Untuk apa? Lihat Mom yang pendidikannya tinggi, hanya bisa menangis
sambil membentak. Dad yang katanya keluaran sekolah menengah jurusan
ternama juga hanya bisa memukul. Lalu apa bedanya dengan aku yang tidak
sekolah? Lagipula merekapun tidak pernah peduli sampai mana prestasiku di
sekolah. Jadi untuk apa aku membuang waktuku untuk hal mengerikan macam itu.
Mengerjakan PR, membaca buku, bangun pagi-pagi dan berangkat sekolah. Cih!
Otakku sudah cukup buntu untuk memikirkan apa yang salah dengan keluargaku.
Tidak usah aku menambahnya dengan memikirkan hitungan-hitungan atau tulisan-tulisan
di buku tebal itu.
***
“ERICK!!!” sebuah bentakan menghentak gendang
telingaku. Mataku terbuka perlahan. Aku memicingkan mata karena sinar matahari
dari balik tirai menyilaukan mataku. Sepertinya dua makhluk yang kerjanya
bertengkar itu sudah kembali. Mereka mendapatiku tidur dengan Bella masih di
dekapanku.
“BANGUN!!” Dad menendang pantatku. “Apa-apaan
kau ini!?”
Aku bangun dengan malas-malasan. Badanku masih lemas
karena efek alkohol yang kuminum semalam. Bella ikut mengangkat kepalanya dan beringsut
duduk.
“Kau mengacaukan rumahku!” Bentak Dad. Di
sampingnya Mom menyilangkan tangan di depan dadanya. Matanya menatapku
tajam seperti seekor harimau yang tidak sabar menerkam mangsanya hidup-hidup.
“You are useless! (Kau tidak berguna!)” komentar
Mom.
Aku tersenyum sinis, “Hey! Sejak kapan kalian
kompak?!”
“Apa kau tidak bisa jika tidak mengacau?” Dad
bergantian dengan Mom menceramahiku. Aku melirik Bella yang sedang
membenarkan bajunya – sepertinya ia takut pada orangtuaku dan berniat kabur.
Aku mendekati Mom dan Dad. Menatap mereka dari jarak sangat
dekat.
“LOOK AT YOURSELF!! (LIHAT DIRIMU!!!)” aku
berteriak. Mereka menutup hidung tak kuat dengan bau alkohol yang menyebar dari
mulutku. “WHO IS TROUBLEMAKER? (SIAPA YANG KALIAN BILANG PENGACAU???!!!)
SIAPA YANG LEBIH DULU MENGACAUKAN RUMAH INI, HAH???!!” Aku memandangi mereka
satu-satu dengan tatapan tajam.
“KAU!” aku menunjuk dada Dad. “Apa yang sudah
kau ajarkan padaku selama ini?” aku mendorong tubuh Dad kasar, tapi
tubuh besarnya dapat menahannya tidak jatuh. “Cara membentak... Cara Memukul...
Cara melempar gelas dan piring... Itu yang selama ini aku lihat darimu... Yang
aku pelajari darimu...” aku berganti menatap Mom, “kau juga! Selama ini
apa kau pernah memasak untukku? Membuatkan bekal untuk kubawa ke sekolah, atau
mengantar jemputku dari sekolah? Selama ini kalian hanya sibuk dengan urusan
kalian!! Kalian tidak menyadari keberadaanku. Hanya sibuk bertengkar dan
bertengkar!! Dan sekarang aku seperti ini.... You just blame on me?!! (Kalian
menyalahkan aku...?!!)”
PLAK!
Satu tamparan di pipi kananku berhasil menghentikan
ucapanku. Ternyata Dad masih saja mempunyai kekuatan untuk memukul
seseorang. “Heh...” aku tertawa sinis, “dasar picik!” aku menyambar jaket
kulitku dan segera pergi meninggalkan rumah itu berserta kedua orang aneh dan
menyeramkan yang pernah kutemui sepanjang hidupku.
***
“Aaaaarrrrggghhhhh.........!!!!!!!!” kuteriakkan segala
rasa kesal yang menumpuk di dalam dadaku. “Shit! (Sial!)”
DAK!
Tinjuku mendarat di dinding. Aku mengacak-acak
rambutku. Tak mengerti sudah seberapa kacau pikiranku saat itu. Apa maksudnya
Tuhan mengirimkan aku ke dunia ini? Hanya untuk melihatku tersiksa dengan
orangtua macam mereka? Ingin rasanya aku mengalami kecelakaan dan menghilangkan
semua pikiranku tentang kedua orang itu. “Arrggghh...!!!! Arrgghh...!!!” aku membentur-benturkan
kepalaku ke dinding. Air mataku mengalir. Hidup ini kejam!
Tuutt... Tuutt...
Kereta barangnya sudah datang. Secepat kilat aku
menyusup ke gerbong dan bersembunyi di balik peti-peti. Aku ingin pergi dari
kota ini. Kemana saja, asal jauh dari kedua orangtuaku.
***
Entah tempat apa ini namanya. Tapi sepertinya masih di
Cincinnati. Aku menyusuri lorong di antara pertokoan. Sial! Aku lapar. Kulihat pedagang
roti di pinggir jalan. Kurogoh sakuku satu per satu, tapi tak kudapatkan uang
sepeserpun. Hah! Lalu bagaimana aku
mendapatkan roti itu?
“Pak, berapa harganya?”
“1 dolar,” jawab pria tua itu singkat. Bibirnya
mengembangkan senyuman. Ah, maaf pak tua, senyumanmu itu harus kuganggu
sebentar.
“Aku ambil satu, ya.” Kataku seraya mengambil satu
bungkus roti.
“Yes, please (Ya, silahkan),” balasnya sopan.
Kami bertatapan selama beberapa detik. Dia masih memasang
wajah innocent-nya sebelum aku secepat kilat berlari menjauh dari
hadapannya.
“Hey!! He stole my bread!! (Hey! Dia mencuri
rotiku!)” teriak pria tua itu. Beberapa orang mengejarku tapi aku berhasil
bersembunyi.
“Ha.. ha..” aku tertawa puas. Dengan rakusnya aku
makan roti itu. “Tadi kan aku bilang aku ambil satu, bukan beli satu.. Hahaa.. Stupid
(Bodoh)”
***
Begitulah kujalani hari-hariku saat ini. Mencuri di
sana-sini untuk memenuhi kebutuhan perutku. Tidur di gang-gang sempit yang
gelap. Aku tidak tahu apakah kehidupanku yang sekarang ini lebih baik atau sama
saja seperti ketika aku di rumah. Yang jelas aku senang, tidak ada orang yang
aku panggil Mom dan Dad di sini.
Suatu malam aku berjalan di lorong pertokoan.
Tiba-tiba kurasakan tubuhku melemas, jatuh dan menggigil. Gigiku bergemeletuk. Aku
memeluk tubuhku sendiri. Dingin.... Semua persendianku terasa ngilu. Kuraba kantong
baju dan celanaku. Mencari sesuatu yang bisa meringankan keadaanku. Tidak ada. “Aaaahhhh....
Aku butuh obat-obat itu...”. Aku berteriak-teriak sendiri sampai akhirnya
kesadaranku perlahan menghilang.
***
Tiit.. Tiitt.. Tiitt...
Itu suara yang pertama kali kudengar ketika aku
berhasil membuka mataku kembali. Seperti suara mesin. Pandanganku samar, namun
perlahan semakin jelas. Ruangan serba putih dan bau obat antiseptik yang
menyengat. Aku rasa aku bisa menebak dimana aku sekarang.
“Sudah siuman, ya?” seorang suster berambut pirang dengan
wajahnya yang pucat menghampiriku sambil membawa catatan di tangannya. Dia
memegang pergelangan tanganku kemudian menuliskan sesuatu di catatannya. “Sorry
(Maaf),” katanya ketika ia menyorotkan senter ke mataku. Setelah itu dia
memeriksa botol infus yang tergantung dekat tempat tidurku.
“Eh... Wait (tunggu),” kataku. “Who’s
bring me here? (Siapa yang membawaku kesini?)”
“Me (aku),” jawabnya singkat.
“Kenapa? Kenapa kau tidak membiarkan aku mati di
jalan? Kenapa kau menyelamatkan aku?”
“Aku tidak punya kewajiban untuk mengabaikan
seseorang,” suster itu tersenyum tipis. “Aku harus menolong siapapun yang
membutuhkan pertolonganku,” lanjutnya. “Oh, iya. Bisa berikan informasi tentang
keluargamu?”
“Ah... Pasti kau ingin menagih administrasi?” tebakku.
“No... Don’t worry (Bukan, jangan khawatir).”
Ia tersenyum lagi. “Aku hanya ingin memberitahukan keadaanmu pada mereka.”
“Aah... Tidak perlu,”
“Why? (Kenapa?),”
“Aku tidak punya keluarga,” jawabku sambil mengubah
posisiku – membelakanginya.
“Kau yakin?” tiba-tiba ia sudah berada di hadapanku
lagi. “Apa kau punya masalah dengan keluargamu?”
“Sudah kubilang aku tidak punya keluarga!”
“Lalu bagaimana kau bisa ada di dunia ini? Kau pasti
punya ibu dan ayah, kan?”
“Ah... Mungkin... Iya.. Mungkin juga, tidak!”
Suster itu malah tersenyum mendengar jawabanku, “It’s
okay (Tak apa). Setiap orang punya rahasia dan privasi,” dia beranjak dan
menuju pintu. “Aku tinggal dulu. Permisi,”
“Eh, siapa namamu?”
Ia berbalik sebentar dan menatapku, “Lizzy,”
jawabnya singkat.
***
Selama tinggal di rumah sakit dan mendapatkan
perawatan, Lizzy selalu menemaniku. Ia membantuku meninggalkan ketergantunganku
pada obat-obatan terlarang dan alkohol. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus
membayar biaya perawatanku. Tapi setiap aku bertanya padanya, ia bilang “Tidak
usah dipikirkan”.
Aku dan Lizzy semakin dekat. Usia kami terpaut lumayan
jauh. Dia lebih tua lima tahun dari aku. Tapi aku merasa nyaman bersamanya. Aku
menceritakan semua yang aku alami ketika aku kecil dan tinggal dengan orang tua
yang kerjanya bertengkar setiap hari.
“Diabaikan itu memang menyakitkan.” Katanya suatu hari
ketika kami duduk di bangku taman rumah sakit. “Apalagi oleh orangtua sendiri. Kau
tahu? Semua orang butuh pengakuan. Itu membuat mereka merasa ada dan merasa
dihargai.”
“Aah, kau juga setuju kan, kau menyadarinya... Semua
itu memang menyakitkan. Dulu aku masih kecil dan hanya bisa diam saja ketika
melihat pecahan-pecahan gelas di lantai. Ketika mereka tak pernah menggubrisku
ketika aku bertanya. Ketika mereka tak datang ke acara kenaikan kelasku. Mereka
pikir aku tidak tahu apa-apa tentang itu, dan tidak masalah jika mereka
bertengkar di hadapanku. Karena aku hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa.”
“Tapi tidak
ada gunanya kau mengomel lagi sekarang, semuanya sudah terjadi.” Lizzy
tersenyum.
“Ah, ya. Kau benar. Mungkin sekarang aku hanya bisa
melanjutkan hidupku tanpa melihat masa laluku yang kelam. Benar, kan?”
“Tapi jangan melupakan orangtuamu,”
“Eh? Kenapa? Di dunia ini ada juga kan, kenangan
yang tidak harus diingat,”
“Yes, you are right (Ya, kau benar). You
may forget the memories, but not your parent. Without them you will not be
exist (Kamu boleh melupakan kenangannya, tapi jangan lupakan orangtuamu.
Tanpa mereka kamu tidak akan ada).”
“Ya, kau benar. Bagaimanapun mereka orangtuaku.” Aku
tersenyum menatap mata Lizzy yang biru mengkilat. “Oh ya. Kau tahu? Aku masih
penasaran tentang satu hal,”
“Umh, what’s that? (Apa itu?)” Lizzy
membesarkan matanya – ingin tahu.
“Kenapa Mom dan Dad bisa menikah. Jika
mereka menikah berarti mereka saling mencintai, kan? Tapi kenapa setelah itu
mereka saling bertengkar? Apa cinta mereka hanya sementara?”
Lagi-lagi Lizzy tersenyum. “Itu sebuah misteri. Aku
tidak bisa menjawabnya. Mom dan Dad mu lebih mengetahuinya.”
***
Tanpa terasa aku sudah berdiri terlalu lama di depan
rumah itu. Aku menggelengkan kepalaku menepis pikiran masa lalu yang beberapa
waktu lalu mampir lagi di otakku.
“Erick?? Apa kau Erick??” sebuah suara parau
terdengar memanggilku.
“Mr. Wilson?” aku menghampiri pria itu. Dia
tetanggaku. Dulu aku sering main di rumahnya ketika Mom dan Dad
tidak pulang.
“How are you? It has been so long, (apa
kabar? Lama tak bertemu)”
“Fine. How about you? (Baik. Tuan?)” aku
menyalami pria tua itu.
“Always fine (selalu baik),” jawabnya mantap.
“Mr. Wilson, apa kau tahu...”
“No, (tidak)” potongnya tanpa menunggu pertanyaanku
selesai. “Maria dan Davian pergi setahun setelah kau pergi. Aku tidak tahu
mereka kemana,”
“Ah, I see (Oh, begitu),” aku kembali
memandangi rumah tua itu. Sunyi. Tapi suara pecahan gelas itu sekilas terdengar
lagi di telingaku.
“Erick, mampirlah ke rumahku.” Tawar Mr. Wilson.
“Ah, terima kasih. Aku menunggu istri dan anakku.
Mereka sedang di toilet umum. Nanti aku ke sana,”
“Ah, haha... Baiklah. Kalau begitu aku duluan.
Senang melihatmu baik-baik saja,” Mr. Wilson tersenyum hangat. Senyuman itu
bahkan tak pernah aku dapatkan dari Dad.
“Ya. Hati-hati, Mr. Wilson.”
“Daddy... Daddy...” seorang anak laki-laki
berumur empat tahun dengan suara cadelnya memanggilku. Ia menarik-narik ujung
kemejaku.
“Iya, sayang. Ada apa?” aku berjongkok menyamakan
tinggiku dengannya.
“Can we buy ice cream? (Bolehkah beli es
krim?)” katanya dengan senyumnya yang lebar. Giginya yang ompong sebagian tampak
jelas. Matanya yang biru mengkilat - seperti ibunya - berbinar-binar.
“Dimana kau lihat penjual es krim?” aku mengacak pelan
rambutnya yang pirang.
“Over there! (Di sana!)” tunjuknya ke ujung
jalan.
“Ah, baiklah. Kita beli es krim...”
“Daddy.. Gendong aku..” pintanya manja. Aku
pun segera mengangkatnya dan menggendongnya di tengkukku.
Lizzy sudah berdiri di depanku. Ia tersenyum ke
arahku. Aku membalas senyumannya. Lizzy yang menyuruhku untuk kembali menemui
orangtuaku. Tapi nyatanya aku tidak menemukan mereka di sini. Mungkin lain kali
aku akan mencari mereka lagi.
Lizzy benar, aku memang tidak harus melupakan atau
membenci Mom dan Dad. Namun yang terpenting dari semua ini
adalah, aku tidak akan pernah mengabaikan Dennis. Karena aku tahu bagaimana
rasanya Erick kecil yang diabaikan orangtuanya.
Semua ini hanyalah masalah cinta.
=The
End=
~Zakiyah
Bandung,
November 2nd, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d