Chapter
Six: Losing
Aku masih ingat sorot mata itu.
Kejadian sepuluh tahun yang lalu. Saat ada seseorang yang menculik aku dan
Suke. Orang itu yang sudah membunuh Okaasan dan mencekik Suke sampai
pingsan. Orang dengan sorot mata itu.
“Hisashiburi,” suaranya yang
berat menyapaku.
“Apa maumu?!” bentakku.
“Hahaha....” orang itu tertawa sampai
mulutnya terbuka lebar.
“Masih bertanya,” dia beranjak dari
sofanya kemudian menghampiriku. Tangannya yang besar mencengkeram rahangku.
“Tentu saja nyawamu,” lanjutnya.
Ough... Apa
jantungku tak bisa berdetak lebih tenang? Demi Tuhan. Apa yang akan terjadi
padaku sekarang? Apa hidupku akan berakhir di tangan orang ini seperti yang
dialami Okaasan dulu?
“Kau yang mengirim surat itu?”
“Ya. Ta kusangka kau akan sebodoh itu
mempercayainya dan datang ke sini.”
Aku tersenyum licik dalam hati. Kita
lihat siapa sebenarnya yang bodoh!
“Di mana kau sembunyikan ayahku?”
“Ayahmu, huh? Dia sudah lama
mati! Dia laki-laki keparat yang sudah merebut Nanako dariku. Dan kau adalah
anak dari laki-laki keparat itu! Nanako dan ayahmu adalah dua orang brengsek!
Mereka hina!” suaranya yang berat menggema di ruangan yang cukup gelap itu.
“Bicara apa kau?!” aku membentaknya.
“Diam!” Laki-laki itu berteriak tepat
di depan hidungku. “Bisa-bisanya kau memasang wajah tanpa dosa seperti itu. Apa
kau tahu? Ayahmu adalah adik kandungku.”
Aku tercengang. Adik? Berarti orang ini
adalah pamanku sendiri?
“Dia merebut segalanya dariku. Merebut kekasihku,
jabatanku, hartaku, semuanya. Orang tua kami lebih memihak orang keparat itu.
Orang licik yang sudah merebut kebahagiaanku.” Laki-laki itu menggeleng-geleng
kepalanya. “Aku ingin membalas dendam pada semua orang yang sudah merebut
kebahagiaanku. Dan kini saatnya aku menghabisimu, juga adikmu. Sudah saatnya
aku mengakhiri ketidakadilan yang Tuhan berikan padaku!”
Demi Tuhan! Apa-apaan ini!? Kenyataan ini
sulit sekali kuterima. Jadi orang ini ingin membunuh aku dan Suke karena
perbuatan ayah di masa lalu?
“Apa kau siap untuk menyusul ayah dan
ibumu ke neraka, bocah ingusan?!” orang itu mengempaskanku dengan kasar ke
lantai.