Prolog: FF ini tercipta bulan Mei kemarin. Dalam project ultah Yamachan yang diadain Hey! Say! JUMP Lounge. Dan alhamdulillah, FF ini dapat juara satu Chapter based on trailer >_< yokatta ^_^
FF ini udah di publish di blog HSJ Lounge dan baru sekarang aku publish di sini karena baru buka blog lagi #plak
aku hiatus lumayan lama. Dan niatnya abis sidang, desember akhir atau awal tahun depan, aku mau fokus nulis lagi. ^_^
Saa~ gak usah lama2 deh, langsung aja. Douzo ~
Comment after reading ne :)
Sankyuu ~
Title :
Dear God of Ruthlessness
Casts :
- Ryosuke Yamada as Ryo and Suke
- Keito Okamoto as Keito
- Yuya Takaki as Yuya
- Kota Yabu as Kou
- Yuri Chinen as Yuri
- Other Hey! Say! JUMP member will be cameos
- Kitagawa-san
- Kagawa-san (OC)
- Tanaka Koki (Kat-Tun) *waktu aku bikin. Koki masih memba Kat-tun >_<
Cross Gender :
Kei Inoo ‘HSJ’ as female (Aibara sensei)
Genre :
Family, School Life, Hurt/Comfort, Angst
Rating :
PG – 15 (because of violence scene)
Length :
Six Chaptered Series
Language :
Indoneshia Go
Author :
Hishiyama Sakura (Asy Chan)
- FB link : http://www.facebook.com/zakiyahasysyauqie
- Twitter :
http://www.twitter.com/qieluphblue12
- Site Link : http://urangsundanuresepjepang.blogspot.com
http://chankapaana-moonlight.zz.mu
- Ichiban : One
and only Yamada Ryosuke <3
- Reason :
Memeriahkan ulang tahun Ichibanku, dan menuangkan ide-ide gaje yang sudah lama
tersendat di otak >_< :D
Disclaimer :
The casts ain’t mine. The story is mine. *sign on materai*
Summary : Aku
tak habis pikir, kenapa hanya wajah kami saja yang sama? Kalau Tuhan memang
berniat membuat kami menjadi saudara kembar, kenapa tidak seratus persen kami
dibuat sama? Kenapa? Kenapa hanya wajah dan fisik kami yang sama? Kepintaran,
keberanian, kekuatan, dan segala hal yang Ryo miliki, seharusnya aku juga
memilikinya, kan? Itu baru namanya kembar. Sama.
A/N :
Oh My GOD! Saya tahu cerita ini sangat sangat sangat gajelas -_- Semoga cerita
ini sesuai dengan trailer yang disediakan. Mohon maaf apabila imajinasi dan
emosi yang terlalu berlebihan. Mudah-mudahan berkenan di mata dan hati para
juri+teman2 JUMPers. Jika ada ketidakjelasan alur, mohon dipahami karena sang
penulis adalah amatir kelas teri yang sudah berkali-kali gagal ujian SIM *eh? >_<
. Yoroshiku~
***
Chapter
One: Weak is Hurt, Strong is Hurt
Bugh! Bugh!
Suara pukulan semakin menggema di
lorong sempit yang gelap ini. Ryo berkelahi lagi. Melawan mereka demi
melindungiku. Dan aku hanya bisa menjadi penonton pasif – tak bisa melakukan
apa-apa untuk membantunya.
Bugh!
Pukulan terakhir yang dilayangkan Ryo
berhasil membuat ketiga preman itu tumbang kemudian lari terbirit-birit. Ryo
menepuk-nepuk tangannya.
“Safe...” katanya, kemudian dia
menyeringai. Ryo menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dan
dia membantuku berdiri.
“Kau tidak apa-apa, kan, Suke?”
“Ya,” aku mengangguk. “Ah...” Aku
memegangi perut yang terasa berdenyut.
“Kenapa? Apa mereka tadi memukul
perutmu?”
Aku hanya mengangguk pelan sambil
meringis. Dengan sabar Ryo memapahku pulang ke rumah. Setelah membaringkanku di
atas futon, dia pergi ke dapur untuk menjerang air. Aku hanya memandangi
punggungnya yang sibuk menyiapkan sesuatu. Aku memejamkan mataku yang terasa
perih – walaupun nyatanya ia tak seperih hatiku.
Ryo kembali dengan membawa baskom
berisi air hangat dan handuk kecil, juga beberapa obat oles dan baju gantiku.
“Buka bajumu! Aku akan membersihkan
badanmu dulu,” perintahnya.
Aku diam, berusaha bangun, tapi... “Auh...”
“Hh...” Ryo mendesah. “Sini,”
Ryo membantuku untuk duduk dan melepaskan t-shirt-ku. Dia mencelupkan
handuk ke air dan memerasnya, kemudian mengelap tubuhku perlahan. Setelah
selesai, Ryo mengoleskan obat di perutku. “Untuk menghilangkan rasa sakit,”
katanya. Aku hanya tertegun melihat Ryo yang serius mengobati lukaku. Lalu Ryo
memakaikan baju tidurku dan membantuku berbaring kembali. “Tidurlah, supaya
badanmu membaik,” Ryo beranjak ke dapur untuk menyimpan kembali peralatan yang
dia gunakan.
“Ryo,” panggilku. Ryo menghentikan
langkahnya. “Terima kasih,” ucapku. Ryo meneruskan langkahnya tanpa menatapku
dan tanpa menjawab ucapanku.
Aku memandangi Suke yang sudah
tertidur. Sepertinya sudah pulas. Dasar bodoh! Sudah berapa kali dalam seminggu
ini dia dikeroyok preman. Lebih bodoh lagi kenapa dia begitu lemah dan tidak
pernah melawan. Merepotkan saja!
Aku menggelar futon-ku dan
berbaring di atasnya. Kutarik selimut sampai menutupi seluruh badan dan
kepalaku. Kucoba memejamkan mata dan berusaha tidur walau rasa kantuk sampai
saat ini belum mau singgah di mataku. Setelah beberapa detik aku berhasil
memejamkan mata.
Deg!
Mataku terbuka lebar. Aku melihatnya
lagi. Kenapa setiap aku memejamkan mata dan mencoba tidur aku selalu melihat
diriku yang sedang berada di ruang mayat?
“Aargghh...” aku menggelengkan
kepalaku kuat-kuat. Tanganku meremas rambut. Aku ingin sekali berteriak dengan
keras. Mimpi itu selalu menghantuiku. Sialan!
***
Suke
terbangun dan menghampiriku yang sedang menyiapkan sarapan.
“Selamat
pagi,” sapanya. Kemudian ia duduk di kursi makan.
“Pagi,”
jawabku singkat.
“Kenapa kau
bangun pagi sekali? Ini baru jam setengah enam, tapi kau sudah menyiapkan
sarapan.”
“Bangun?
Semalaman aku memang tidak tidur. Mimpi itu membuatku tidak bisa memejamkan
mata sampai pagi tiba,” rutukku dalam hati.
“Ryo?”
“Ah, tidak,” aku menggeleng. “Tidak
apa-apa. Aku harus berangkat ke sekolah lebih pagi jadi aku siapkan sarapan
lebih awal,” dustaku.
“Begitu, ya?”
***
Ryo meletakkan semangkuk sup hangat di
hadapanku. Kemudian mengambil nasi dari warmer. Disodorkannya lagi
mangkuk nasi itu padaku. Aku menerimanya penuh rasa terima kasih.
“Kau makan sup saja, khawatir perutmu
masih sakit,” katanya.
Setelah mengambil bagiannya – nasi dan
udang goreng tepung, ia segera mengambil sumpit dan mulai makan.
“Itadakimasu,” ucapnya.
“Itadakimasu,” ucapku kemudian.
Pagi ini sarapan berlangsung hening.
Ryo dengan lahap menghabiskan makanannya dan segera beranjak dari meja makan.
“Cepatlah, aku mau membereskan
mejanya.”
“Tidak, tidak usah. Biar aku saja. Kau
boleh berangkat sekarang, Ryo.”
Mata Ryo menyipit. “Baiklah,” dia
mengalah.
***
Akhirnya aku bebas. Sejenak saja aku
ingin terbebas dan jauh dari Suke. Demi apa, dia itu sangat merepotkan. Aku
membuka locker-ku dan tiba-tiba sesuatu berkelebat di pikiranku.
Deg!
“Hai, Ryo!” seseorang memanggilku. Aku
menoleh.
“Hai, Keito.”
“Ada apa? Dari tadi kuperhatikan kau
melamun saja.”
“Ah, tidak.”
“Hm... Kalau begitu ayo, kita ke
kelas. Kau janji akan memberiku contekan PR Matematika, kan?” Keito merangkul pundakku.
“Haa... Iya, iya. Ayo,” Aku melepas
sepatuku dan segera menggantinya dengan sepatu indoor putih. Aku
berjalan ke kelas masih dengan perasaan yang resah.
“Apa tidak apa-apa jika aku
membiarkan Suke sendiri? Apakah dia dalam bahaya?”
***
Aku berjalan melenggang ke sekolah.
Santai saja. Masih dua puluh menit lagi bel berbunyi. Dan tak sampai lima menit
pun aku sudah akan tiba di sekolah.
“Hmpfftt...” Seseorang
membekapku dari belakang dan memelintir tanganku. Aku meronta-ronta, berusaha
berontak namun tenaganya jauh lebih kuat dariku. Obat bius yang dia bekapkan ke
hidungku mulai bereaksi. Aku pun terkulai lemas dan tak melihat apa-apa lagi.
***
Aku menuju kelas Suke pada jam
istirahat.
“Dia tidak masuk sekolah hari ini,” terang
Yuri – salah satu teman sekelasnya.
“Benarkah, apa dia masih sakit dan
memilih untuk beristirahat di rumah?” pikirku.
“Ryo? Apa tadi dia tidak berangkat
bersamamu?” Yuri mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku mengerjap.
“Ah, maaf. Tidak, tadi aku duluan. Ya
sudah, terima kasih ya, Yuri.”
“Ya, sama-sama.”
Aku kemudian berlari ke rumah untuk
memastikan dia masih ada di rumah atau tidak.
“Suke!!” Dia tidak menyahut. Dia tidak
ada di rumah. Kemana anak itu?
Aku bergegas mencarinya lagi. Aku terus
berlari sambil memanggil namanya. Kakiku terhenti ketika aku melihat butiran
obat berceceran di jalan. Kuambil sebutir lalu kuperhatikan baik-baik.
“Ini milik Suke!” ujarku yakin. Aku
mengikuti arah ke mana obat-obat itu jatuh tercecer. Sambil terus memastikan
keadaan sekelilingku aman dan tidak ada yang membuntutiku.
Jejaknya berhenti di depan sebuah gang.
Aku mengendap-endap menyusuri gang sempit itu sampai kulihat ada sebuah
bangunan tua di ujung gang. Perlahan aku mendekati bangunan itu dan mengintip
dari celah jendela.
Suke!
Ada yang menyekapnya.
***
Setelah aku tersadar dan berhasil mengingat
apa yang terjadi sebelum keadaanku terikat seperti ini, aku melihat tiga orang
laki-laki mengelilingiku.
Seorang laki-laki berpakaian serba
hitam dan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Rambut panjangnya yang
tipis melambai dari balik topinya. Sebatang rokok naik turun di bibirnya saat
dia bicara. Apa mereka ini Yakuza? Dan dua lainnya.... Astaga! Tidak
mungkin, mereka....
“Ah, rupanya sudah sadar,” ucap salah
seorang dari mereka – menghampiriku.
“Apa yang kalian inginkan?!” bentakku.
“Ow... Ow... Ow... Galak sekali.
Hahaha...” ledek mereka.
“Kou, mau kau apakan anak ini?”
“Sebentar, aku masih berpikir. Cara apa
ya, yang tepat untuk mengenyahkan manusia tak berguna ini dari dunia?” Kou –
yang tak lain adalah teman sekelasku, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sorot matanya
membara dipenuhi amarah.
“Ah, berpikir saja kerjaanmu. Kenapa
tidak langsung dicoba saja,” tukas seorang laki-laki di belakangnya. Dan itu
adalah Yuya – masih teman sekelasku.
“Kalian mau apa?? Aku salah apa??” aku
mencoba membela diri. Oh Tuhan, apa hidupku akan berakhir di sini? Aku
menangis dalam hati.
“Masih tidak sadar ya?” Kou mencengkeram
rahangku kuat-kuat. “Gara-gara kau aku putus dengan Ayumi. Itu gara-gara kau membocorkan
rahasiaku padanya, bodoh!!”
“Ra-rahasia?”
“Kau bilang padanya kalau aku pacaran
lagi dengan Tsuki, kan? Ngaku!” bentak Kou.
Aku menggeleng.
“Masih tidak mengaku?!” Yuya menarik
rambutku dari belakang.
“Arrgh... A-apa hanya karena itu
kalian ingin membunuhku?”
“Apa? ‘Hanya’ kau bilang?” Kou
melepaskan cengkeramannya. “Banyak sekali masalah yang kau perbuat selama ini,
tahu!?” Kou menjauh dariku, mendekati laki-laki yang berpakaian serba hitam. “Koki,
urus dia! Jalankan saja rencana untuk membunuhnya siang ini. Yuya, ayo kita tangkap
saudara kembarnya. Biar sekalian kita habisi duo pembawa masalah itu.”
Yuya mengempaskan kepalaku kemudian
pergi mengikuti Kou. Demi Tuhan, aku tidak percaya kalau mereka anak SMA yang
sekelas denganku. Mereka lebih mirip Ketua Yakuza.
Aku menunduk lemas. Air mataku mengalir
deras. Apa hidupku akan benar-benar...
“Arghh...” si laki-laki yang
dipanggil Koki itu menjambak rambutku dan mengangkat kepalaku.
“Padahal wajahmu sangat polos, kawan. Kenapa
Yuya dan Kou bisa sampai membencimu seperti ini?” Koki melepaskan rokok dari
bibirnya dan menyembulkan asap tepat di hidungku. Aku terbatuk-batuk. Koki
tertawa sinis.
“Siapa kau? Apa maumu?”
“Apa masih kurang jelas? Aku mau
membunuhmu, kawan.” Koki menekankan ujung bara rokoknya ke leherku. Aku
menjerit kesakitan.
“Aaaarrggghhh.... Aku tidak
salah apa-apa,” aku masih berusaha membela diri. Air mataku menetes lagi.
“Itu, kan menurutmu. Lagipula....”
Tak!
Ucapannya terpotong ketika seseorang memukul
kepalanya dengan tongkat kayu. Koki sontak menoleh ke belakang dan wajahnya
terlihat murka ketika melihat Ryo yang dengan tenangnya melambaikan tangan
pertanda dia siap memulai perkelahian.
Dan...
Mereka pun berkelahi dengan sengitnya. Akhirnya?
Sudah bisa kutebak Ryo-lah yang akan menang. Jika boleh dibilang, Ryo itu
seperti pahlawan dalam dorama action bagiku. Meski aku tak tahu dari
mana dia mendapatkan kekuatan dan keahlian untuk berkelahi.
Ryo melepaskan ikatanku. Kami pun
keluar dari tempat mengerikan itu. Di pintu keluar, kulihat Kou dan Yuya sudah
tergeletak tak berdaya dalam keadaan terikat. Aku melirik Ryo. Ryo hanya
memasang wajah tanpa ekspresi.
“Lain kali jangan berangkat sekolah
sendirian. Maafkan aku sudah meninggalkanmu pagi tadi.”
***
To be continued~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d