Chapter
Four: Remedy
Kami datang lebih pagi ke sekolah. Umm,
sebenarnya kami memang sering datang lebih awal dari siswa yang lain. Seperti
pagi ini, sekolah masih sepi. Aku menunggu Ryo yang sedang ke toilet. Tak
mungkin juga, kan kalau aku mengikutinya sampai ke toilet. Aku berdiri di
pinggir lapang. Kulirik jam tanganku. 7.10. Kemudian kuedarkan pandanganku ke
sekeliling. Masih belum banyak siswa yang datang. Dari jauh kulihat seseorang yang
kukenal berjalan ke arahku.
Yuya? Bukankah dia sedang di-skors?
Yuya menghampiriku dengan wajah garang
dan mulut yang menyeringai. Aku terdiam melihatnya. Aku mundur pelan-pelan.
Kakiku bergetar dan keringat dingin mengucur deras di pelipisku. Ketika Yuya
sudah berjarak enam puluh centimeter dariku, bisa kudengar desah napasnya yang
bergemuruh penuh emosi. Tanpa pikir panjang aku berbalik dan hendak melarikan
diri.
Buk!
Aku menabrak seseorang sampai terjatuh.
Kou!
Aku merangsek mundur, kemudian menabrak
Yuya. Aku mulai putus asa. Tamatlah hidupku!
Yuya menarik kerah bajuku hingga aku
berdiri lagi. Kou mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bisa kurasakan napas yang
berembus dari hidungnya menyebarkan aura panas kebencian.
Bugh!
Satu pukulan mendarat di perutku.
Memberikan rasa mual dan ngilu yang seketika menjalar ke seluruh tubuh. Yuya
semakin erat mencengkeram lenganku dari belakang – mengunci gerakanku. Kou
mencengkeram rahangku.
“Masih berani kau macam-macam, hah!?”
teriaknya.
“Apa maksudmu?”
“Masih saja berlagak bodoh atau kau
memang bodoh?!”
“Sudah, mengaku saja kalau kau yang melaporkan
tindakan kami waktu merokok ke kepala sekolah. Kau juga yang melaporkan masalah
perselingkuhan Kou pada Ayumi, iya kan?! Lalu kau merebut Ayumi dari sisi Kou.”
Yuya memelintir tanganku lebih kuat. Aku menjerit.
“Aarrgghhh...” Air mataku tak
terasa keluar. Mereka semakin kalap menertawakanku dan memukuliku. Aku sudah
kehilangan tenaga. Aku hampir pingsan ketika seseorang dari belakang menarik
tubuh Kou hingga terjungkal.
Ryo!
Yokatta...
Aku bersyukur dalam hati.
“Jangan ganggu Suke, kalian brengsek!”
maki Ryo pada Kou dan Yuya.
Perkelahian antara mereka bertiga tidak
bisa dihindarkan. Ryo menghajar Yuya dan Kou yang bertubuh lebih tinggi
darinya. Beberapa kali Ryo terkena pukulan dan terjatuh. Aku, aku hanya bisa
menonton mereka – lagi. Tersungkur di tanah. Merintih dalam kesakitanku.
Sudahlah, hentikan! Aku tidak tahan lagi melihat orang-orang yang berkelahi.
Saling memukul satu sama lain. Bahkan mungkin parahnya akan saling membunuh.
Hentikan! Aku mohon, hentikan! Air mataku jatuh ke tanah.
Beruntung Bu Aibara segera datang dan
melerai perkelahian itu. Kou dan Yuya menghambur berlari ketakutan. Bu Aibara
menghampiriku dan membantuku bangun.
“Kau tidak apa-apa?”
Aku mengangguk.
Bu Aibara membawa kami ke ruang UKS.
Aku berbaring di ranjang sementara Ryo yang terlihat lebih segar bugar duduk di
kursi dekat meja kerja Bu Aibara.
“Ibu ke luar dulu sebentar mengambil
kasa dan alkohol, tunggu di sini ya.”
“Kenapa peralatan seperti itu tidak
disimpan di ruang UKS?” Ryo bertanya curiga. Sebenarnya tak perlu ditanyakan
juga.
“Ada di ruang guru, sewaktu Pak Hyuga
meminjam untuk mengobati lukanya.”
“Oh,” respon Ryo singkat.
“Ya sudah, ibu ke luar dulu.”
“Iya,” jawabku dan Ryo bersamaan.
Ryo membisu lagi. Dia mengambil antiseptic
dan kapas dari meja lalu mengobati luka lecet di tangannya. Aku bangkit
menghampiri Ryo.
“Ryo, terima kasih,” ucapku getir.
Ryo terdiam.
“Terima kasih kau selalu ada di setiap
aku membutuhkanmu. Kau selalu menolongku dan melindungiku dari gangguan
orang-orang itu. Bahkan sampai kau terluka. Aku sungguh....” Aku menghela
napas. “Aku berhutang padamu, Ryo... Maaf aku tidak bisa melakukan apapun
untukmu. Aku terlalu lemah. Aku tidak sepertimu. Aku tidak bisa sepertimu.”
Kulihat Ryo melirik ke arahku sebentar kemudian menunduk lagi mengobati luka di
tangannya.
“Suatu saat nanti, aku ingin melakukan
sesuatu untuk membalas semua kebaikanmu padaku. Aku berjanji, Ryo. Kau dengar,
kan?” ucapku mantap dengan mata berseri-seri.
“Hah? Kau bilang apa tadi?” Ryo bicara
tidak jelas sambil memegangi luka di mulutnya.
“Hh,” aku menarik napas dan
mengembuskannya dengan dramatis. “Lupakan saja!” ucapku pasrah sambil
mengangkat sebelah tangan. Kecewa. “Kenapa kau selalu bersikap tak peduli
seperti itu?” aku pergi meninggalkan ruang UKS. Bu Aibara yang kutahu sejak
tadi menguping pembicaraan kami dari balik pintu kaget ketika aku membanting
pintu UKS. Aku tak memerdulikannya.
“Apa kau tahu, Ryo? Sikapmu yang
seperti itu semakin membuatku merasa seperti orang paling bodoh dan lemah di
dunia. Tega sekali kau melakukan itu, Ryo!” aku memejamkan mata. Air mataku
menetes. Tuhan, apa kau membenciku sehingga kau sekejam ini padaku?
***
Aku menangis
sesenggukan di belakang gedung olahraga. Menyandarkan tubuhku ke dinding
berdebu. Dari sini hanya terdengar samar-samar suara teriakan murid-murid yang
sedang bermain basket. Aku menangis sejadi-jadinya. Karena aku sudah sakit
sesakit-sakitnya. Sakit, sangat sakit ketika aku menyadari betapa aku ini
memang tak bisa lebih kuat dari keadaanku yang sekarang. Sakit karena ucapan
terima kasihku pun tak digubris oleh Ryo. Sakit karena aku selalu menjadi orang
yang merepotkan. Semua itu menyakitkan.
Aku membenamkan wajahku di antara kedua
lutut. Napasku mulai tersengal. Mataku basah. Lihat! Bahkan aku sampai menangis
seperti ini saking lemahnya. Boku wa dame!
Tiba-tiba kurasakan seseorang memegang
pundakku. Kuangkat wajahku dan kulihat Bu Aibara tengah tersenyum padaku.
“Membolos?” tanyanya. Aku tak menjawab
dan kembali menundukkan wajahku.
“Kamu bisa cerita sama Ibu kalau kamu
punya masalah, Suke,” nada bicaranya lembut. Mengingatkanku pada Okaasan.
Aku menggeleng pelan.
“Ayolah. Bebanmu akan terasa lebih
ringan jika kamu membagi dan menceritakannya dengan orang lain.”
“Sensei...” ucapku pelan.
Napasku pendek-pendek. Sesak. “Tolong bunuh aku.”
“Hah? Kau bicara apa Suke?! Jangan
bicara sembarangan!”
“Aku tidak mau merepotkan Ryo lagi.”
Aku mulai terisak lagi. “Aku rasa Ryo sangat kerepotan mempunyai saudara kembar
sepertiku. Aku sama sekali tidak membantu apa-apa dalam hidupnya. Justru aku
hanya merepotkan dan menyusahkan Ryo.”
“Suke...”
“Jika aku tidak ada, Ryo tidak perlu
berkelahi lagi. Aku benci melihat dia berkelahi setiap kali ingin menolongku
dari gangguan orang-orang jahat itu. Sedangkan aku terlalu lemah untuk sekedar
membantunya memukul orang yang sudah menggangguku. Aku tidak berguna, Bu.”
“Suke,” Bu Aibara menarikku ke
pelukannya. Oh Tuhan, kapan terakhir kali ada yang memelukku seperti ini? Aku
rindu Okaasan. “Ryo sangat menyayangimu lebih dari apapun.”
“Aku tahu, jika tidak dia tidak mungkin
berkelahi dan rela melukai dirinya untuk menolongku.”
“Ya, benar sekali.” Bu Aibara mengelus
rambutku. “Lalu kenapa kamu ingin mati? Bukankah itu akan menyakiti Ryo
nantinya?”
“Hiks...” aku hanya terisak dan tak
bisa berkata lagi.
“Ryo adalah kakakmu. Bagaimanapun dia
pasti merasa bertanggung jawab untuk melindungimu. Apapun yang akan terjadi
padanya, yang dia tahu hanyalah melindungimu. Melindungi dari orang jahat yang
membahayakanmu.”
“Okaasan...” entah kenapa
tiba-tiba kulihat seraut wajah Ibu berkelebat di wajah Bu Aibara.
“Kemana Okaasan pergi, Bu?
Kenapa Okaasan pergi? Aku rindu Okaasan...”
Bu Aibara dengan tenang mengelus
pundakku. “Sabarlah, Ibumu sudah tenang di sisi Tuhan. Jangan kamu sesali lagi.
Itu hanya akan membuatnya bersedih di alam sana. Dan lagi di dunia ini kamu
masih punya orang yang peduli dan menyayangimu, Suke. Jangan putus asa. Ibu
yakin kamu pasti bisa.”
“Aku ingin sekuat Ryo. Aku ingin bisa
melindungi Ryo.”
“Kamu bisa, Suke. Kamu bisa.” Bu Aibara
masih melengkungkan segaris senyum di wajahnya. Aku menangis dan tenggelam di
pelukannya yang hangat seperti Okaasan.
***
“Ada apa
dengan kalian berdua?” tanya Bu Aibara.
“Apa,
apanya?” aku balik bertanya.
“Suke dan
kamu sedang ada masalah?”
“Sedang ada
masalah?” aku tersenyum kecut. “Heh... Suke memang selalu membuat
masalah,” ujarku sinis.
Bu Aibara menghampiriku.
Aku mengangkat wajah untuk melihatnya. Dia tersenyum. Sial! Senyum itu seperti Okaasan.
Aku kembali menundukkan pandanganku. Tubuhku bergetar menahan segala emosi yang
terus mendorong-dorong ingin ditumpahkan. Gigiku bergemeletuk. Aku mengepalkan kedua
tangan di pahaku. Sedetik kemudian akhirnya air mataku pecah.
“Hiks...” aku mulai terisak. Bahuku
naik turun menahan tetesan air mata berikutnya. Aku tidak mau menangis. Dan aku
tidak harus menangis. Apa dayaku, tangisanku semakin kencang. Bu Aibara memegang
pundakku dan menenangkanku.
“Ini semua tidak adil!”
“Apa maksudmu, Ryo?”
“Tuhan tidak adil.” Aku mengelap sudut
mataku. “Dia sudah mengambil ibuku, meninggalkan aku dan Suke. Yang lebih
membebaniku adalah perkataan Okaasan sebelum dia pergi.” Aku berusaha
mengatur napas. “Jagalah Suke, adikmu. Sebagai kakak kau harus kuat. Apa
maksudnya itu?!” Napasku tersengal. “Kenapa harus aku yang menjaga Suke dan
melindunginya dari orang-orang jahat.”
“Itu karena Ibumu percaya bahwa kau
kuat, Ryo.”
“Kuat? Heh, kuat.” Aku tersenyum
sinis. “Ibu tidak tahu kalau aku sebenarnya bisa saja menjadi lebih lemah
daripada Suke. Aku sebenarnya tidak sekuat itu. Aku hanya pura-pura kuat selama
ini. Untuk memenuhi janjiku pada Okaasan.”
“Janji?”
“Janjiku pada Okaasan untuk
melindungi Suke. Aku tidak tahan lagi... Aku tidak tahan lagi.... Hiks Hiks...”
aku membenamkan wajahku di meja Bu Aibara. Bu Aibara memegang pundakku lagi.
“Apa yang membuatmu tidak tahan.”
“Aku bosan berpura-pura kuat. Aku bosan
berpura-pura tidak sakit. Sebenarnya aku tidak ingin berkelahi. Aku tidak tahan
melihat orang berkelahi. Apalagi membunuh. Hiks... Hanya saja... aku
tidak mungkin membiarkan Suke terus disakiti seperti itu. Aku akan menyakiti Okaasan
jika aku membiarkan orang-orang itu mengganggu Suke. Jadi aku harus
melindunginya walaupun aku sendiri takut.”
Hening. Hanya suara isakan tangisku
yang terdengar di ruangan ini. Bergema di setiap sudutnya. Menggaung dalam
telingaku. Aku benci! Kenapa aku selemah ini?!
“Suke menyayangimu lebih dari apapun,
Ryo. Lebih dari apapun. Jika Ibu jadi Suke, Ibu pasti ingin menjadi dirimu yang
kuat dan melindungi saudaranya.”
“Sudah kubilang aku hanya pura-pura
kuat!” bentakku.
Bu Aibara hanya tersenyum. “Itulah
kenapa kau disebut kuat, Nak. Walaupun hanya berpura-pura. Tapi berpura-pura
kuat itu tidak mudah. Itulah kekuatanmu, Ryo.”
Aku tertegun menatap mata Bu Aibara. Di
dalamnya ada Okaasan tersenyum padaku. Bibirku bergetar dan air mataku
semakin deras.
***
Saat itu, Ryo dan Suke menangis
bersama. Menyesali takdir bersama. Sama-sama tak menerima dirinya yang seperti
itu. Andai mereka tahu bahwa kasih sayang mereka satu sama lain lebih kuat dari
apapun. Hanya perlu menyingkirkan keegoisan yang bersarang dalam hati
masing-masing.
“Kalian pasti kuat. Ibumu percaya
kalian bisa melewati hidup yang keras ini. Tetaplah saling melindungi. Tetaplah
saling menyayangi. Tuhan tidak pernah pergi dari kalian. Percayalah pada-Nya.”
Pesan Bu Aibara hari itu pada Ryo dan Suke. Cukup menghangatkan. Menenangkan.
***
To be continued~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d