To make easy, Click the categories that you want to see^^

Jumat, 11 Mei 2012

[ShortStory] Unconditional Love~ {Indonesian Version}


“Terasa tersisih sendiri di pinggir sana, kau tiada lagi di sampingku, berbicara menyalakan api... Tika kau di sampingku tuturmu kuanggap bisu... Tingkahmu untukku sumbang bagi diriku... Harapanmu padaku tidak ku indahkan...” (Saujana – Sendiri)
Namaku Hani. Lengkapnya Siti Hanifah. Tapi aku tidak suka nama itu. Kampungan. Entah kenapa Bapakku sangat kuper dan tak memberiku nama yang lebih keren semacam Nadine, Elena, atau Karin. Untung saja aku masih bisa menyingkatnya agar terdengar lebih gaya. Kesalahan pertama Bapakku, memberiku nama yang salah.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, aku minta disekolahkan di salah satu SMP favorit di Bandung. Meski awalnya Bapak sempat tak menyetujui karena alasan biaya, sebagai seorang penjual gorengan Bapak tak yakin mampu membiayaiku sekolah di sana, tapi akhirnya Bapak mengabulkan.
“Fah, sudah Isya. Ayo shalat. Bapak tunggu. Cepat ambil wudlu,” suara berat itu membuyarkanku dari lamunan. Aku hanya menjawabnya malas-malasan sambil sekilas melirik Bapak yang jalannya terpincang-pincang. Dengan hati-hati dia menggelar sajadah di ruang tengah. Satu untukknya, dan satu untukku. Ia kembali menoleh ke arahku. “Ayo, Nak. Ambil wudlu,” dia tersenyum.
“Iya, iya. Bawel banget sih,” aku beranjak sambil menggerutu. Selesai shalat aku langsung melepas mukena dan membiarkannya berantakan di atas sajadah sementara Bapak masih melantunkan dzikir dan doanya, tapi aku malas dan memilih untuk masuk ke kamarku untuk tidur. Baru saja aku bermimpi, Bapak sudah mengetuk lagi pintu kamarku. Arrgh... ganggu orang tidur aja, kesalku. Bapak memang biasa membangunkanku setiap pukul tiga dini hari untuk tahajud. Kadang-kadang aku menurutinya juga meski shalat dalam keadaan terkantuk-kantuk dan terus-terusan menguap. Aku pernah bertanya, kenapa kita harus shalat juga di malam hari, padahal di siang hari juga kita sudah shalat. Malam itu kan waktunya untuk tidur. Bapak menjawabnya dengan tenang, kalau ingin dikabulkan permintaannya, kata Allah, mintalah ketika orang lain tengah tertidur lelap. Kali ini aku malas. Bapak pun tahajud seorang diri.
Pagi tiba. Aku melihat sudah ada sepiring nasi goreng di atas meja. Bapak mengajakku sarapan tapi aku tak menggubris. Aku mau berangkat saja. “Mau langsung berangkat, Nak? Ini bawa bekalnya biar kamu bisa makan di sekolah,” Bapak menyodorkan kotak makanan padaku. Aku mengambilnya dan segera berlalu. “Fah, jilbabnya gak dipake?” Bapak mengulurkan jilbab putih yang biasa aku pakai ke sekolah. Aku mendengus dan merebut jilbab itu. Tanpa salam, aku membalik badan dan segera berlalu.
Di sekolah, guruku menugaskan untuk membuat karangan tentang orang yang ingin sekali kutemui. Aku tidak tertarik. Sebenarnya aku ingin menulis tentang Ibuku karena aku tidak pernah bertemu dengannya. Ia meninggal saat melahirkanku. Tapi, aku mengurungkan niat dan lebih memilih untuk menulis satu kalimat saja: “Aku tidak sedang ingin bertemu dengan siapapun!”.
Sebenarnya, aku benci dengan semua ini. Aku pikir dengan masuk ke SMP favorit ini akan mengubah kehidupanku. Di SD dulu aku sering diejek teman-teman karena Bapakku buta dan pincang. Tak ada yang mau berteman denganku karena itu. Kesalahan kedua yang dibuat Bapakku, ia cacat.
Aku sering bertanya kenapa hidup ini tidak adil. Kenapa Tuhan tidak memberiku kehidupan dan orangtua yang lebih baik. Andai aku bisa menawar takdir, aku ingin memilih untuk lahir dari keluarga kaya yang sempurna dan hidup senang daripada harus tinggal di rumah kecil bersama seorang Bapak yang berjalan saja tidak lancar. Ditambah lagi mata kanannya buta. Kenapa makhluk menyeramkan seperti ini menjadi Bapakku. Ia membuatku tidak punya teman. Ia membuatku kehilangan dunia mudaku. Aku benci semua ini. Dunia ini, dan Tuhan, tidak adil padaku!
Hari itu saat istirahat sekolah, teman-teman kembali mengejekku. Bahkan mereka berteriak-teriak menghinaku. Aku tidak tahan. Aku menangis dan berlari pulang.
Brak! Aku membanting pintu, mengagetkan Bapak yang sedang membuat gorengan di dapur. Ia segera menghampiriku. “Hanifah.. Kamu baik-baik saja, Nak?” Aku tak menyahut. Aku berteriak, menangis dan membanting apa saja yang ada di hadapanku. Bapak semakin cemas. Ia terus mengetuk pintu. “Ada apa, Nak? Buka pintunya,” aku membuka pintu. “Bapak denger! Semua ini gara-gara Bapak! Bapak cacat! Bapak pincang! Bapak buta! Aku gak punya temen. Bapak bikin orang-orang ngejek aku! Bapak malu-maluin aku! Bapak gak berguna! Aku benci Bapak!!”
Brak! Aku membanting pintu lagi. Tepat di depan wajah Bapak. Bapak hanya tertegun mendengar aku membentaknya. Bukan, bukan hanya membentak, tapi aku menghinanya. Ia tak berkata apa-apa. Bapak membalikkan badan, dan tertatih menuju kursi. Sambil terduduk lemas, dan masih mengarahkan pandangan ke pintu kamarku, Bapak berbisik “Maafkan Bapak, Nak. Bapak gak seperti bapak teman-teman kamu. Maafkan Bapak...” air mata menetes membasahi garis-garis wajahnya yang tegas. Aku masih menangis di kamar. Dalam tangis, tak sadar aku bergumam, lebih baik aku hidup tanpa bapak daripada punya bapak yang selalu dihina. Malam itu aku masih tak bisa tenang. Aku ingin pergi. Lalu kuputuskan untuk ke luar. Aku mengambil jaket dan segera pergi. Bapak bertanya aku akan pergi kemana malam-malam seperti ini tapi aku tak menjawab bahkan tak menolehnya sama sekali.
Aku berhenti di satu jembatan. Di situ sepi, hanya sesekali ada orang atau sepeda motor yang lewat. Lampu penerang yang kecil tak membuat tempat ini tak terlihat samar. Menyeramkan memang, tapi kurasa tempat ini cukup sepi untuk menenangkan hatiku. Aku mendekapkan tangan di bibir jembatan. Mengamati pantulan cahaya bulan di permukaan air. Sesekali suara binatang malam terdengar. Angin malam membelai dan mengibas-ngibaskan rambutku. Di situ aku meratapi hidup. Tak tepat memang. Mungkin sebaiknya aku pergi ke masjid atau mushola dan menenangkan diri dengan berdzikir, mengaji atau mendirikan shalat. Tapi aku memang selalu malas melakukan itu.
“Hanifah...” ada yang memanggil. Aku menoleh. Di belakangku ada Pak Marjan, guru agama di sekolahku.
“Ba.. Bapak... Kenapa Bapak ada di sini?” jawabku gelagapan. Ia tersenyum dan mendekat.
“Habis mengisi acara pengajian di Masjid Al-Hidayah. Kamu sendiri kenapa ada di sini? Gak baik anak perempuan keluar sendiri malam-malam. Bapak kamu nanti khawatir,”
“Eh, itu... Saya lagi cari udara segar, Pak. Di rumah lagi mumet.”
“Masalah bapakmu?”
“Eh?” aku menoleh. Kenapa Pak Marjan seperti mengetahui apa yang aku pikirkan. Ia melanjutkan kata-katanya. “Terkadang, manusia memang makhluk yang sombong. Ketika dalam kesulitan manusia tidak pernah meminta bantuan Allah. Alih-alih minta bantuan, kita malah menyalahkan Allah atas semua kemalangan yang menimpa diri kita. Begitu pula ketika senang, kita semakin melupakan keberadaan Allah. Padahal, semua yang direncanakan Allah, yang telah ditentukan Allah, dan dikehendaki Allah, semuanya adalah baik di mata Allah. Semuanya hanya tergantung sudut pandang kita. Jika kita memandangnya dari sudut pandang negatif, sesuatu yang indah pun akan terasa menyesakkan.” Aku tertegun mendengar penjelasan Pak Marjan.
“Ujian dan cobaan adalah bagian dari hidup manusia. Semua itu diciptakan untuk menguji sejauh mana keimanan kita. Sabar.. dan Syukur... Hanya itu intinya. Bersyukurlah kau masih memiliki bapak sementara yang lain yatim piatu. Bersabarlah, apapun kondisi bapakmu, ia adalah ayah yang dipercaya Allah untuk menjagamu.” Pak Marjan tersenyum ke arahku. Teduh. Dan hangat. Membuat angin yang dingin berhembus tak terasa lagi menusuk kulit. “Sudah, pulang sana. Kasihan bapakmu pasti khawatir.”
Aku menurut dan segera kembali ke rumah. Aku melihat pintu rumah terbuka. Bapak sedang duduk di depan pintu. Melihatku datang, Bapak segera berdiri dan menghampiriku. “Hanifah, dari mana saja kamu, Nak. Bapak tadi cari kamu tapi gak ketemu.” Wajahnya jelas sekali menampakkan kecemasan yang begitu mendalam. Aku memandangi wajah Bapak dengan ekspresi datar. “Gak kemana-mana kok. Udah malem, Bapak masuk ke rumah, nanti masuk angin.” Pertama kalinya aku mengucapkan kalimat yang menunjukkan perhatian pada Bapak. Semalaman aku merenungkan apa yang tadi Pak Marjan katakan padaku. Apa aku memang durhaka pada Tuhan?
Sudah Shubuh. Aku mendengar lantunan ayat-ayat suci itu mengalun merdu lagi dari kamar Bapak. Bapak memang biasa membaca surat cinta Tuhannya itu setiap sebelum shalat Shubuh. Hal yang jarang, bahkan tak pernah aku lakukan lagi sejak aku menginjak bangku SMP. Tak seperti biasa, Shubuh itu aku bangun tanpa harus dikomando bapak. Aku mengambil wudlu dan segera menggelar sajadah. Bapak melihatku dan tersenyum. Ia kembali tertatih menuju ruang tengah. Aku segera memapahnya. Bapak seperti tak merasa aneh melihatku melakukan hal yang tak pernah kulakukan. Mungkin dalam hati ia merasa bersyukur karena doanya telah didengar Tuhan.
Allahu Akbar..” Bapak bertakbir mengawali shalat Shubuh berjamaah pertama yang kuikuti dengan khidmat dan khusyuk. Bapak melantunkan Al-Fatihah dan surat cinta kesukaannya, Asy-Syams. Rakaat kedua aku tak kuasa meneteskan air mata. Aku tak pernah merasakan seperti ini sebelumnya. Bibirku gemetar ketika mengucap “Amien..” di ujung Al-Fatihah di rakaat kedua. Sesudah salam, aku segera menghapus air mataku. Aku mencium tangan Bapak. Hangat. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Bapak mengelus kepalaku, lembut. Lalu ia melantunkan dzikir dan kemudian berdoa diiringi “Amien” yang kuucapkan.
Selesai shalat, seperti biasa Bapak menuju ke dapur menyiapkan dagangannya. Membuat adonan, memotong sayuran dan sebagainya. Sebenarnya aku ingin membantu, karena ini hari Minggu dan aku tak perlu siap-siap ke sekolah. Tapi apa yang harus kulakukan? Aku hanya berdiri mematung di depan pintu dapur. “Mau bantu Bapak? Ini, iris wortelnya, ya!” Aku membuka mulut hendak mengatakan iya, tapi tak bersuara. Aku meraih pisau dan talenan-nya lalu segera mengiris wortel. Tentu saja, aku tidak melakukannya dengan benar. Kapan aku pernah membantu Bapak dan belajar mengiris wortel. Tidak pernah. Aku meringis, tapi Bapak hanya tersenyum melihatku. “Tidak apa-apa, lanjutkan saja...” katanya. Aku teringat, dulu jika Bapak memintaku membantunya, aku malah ngeloyor pergi, atau malah menumpahkan adonan yang sudah Bapak buat. Pukul enam pagi. Sudah saatnya Bapak pergi menjajakan dagangannya. Ia mengambil dudukuy (topi kain) lusuh yang biasa ia pakai ketika berjualan. “Assalamualaikum..”
Waalaikumsalam...” Jawabku. Aku mengambil sapu dan segera membersihkan rumah.
Pukul sepuluh pagi. Mungkin teman-teman yang lain sedang menonton acara TV kesayangannya di hari Minggu pagi begini. Tapi di rumah ini tidak ada TV. Bapak mungkin belum sanggup membelinya.
Neng Ifah.... Neng Ifah....” ada yang memanggilku dari luar. Aku cepat menghampiri.
“Bi Sumi... Ada apa Bi? Kenapa teriak-teriak begitu?”
“Itu, Neng.. Bapak... Bapak Neng Ifah...” Bi Sumi bicara dengan nafas ngos-ngosan.
“Kenapa Bapak, Bi??” aku mulai khawatir.
“Kata Mang Didi, tadi dia lihat Bapak ketabrak mobil, Neng. Sekarang dibawa ke Puskesmas.” Aku kaget seperti tersengat listrik seribu volt dan hanya bisa melongo.
“Di.. Dimana Bapak, Bi? Hani mau kesana...” aku berusaha tak panik.
“Kata Mang Didi tadi dibawa ke Puskesmas deket pasar, Neng. Ayo, kesana diantar sama Mang Didi.”
Aku segera mengunci pintu dan mengikuti Bi Sumi. Tak lama Mang Didi, suami Bi Sumi, datang dengan motornya. “Ayo, Neng. Mang anter ke Rumah Sakitnya.”
“Lho, katanya dibawa ke Puskesmas?” di saat yang genting itu aku malah bertanya hal yang sebenarnya tak usah ditanyakan juga.
“Kata dokter di Puskesmas mending dibawa ke rumah sakit aja.” Mang Didi menyodorkan helm ke arahku. Aku segera memakainya dan naik di jok belakang. Sepanjang jalan jantungku terus berdegup kencang. Hatiku ketar-ketir. Semoga Bapak tidak apa-apa, batinku.
Kami tiba di Rumah Sakit dan segera menuju UGD. Mang Didi mencegat satu suster yang sedang berjalan terburu-buru, menanyakan Bapak ditempatkan di ruang mana. Suster itu menunjuk ke sudut ruangan. Ranjang yang berbalut kain putih, didorong oleh beberapa orang ke ruangan lain. Aku dan Mang Didi mengikutinya. Aku kaget dan terhenti. Mereka berhenti dan masuk ke ruangan bertuliskan “KAMAR MAYAT”. Hatiku seperti disambar petir. Aku berlari ke arah perawat-perawat itu.
“Suster... Apa ini Bapak saya?”
“Kami tidak tahu.” Jawabnya.
“Boleh saya lihat, Sus?” suster itu mengangguk dan membuka kain putih yang menutupi badan yang terbaring kaku itu. Petir itu menyambar lagi. Itu Bapak! “Bapaaaakkk.....” Aku tertunduk dan berlutut. Aku menggoyangkan tubuh berlumur darah itu. Aku menjerit. Tak kuasa melihat wajahnya yang penuh dengan darah. Menurut kabar, Bapak memang sudah tiada saat perjalanan ke Rumah Sakit karena kehilangan banyak darah.
“Nasihatmu madu penyembuh luka, pabila bersamamu hilang dukaku... Lewat kusedari nilai cintamu, pabila kau tiada lagi disisiku... Belaianmu kini masih terasa, restu darimu membawaku ke syurga...” (Saujana – Sendiri)
Pemakaman sudah selesai. Pengantar jenazah sudah kembali ke rumah masing-masing. Bi Sumi memegang pundakku. “Yang sabar ya, Neng.” Ia pun mengikuti yang lain meninggalkan pemakaman. Aku terpaku memandang dua gundukan tanah di depanku. Makam Bapak, di samping makam Ibu.
Kali ini sangat kurasakan. Ketika melihat dua nama itu tertulis di atas nisan, aku merasakan betapa aku merindukan mereka. Terutama Bapak, setelah belakangan aku ketahui, Bapak mendapatkan mata buta dan kaki pincangnya itu karena tertabrak mobil ketika hendak menyelamatkan Hanifah kecil yang berlari-lari di tengah jalan.
Air mataku mengalir deras.
“Andai dapat ku kembali, mengubah yang terjadi... Pasti takkan kuulangi, walau hanya sekali... Namun hanya do'a yang bisa ku kirimkan... Ku kan mencuba tempuh hidup sendiri... Kerna kita kan, kerna kita kan akhirnya sendiri...” (Saujana – Sendiri)
-Selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...