To make easy, Click the categories that you want to see^^

Jumat, 02 November 2012

[Short Story] When the Memories must not be Remembered...

Prolog: Semua ini bermula dari tugas analisis lagu dari dosen saya tercinta. ^^ Awalnya saya menganggap lagu itu tidak easy listening, dan hanya mendengarkan demi tuntutan tugas. Tapiiii... setelah membahasnya bersama-sama di kelas. Feel dari lagu itu tuuhh dapeett bangetttt... (Ciyuss.. mi apa? :D) .. Dan jadilah saya terinspirasi untuk membuat sebuah cerita dari lagu (seperti biasa). Ssstt.. ini cerpen ketiga saya yang latarnya bukan di Jepang :D *gak penting* . Rating untuk cerita pendek ini adalah PG-17 (Parental Guide - 17 tahun ke atas). Haha~ Bukan apa-apa, tapi di dalamnya banyak adegan yang belum pantas dibaca anak di bawah umur. Sssttt~ jangan mikir macam2 dulu, mendingan baca dulu aja, ya ^_^ . Satu lagi, adegan dan dialog dalam cerita tidak untuk ditiru dalam dunia nyata!! Just take the lesson from it . Oya, dont forget to put your comment after you read it. Thank you~ Happy reading^^
 
"When the Memories must not be Remembered..."

By. Zakiyah Faqoth
A story inspired by ‘Love for A Child (Jason Mraz)’

Aku berdiri mematung di depan sebuah rumah tua yang hampir roboh. Catnya terkelupas dimana-mana, tembok lembab berjamur, kaca jendela usang, dan tiang-tiang kayu yang sudah digerogoti rayap. Aku yakin jika malam hari rumah ini tampak seperti rumah hantu yang angker. Tidak ada lampu tentu saja, dan banyak kelelawar atau burung malam yang beterbangan keluar masuk rumah. Keadaannya sungguh mengkhawatirkan.
Hatiku miris. Melihat kembali rumah itu membuat otakku memanggil semua memori yang dulu pernah aku lewati dengannya. Ya, itu adalah rumah yang selama delapan belas tahun aku tinggali dengan ayah dan ibuku. Sebelum aku memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya. Semua kenangan buruk yang aku alami di sana.
***
Malam itu aku duduk manis di ruang makan. Di hadapanku sudah ada mie rebus yang aku masak sendiri. Airnya kebanyakan. Bumbunya tidak terasa, dan mie-nya lembek karena aku memasaknya terlalu lama. Aku memegangi ibu jariku yang perih terkena panci panas sewaktu memasak tadi. Aku meringis sambil menahan air mataku agar tidak tumpah. Malam itu, aku sendirian lagi. Memang setiap hari, setiap malam. Aku sendirian. Dan terpaksa malam ini lagi-lagi aku makan mie instan. Anak berumur lima tahun macam aku mana bisa memasak. Sudah bisa membuat mie instan yang airnya kebanyakan saja sudah untung.
Aku melirik jam dinding. Pukul sembilan malam. Seperti biasa Mom dan Dad belum pulang. Tiba-tiba aku mendengar bunyi menggelikan dari perutku diiringi gerakan melilit yang membuat tanganku refleks memegangi perut. Satu organ tubuh yang sudah sejak pagi kuabaikan itu meronta meminta haknya untuk kuperhatikan. Baik... baik... Tenang... Aku segera memasukkan sesendok mie instan yang sudah agak dingin itu ke mulut, dan dengan lancarnya makanan itu meluncur ke lambungku. Ugh... rasanya hambar. Tapi mau bagaimana lagi. Memang ini yang biasanya aku makan setiap hari. Kasihan perutku. Atau lebih tepatnya, kasihan aku.

Selesai makan, aku segera mencuci mangkuk bekas aku makan. Susah payah aku naik ke kursi agar aku dapat mencapai keran di tempat cuci piring. Aku mengusapkan sabun dengan belepotan dan air yang terciprat ke lantai dapur. Aku mendengar suara mobil terparkir di halaman. Itu pasti Mom dan Dad. Secepat mungkin aku berlari ke pintu dan hendak membukakannya untuk mereka. Tapi belum sampai tanganku meraih knop pintu, pintu sudah terbuka dengan kasar. Membuatku hampir terjatuh karena terdorong dengan tiba-tiba.
Oh, tidak. Sepertinya mereka sedang bertengkar lagi. Dad yang menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kasar, Mom yang balas membentak kata-kata Dad. Lalu Dad melayangkan tamparan di pipi Mom. Mom menangis, dan Dad menendangnya. Mereka saling berteriak dan membentak. Tak memberiku ruang untuk sekedar berkata ‘Selamat datang Mom, Dad. Pasti capek, ya? Sini Erick simpankan tasnya. Mom dan Dad duduk saja. Erick bawakan minum, ya?’. Tidak ada. Yang bisa dan biasa aku lakukan hanya mengintip mereka dari balik pintu. Pernah aku memberanikan diri mendekati Mom yang sedang menangis dan menanyakan apakah ia baik-baik saja, tapi yang aku dapat adalah ‘Shut UP!! (DIAM!!) Kau anak kecil tidak tahu apa-apa!’. Ah, ya. Mom benar. Aku memang tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu hanyalah, orangtuaku adalah orang yang setiap hari saling membentak dan memukul.
***
                BRAK!!
            Aku membuka pintu dengan kasar. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Aku mencapit rokok di mulutku dengan telunjuk dan jari tengah – perlahan melepaskannya dari mulut dan menyembulkan asap yang berbentuk bulat-bulat. Kulirik teman-teman yang sudah berbaris di belakangku dan memberi mereka isyarat untuk masuk. Malam itu kami berpesta di rumahku karena aku tahu Mom dan Dad tidak akan pulang malam ini. Kemana mereka pergi aku tidak peduli!
            Kami merasa bebas dengan menyetel musik keras-keras, saling menuangkan alkohol dan berlomba menenggaknya. Entah sudah berapa bungkus rokok yang kami habiskan malam itu. Beberapa bungkus heroin dan beberapa suntikan di lengan. Tentu saja, kami tutup malam menjelang pagi itu dengan tidur bersama teman wanita kami. Siapa yang peduli dengan keadaanku yang seperti ini? Tidak ada!
            Aku tidak lulus SD, dan berhenti sampai disitu. Aku tidak pernah mempunyai hasrat untuk merasakan bangku sekolah lagi. Untuk apa? Lihat Mom yang pendidikannya tinggi, hanya bisa menangis sambil membentak. Dad yang katanya keluaran sekolah menengah jurusan ternama juga hanya bisa memukul. Lalu apa bedanya dengan aku yang tidak sekolah? Lagipula merekapun tidak pernah peduli sampai mana prestasiku di sekolah. Jadi untuk apa aku membuang waktuku untuk hal mengerikan macam itu. Mengerjakan PR, membaca buku, bangun pagi-pagi dan berangkat sekolah. Cih! Otakku sudah cukup buntu untuk memikirkan apa yang salah dengan keluargaku. Tidak usah aku menambahnya dengan memikirkan hitungan-hitungan atau tulisan-tulisan di buku tebal itu.
***
“ERICK!!!” sebuah bentakan menghentak gendang telingaku. Mataku terbuka perlahan. Aku memicingkan mata karena sinar matahari dari balik tirai menyilaukan mataku. Sepertinya dua makhluk yang kerjanya bertengkar itu sudah kembali. Mereka mendapatiku tidur dengan Bella masih di dekapanku.
“BANGUN!!” Dad menendang pantatku. “Apa-apaan kau ini!?”
Aku bangun dengan malas-malasan. Badanku masih lemas karena efek alkohol yang kuminum semalam. Bella ikut mengangkat kepalanya dan beringsut duduk.
“Kau mengacaukan rumahku!” Bentak Dad. Di sampingnya Mom menyilangkan tangan di depan dadanya. Matanya menatapku tajam seperti seekor harimau yang tidak sabar menerkam mangsanya hidup-hidup.
You are useless! (Kau tidak berguna!)” komentar Mom.
Aku tersenyum sinis, “Hey! Sejak kapan kalian kompak?!”
“Apa kau tidak bisa jika tidak mengacau?” Dad bergantian dengan Mom menceramahiku. Aku melirik Bella yang sedang membenarkan bajunya – sepertinya ia takut pada orangtuaku dan berniat kabur. Aku mendekati Mom dan Dad. Menatap mereka dari jarak sangat dekat.
LOOK AT YOURSELF!! (LIHAT DIRIMU!!!)” aku berteriak. Mereka menutup hidung tak kuat dengan bau alkohol yang menyebar dari mulutku. “WHO IS TROUBLEMAKER? (SIAPA YANG KALIAN BILANG PENGACAU???!!!) SIAPA YANG LEBIH DULU MENGACAUKAN RUMAH INI, HAH???!!” Aku memandangi mereka satu-satu dengan tatapan tajam.
“KAU!” aku menunjuk dada Dad. “Apa yang sudah kau ajarkan padaku selama ini?” aku mendorong tubuh Dad kasar, tapi tubuh besarnya dapat menahannya tidak jatuh. “Cara membentak... Cara Memukul... Cara melempar gelas dan piring... Itu yang selama ini aku lihat darimu... Yang aku pelajari darimu...” aku berganti menatap Mom, “kau juga! Selama ini apa kau pernah memasak untukku? Membuatkan bekal untuk kubawa ke sekolah, atau mengantar jemputku dari sekolah? Selama ini kalian hanya sibuk dengan urusan kalian!! Kalian tidak menyadari keberadaanku. Hanya sibuk bertengkar dan bertengkar!! Dan sekarang aku seperti ini.... You just blame on me?!! (Kalian menyalahkan aku...?!!)”
PLAK!
Satu tamparan di pipi kananku berhasil menghentikan ucapanku. Ternyata Dad masih saja mempunyai kekuatan untuk memukul seseorang. “Heh...” aku tertawa sinis, “dasar picik!” aku menyambar jaket kulitku dan segera pergi meninggalkan rumah itu berserta kedua orang aneh dan menyeramkan yang pernah kutemui sepanjang hidupku.
***
“Aaaaarrrrggghhhhh.........!!!!!!!!” kuteriakkan segala rasa kesal yang menumpuk di dalam dadaku. “Shit! (Sial!)”
DAK!
Tinjuku mendarat di dinding. Aku mengacak-acak rambutku. Tak mengerti sudah seberapa kacau pikiranku saat itu. Apa maksudnya Tuhan mengirimkan aku ke dunia ini? Hanya untuk melihatku tersiksa dengan orangtua macam mereka? Ingin rasanya aku mengalami kecelakaan dan menghilangkan semua pikiranku tentang kedua orang itu. “Arrggghh...!!!! Arrgghh...!!!” aku membentur-benturkan kepalaku ke dinding. Air mataku mengalir. Hidup ini kejam!
Tuutt... Tuutt...
Kereta barangnya sudah datang. Secepat kilat aku menyusup ke gerbong dan bersembunyi di balik peti-peti. Aku ingin pergi dari kota ini. Kemana saja, asal jauh dari kedua orangtuaku.
***
Entah tempat apa ini namanya. Tapi sepertinya masih di Cincinnati. Aku menyusuri lorong di antara pertokoan. Sial! Aku lapar. Kulihat pedagang roti di pinggir jalan. Kurogoh sakuku satu per satu, tapi tak kudapatkan uang sepeserpun.  Hah! Lalu bagaimana aku mendapatkan roti itu?
“Pak, berapa harganya?”
“1 dolar,” jawab pria tua itu singkat. Bibirnya mengembangkan senyuman. Ah, maaf pak tua, senyumanmu itu harus kuganggu sebentar.
“Aku ambil satu, ya.” Kataku seraya mengambil satu bungkus roti.
Yes, please (Ya, silahkan),” balasnya sopan.
Kami bertatapan selama beberapa detik. Dia masih memasang wajah innocent-nya sebelum aku secepat kilat berlari menjauh dari hadapannya.
Hey!! He stole my bread!! (Hey! Dia mencuri rotiku!)” teriak pria tua itu. Beberapa orang mengejarku tapi aku berhasil bersembunyi.
“Ha.. ha..” aku tertawa puas. Dengan rakusnya aku makan roti itu. “Tadi kan aku bilang aku ambil satu, bukan beli satu.. Hahaa.. Stupid (Bodoh)”
***
Begitulah kujalani hari-hariku saat ini. Mencuri di sana-sini untuk memenuhi kebutuhan perutku. Tidur di gang-gang sempit yang gelap. Aku tidak tahu apakah kehidupanku yang sekarang ini lebih baik atau sama saja seperti ketika aku di rumah. Yang jelas aku senang, tidak ada orang yang aku panggil Mom dan Dad di sini.
Suatu malam aku berjalan di lorong pertokoan. Tiba-tiba kurasakan tubuhku melemas, jatuh dan menggigil. Gigiku bergemeletuk. Aku memeluk tubuhku sendiri. Dingin.... Semua persendianku terasa ngilu. Kuraba kantong baju dan celanaku. Mencari sesuatu yang bisa meringankan keadaanku. Tidak ada. “Aaaahhhh.... Aku butuh obat-obat itu...”. Aku berteriak-teriak sendiri sampai akhirnya kesadaranku perlahan menghilang.
 ***
Tiit.. Tiitt.. Tiitt...
Itu suara yang pertama kali kudengar ketika aku berhasil membuka mataku kembali. Seperti suara mesin. Pandanganku samar, namun perlahan semakin jelas. Ruangan serba putih dan bau obat antiseptik yang menyengat. Aku rasa aku bisa menebak dimana aku sekarang.
“Sudah siuman, ya?” seorang suster berambut pirang dengan wajahnya yang pucat menghampiriku sambil membawa catatan di tangannya. Dia memegang pergelangan tanganku kemudian menuliskan sesuatu di catatannya. “Sorry (Maaf),” katanya ketika ia menyorotkan senter ke mataku. Setelah itu dia memeriksa botol infus yang tergantung dekat tempat tidurku.
“Eh... Wait (tunggu),” kataku. “Who’s bring me here? (Siapa yang membawaku kesini?)”
Me (aku),” jawabnya singkat.
“Kenapa? Kenapa kau tidak membiarkan aku mati di jalan? Kenapa kau menyelamatkan aku?”
“Aku tidak punya kewajiban untuk mengabaikan seseorang,” suster itu tersenyum tipis. “Aku harus menolong siapapun yang membutuhkan pertolonganku,” lanjutnya. “Oh, iya. Bisa berikan informasi tentang keluargamu?”
“Ah... Pasti kau ingin menagih administrasi?” tebakku.
No... Don’t worry (Bukan, jangan khawatir).” Ia tersenyum lagi. “Aku hanya ingin memberitahukan keadaanmu pada mereka.”
“Aah... Tidak perlu,”
Why? (Kenapa?),”
“Aku tidak punya keluarga,” jawabku sambil mengubah posisiku – membelakanginya.
“Kau yakin?” tiba-tiba ia sudah berada di hadapanku lagi. “Apa kau punya masalah dengan keluargamu?”
“Sudah kubilang aku tidak punya keluarga!”
“Lalu bagaimana kau bisa ada di dunia ini? Kau pasti punya ibu dan ayah, kan?”
“Ah... Mungkin... Iya.. Mungkin juga, tidak!”
Suster itu malah tersenyum mendengar jawabanku, “It’s okay (Tak apa). Setiap orang punya rahasia dan privasi,” dia beranjak dan menuju pintu. “Aku tinggal dulu. Permisi,”
“Eh, siapa namamu?”
Ia berbalik sebentar dan menatapku, “Lizzy,” jawabnya singkat.
***
Selama tinggal di rumah sakit dan mendapatkan perawatan, Lizzy selalu menemaniku. Ia membantuku meninggalkan ketergantunganku pada obat-obatan terlarang dan alkohol. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus membayar biaya perawatanku. Tapi setiap aku bertanya padanya, ia bilang “Tidak usah dipikirkan”.
Aku dan Lizzy semakin dekat. Usia kami terpaut lumayan jauh. Dia lebih tua lima tahun dari aku. Tapi aku merasa nyaman bersamanya. Aku menceritakan semua yang aku alami ketika aku kecil dan tinggal dengan orang tua yang kerjanya bertengkar setiap hari.
“Diabaikan itu memang menyakitkan.” Katanya suatu hari ketika kami duduk di bangku taman rumah sakit. “Apalagi oleh orangtua sendiri. Kau tahu? Semua orang butuh pengakuan. Itu membuat mereka merasa ada dan merasa dihargai.”
“Aah, kau juga setuju kan, kau menyadarinya... Semua itu memang menyakitkan. Dulu aku masih kecil dan hanya bisa diam saja ketika melihat pecahan-pecahan gelas di lantai. Ketika mereka tak pernah menggubrisku ketika aku bertanya. Ketika mereka tak datang ke acara kenaikan kelasku. Mereka pikir aku tidak tahu apa-apa tentang itu, dan tidak masalah jika mereka bertengkar di hadapanku. Karena aku hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa.”
 “Tapi tidak ada gunanya kau mengomel lagi sekarang, semuanya sudah terjadi.” Lizzy tersenyum.
“Ah, ya. Kau benar. Mungkin sekarang aku hanya bisa melanjutkan hidupku tanpa melihat masa laluku yang kelam. Benar, kan?”
“Tapi jangan melupakan orangtuamu,”
“Eh? Kenapa? Di dunia ini ada juga kan, kenangan yang tidak harus diingat,”
Yes, you are right (Ya, kau benar). You may forget the memories, but not your parent. Without them you will not be exist (Kamu boleh melupakan kenangannya, tapi jangan lupakan orangtuamu. Tanpa mereka kamu tidak akan ada).”
“Ya, kau benar. Bagaimanapun mereka orangtuaku.” Aku tersenyum menatap mata Lizzy yang biru mengkilat. “Oh ya. Kau tahu? Aku masih penasaran tentang satu hal,”
“Umh, what’s that? (Apa itu?)” Lizzy membesarkan matanya – ingin tahu.
“Kenapa Mom dan Dad bisa menikah. Jika mereka menikah berarti mereka saling mencintai, kan? Tapi kenapa setelah itu mereka saling bertengkar? Apa cinta mereka hanya sementara?”
Lagi-lagi Lizzy tersenyum. “Itu sebuah misteri. Aku tidak bisa menjawabnya. Mom dan Dad mu lebih mengetahuinya.”
***
Tanpa terasa aku sudah berdiri terlalu lama di depan rumah itu. Aku menggelengkan kepalaku menepis pikiran masa lalu yang beberapa waktu lalu mampir lagi di otakku.
“Erick?? Apa kau Erick??” sebuah suara parau terdengar memanggilku.
“Mr. Wilson?” aku menghampiri pria itu. Dia tetanggaku. Dulu aku sering main di rumahnya ketika Mom dan Dad tidak pulang.
How are you? It has been so long, (apa kabar? Lama tak bertemu)”
Fine. How about you? (Baik. Tuan?)” aku menyalami pria tua itu.
Always fine (selalu baik),” jawabnya mantap.
“Mr. Wilson, apa kau tahu...”
No, (tidak)” potongnya tanpa menunggu pertanyaanku selesai. “Maria dan Davian pergi setahun setelah kau pergi. Aku tidak tahu mereka kemana,”
Ah, I see (Oh, begitu),” aku kembali memandangi rumah tua itu. Sunyi. Tapi suara pecahan gelas itu sekilas terdengar lagi di telingaku.
“Erick, mampirlah ke rumahku.” Tawar Mr. Wilson.
“Ah, terima kasih. Aku menunggu istri dan anakku. Mereka sedang di toilet umum. Nanti aku ke sana,”
“Ah, haha... Baiklah. Kalau begitu aku duluan. Senang melihatmu baik-baik saja,” Mr. Wilson tersenyum hangat. Senyuman itu bahkan tak pernah aku dapatkan dari Dad.
“Ya. Hati-hati, Mr. Wilson.”
Daddy... Daddy...” seorang anak laki-laki berumur empat tahun dengan suara cadelnya memanggilku. Ia menarik-narik ujung kemejaku.
“Iya, sayang. Ada apa?” aku berjongkok menyamakan tinggiku dengannya.
Can we buy ice cream? (Bolehkah beli es krim?)” katanya dengan senyumnya yang lebar. Giginya yang ompong sebagian tampak jelas. Matanya yang biru mengkilat - seperti ibunya -  berbinar-binar.
“Dimana kau lihat penjual es krim?” aku mengacak pelan rambutnya yang pirang.
Over there! (Di sana!)” tunjuknya ke ujung jalan.
“Ah, baiklah. Kita beli es krim...”
Daddy.. Gendong aku..” pintanya manja. Aku pun segera mengangkatnya dan menggendongnya di tengkukku.
Lizzy sudah berdiri di depanku. Ia tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya. Lizzy yang menyuruhku untuk kembali menemui orangtuaku. Tapi nyatanya aku tidak menemukan mereka di sini. Mungkin lain kali aku akan mencari mereka lagi.
Lizzy benar, aku memang tidak harus melupakan atau membenci Mom dan Dad. Namun yang terpenting dari semua ini adalah, aku tidak akan pernah mengabaikan Dennis. Karena aku tahu bagaimana rasanya Erick kecil yang diabaikan orangtuanya.
Semua ini hanyalah masalah cinta.

=The End=

~Zakiyah
Bandung, November 2nd, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...