To make easy, Click the categories that you want to see^^

Senin, 15 Oktober 2012

[Fanfiction] Better Left Unsaid...



Title                 : Better Left Unsaid...
Categories       : Fanfiction - OneShot
Genre              : AU – Romance – Songfic [mungkin bisa ditambahkan genre Hurt/comfort]
Rating             : Teenager – PG-15
Theme song     : Wish you were here – Avril Lavigne 
Author             : Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie a.k.a Zakiyah Faqoth
Cast(s)             :
1.      Yamada Ryosuke [Hey! Say! JUMP]
2.      Yuki Akanishi as Hime (Original Character)
3.      Arioka Daiki [Hey! Say! JUMP]
4.      Mizuki (Original Character)
Disclaimer: All casts are not mine. The story is mine. It’s inspired by Avril Lavigne’s song (Wish you were here), and a little from ‘Ayah, mengapa aku berbeda?’ the movie. NO Bashing!
NOTE: Fanfic ini adalah request-an dari atashi no imouto; Yuki Akanishi. Sebuah songfic dari lagu ‘Wish you were here’, dengan pairing ‘YamaYuki (YamaHime)’. Saya harap Yuki chan tidak kecewa dengan FF ini, karena ceritanya tidak terlalu mirip dengan lagunya ^_^ T_T . Dan juga, jika kalian menemukan bahwa alur ceritanya ‘kecepetan’, itu hanya ke’baka’an author yang maksain cerita ini jadi oneshot *efek gak mau repot bikin chapter* XD. Seperti biasa, tangan author selalu terbuka lebar untuk menampung komentar readers. Jya, okay then, happy reading, ne! Semoga kalian terhibur ^_^v
Synopsis/Quote:
I love you,” I always say that words. Say it in silence. So I dont wonder if you can’t hear it.
When telling nothing is better, it doesn’t mean that I don’t wanna tell you. But, I just be able to love you in my silence. Without telling it to you. Because I have no strenght and braveness to tell you. Because you don’t have any memories of me. Because you don’t know me.
***
Prolog:
Ohayou...
Selalu kuucapkan kata itu ketika kulihat dia - Yamada Ryosuke, melewati kios tempat kuberjualan bunga.
Aku selalu mengucapkannya. Dan tak lupa aku selalu tersenyum ke arahnya. Meskipun ia tak dapat mendengar sapaanku, namun aku tak pernah berhenti untuk menyapanya setiap pagi, bahkan setiap aku melihatnya.

***
Pagi ini aku datang ke kios lebih pagi dari biasanya. Tuan Fujiwara mengatakan akan mengirim pasokan bunga beberapa menit lebih awal. Aku membuka pintu kaca dan menggantikan tanda ‘close’ dengan ‘open’. Udara dingin masih terasa menusuk kulit. Kuedarkan pandanganku ke sekililing toko. Kemudian aku mengalihkan pandangan ke luar. Ah! Ryosuke-kun. Ia berjalan dengan santai di depan kios bungaku. Aku senang melihat wajahnya yang....
“Hime-sama...”
Ah, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Astaga, Ryosuke-kun sudah berada di hadapanku.
Ah, ohayou,” sapaku sambil sedikit membungkukkan badan.
Ohayou,” balasnya. “Datang lebih pagi hari ini?” tanyanya.
Un,” aku mengangguk. “Fujiwara-san akan mengantarkan pasokan bunga baru hari ini,” terangku.
“Ah, begitu ya,” Ryosuke-kun mengitarkan pandangan seperti mencari sesuatu. “Di sana, apa masih ada bunga yang segar?” ia menunjuk ke arah deretan pot dengan ibu jarinya.
Ah, ya. Masih ada. Mau mawar?” tawarku padanya.
Ryosuke-kun mengangguk. “Beri aku setangkai,”
Aku segera menuju deretan pot yang kutata rapi di rak di depan kiosku dan mengambil satu bunga mawar yang sudah kubungkus plastik. Aku kembali menghadap Ryosuke-kun dan menyodorkan mawar itu padanya. “Ini,
Sejenak ia menatap bunga itu, tak segera mengambilnya. “Berapa?”
Seperti biasa, 25 yen.
Ia lalu menyodorkan uang padaku dan mengambil bunga itu setelah aku menerima uangnya.
Arigatou,
“Ini,” Ryosuke-kun menyodorkan bunga itu padaku.
Eh?
“Untukmu,” ia menegaskan lagi.
Aku menerima bunga itu dan memandang Ryosuke-kun penuh rasa terima kasih. Aku menundukkan badanku sedikit. Tiba-tiba Ryosuke-kun mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Semoga harimu indah, Hime-sama,” Ryosuke-kun berbisik dengan sangat lembut. Seketika angin lembut menelusup dan menggelitik gendang telingaku, lalu tanpa ampun ia menjalar ke seluruh tubuhku dan berhenti tepat di hatiku. Memaksa jantungku untuk berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku masih mematung ketika ia sudah merenggangkan jarak denganku. Apa yang ia katakan barusan memang tidak kudengar dengan jelas, tapi dari angin yang menelusup itu, bisa kurasakan kalau Ryosuke-kun mengatakannya dengan sangat tulus.
“Aku berangkat dulu, ya. Semoga kiosmu laris hari ini. Jya,”
Un. Arigatou, Ryosuke-kun. Semoga Tuhan selalu memberkahimu,”
Ryosuke-kun melambaikan tangan dan berlalu dari hadapanku. Bunga mawar darinya masih kupegang. Lalu aku melangkah ke sudut ruangan tempat meja kerjaku terletak. Kutambahkan lagi koleksi bunga mawar yang sudah banyak bertengger di pinggir mejaku. Ya, Ryosuke-kun melakukan itu setiap pagi. Membeli bunga di kiosku, kemudian memberikan bunga itu padaku. Sampai saat ini sudah ada lebih dari 30 bunga mawar yang masih terlihat warnanya. Sisanya sudah menguning dan mengering. Sama seperti kalimatku yang tak terucap padanya.
***
“Ryosuke, mau makan siang bersama?” Mizuki mendekati meja tempat Ryosuke berkutat dengan komputernya.
“Umh, kau duluan saja,” responnya singkat.
“Ayolah, temani aku makan siang,” Mizuki duduk di pinggir meja dan mengelus jas Ryosuke. Merayap dari pundak sampai ke dadanya.
Ryosuke menangkis tangan nakal Mizuki. “Mizuki!” Ryosuke berdiri dan menghembuskan nafas kesal. “Hentikan! Ini kantor,” Ryosuke agak berteriak, membuat semua orang di ruangan itu menoleh ke arah mereka. Ryosuke mendengus kesal. Namun Mizuki tak gentar dengan gertakan itu.
“Ah... Ryosuke... Ayo, kita makan siang,” Daiki dengan langkah sigap segera menetralisir keadaan. Ia merangkul pundak Ryosuke dan menariknya ke luar ruangan. Mizuki tidak puas.
“Daiki!”
“Ah, kau mau ikut? Baiklah, kita makan siang bertiga,”
Daiki menoleh ke arah Ryosuke yang masih memasang wajah kesal, “Tenang saja, anggap dia tidak ada,” Daiki mengedipkan mata. Senyum Ryosuke tidak simetris.
***
Pukul lima sore. Aku masih betah bertengger di meja kerjaku. Hari ini kiosku lumayan laris. Banyak yang memesan karangan bunga maupun hanya membeli setangkai. Aku senang dan puas dengan pekerjaanku. Hari-hariku lebih indah dengan sepanjang hari berada di tempat yang dikelilingi bunga. Ya, aku suka bunga. Terutama mawar. Putih atau merah.
“Hime-sama,” seseorang membuka pintu kaca kiosku. Aku menoleh.
Ryosuke-kun,” aku memasang senyum ke arahnya.
“Belum tutup?” tanyanya. Ia melangkah mendekatiku.
Un, tapi sebentar lagi tutup, kok,” jawabku.
“Ah, baiklah. Aku akan menunggu disini. Setelah itu kita pulang bersama, okay!” matanya mengerling. Membuatku salah tingkah melihat itu. Ya, selalu begitu. Padahal ini bukan kali pertama ia mengerling padaku.
Duduklah,”
“Iya, terima kasih, Hime-sama,”
Aku meletakkan segelas air dingin di meja, “Minumlah, maaf hanya ada air putih,
“Aha, tidak apa-apa. Tidak usah merepotkanmu,”      
Tidak, kok. Tidak merepotkan,
Setengah jam kemudian, tidak ada lagi pembeli yang datang, kurasa waktunya untuk menutup kios. Ryosuke-kun membantuku merapikan kios. Setelah itu aku mengunci pintu dan bergegas pulang. Aku berjalan berdampingan dengan Ryosuke-kun. Rumahnya dan rumahku satu arah, jadi kami biasa pulang bersama. Sepanjang jalan aku hanya memperhatikan wajahnya yang terlihat indah dari samping. Ah, maksudku, dari arah mana saja wajahnya selalu terlihat indah. Ya, tentu saja. Dia indah. Dia makhluk terindah yang pernah kutemui, yang selalu mengindahkan hari-hariku.
“Kau sudah sampai, Hime-sama,”
Eh?” Ya ampun, aku sampai tidak sadar kalau aku sudah berada di depan rumahku. “Kalau begitu, aku masuk dulu. Sampai jumpa,”
“Ya, masuk dan istirahatlah. Sampai jumpa besok, Hime-sama,” Ryosuke-kun menepuk pundakku. Aku menurut. Ia melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Aku melambaikan tangan, dan tetap bertahan di posisiku – memperhatikan punggungnya sampai aku tidak dapat melihatnya lagi karena ia sudah menjauh dari tempatku.
Aku berbalik dan membuka pintu, “Tadaima,
“Ah, baguslah kau sudah pulang. Cepat siapkan makan malam untukku!” Ibu menyambutku dengan wajah ketusnya – setiap hari seperti itu.
Hai, aku ganti baju dulu,” aku hendak melangkahkan kakiku menaiki tangga, namun...
Aahhh...” Ibu menarik rambutku. “Sakit, Kaa-chan,”
“Tidak usah ganti baju! Sana ke dapur dan masak untukku!” Ibu mendorongku hingga aku hampir terjatuh. Tanpa bisa melawan – lagi-lagi, aku hanya menuruti apa yang Ibu katakan.
Kaa-chan, makanannya sudah siap,” aku menghampiri Ibu yang tengah bersantai di depan televisi.
“Bawa kesini!” perintahnya.
Hai,” aku kembali menurut.
“Bagus. Ingat apa yang sudah kukatakan. Patuhi semua perintahku jika kau tidak mau kubuang ke jalanan!”
Aku terpaku, tidak tahu Ibu berkata apa, namun aku bisa melihat kalau ia sedang marah dan berbicara dengan nada tinggi. Sedikit-sedikit aku bisa menyimpulkan kalau Ibu akan membuangku jika tidak menuruti perintahnya.
Setelah selesai merapikan piring bekas Ibu makan, aku segera ke kamarku. Aku ingin mandi dan istirahat. Aku merasa lelah hari ini. Mungkin lebih tepatnya, setiap hari aku selalu merasa lelah.
Tiit.. Tiit...
Oyasuminasai, Hime-sama. Mimpi yang indah ya...
Sebuah pesan dari Ryosuke-kun. Ya, hanya itu. Hanya itu yang bisa melepaskanku dari penat dan rasa lelah. Keberadaan Ryosuke-kun. Untungnya ada dia. Aku tersenyum dan segera membalas pesannya.
***
“Hime!!!” sebuah suara mengagetkanku dan seketika aku pun terbangun dari tidurku. “Himeeee!!!! Aku tahu kau tuli, tapi apa suara kerasku tidak bisa membuatmu bangun??!! Cepat buka pintunya!!” Ibu terus menggedor pintu kamarku. Aku segera membukanya.
Doushite, Kaa-chan?
“Belikan aku minuman kaleng dan makanan! Aku lapar. Di kulkas tidak ada apa-apa. Kenapa kau ini, tidak sigap dalam hal apapun. Seharusnya kau membeli makanan lagi sebelum persediaan di kulkas habis. Cepat pergi beli makanan!”
Eh, tapi Kaa-chan, ini sudah pukul 12 malam,” bantahku.
“Mau melawan, hah? Cari supermarket 24 jam! Cepat... cepat.. cepat...!!”
Ha-Hai,
Tanpa ba-bi-bu lagi aku bergegas keluar dan menuju supermarket 24 jam yang letaknya lumayan jauh dari rumahku. Astaga, dingin sekali. Aku lupa memakai jaket.
Aku melangkahkan kakiku menyusuri jalanan yang temaram. Begitu sepi, hanya ada satu atau dua mobil yang lewat di jalan. Sejatinya seorang gadis akan merasa takut jika harus berjalan sendiri di tengah malam seperti ini. Tapi, untunglah aku tidak seperti itu. Aku sudah terbiasa melewati kegelapan, bahkan kesunyian seorang diri. Sebelum meninggal, ayah berpesan agar aku jadi wanita yang kuat, dan sekarang aku sedang berusaha memenuhi janjiku itu.
Haa-hatchuuu...
Udara dingin membuatku bersin. Aku yakin aku akan bisa bertahan sampai kembali lagi ke rumah. Supermarketnya sudah dekat. Tenang saja, aku pasti bisa bertahan.
Bugh!
Tanpa sadar aku terjatuh. Rasanya pikiranku setengah sadar setengah tidak. Seharusnya aku merasa sakit karena jatuh menghantam trotoar. Tapi, aku tidak merasa sakit. Malah aku merasakan kehangatan di tubuhku.
“Hati-hati,” sebuah suara membuatku mendadak tersadar kembali dan aku segera berdiri dengan benar. Ketika aku berbalik, alangkah kagetnya ketika kulihat...
Ryosuke-kun?
“Mau kemana malam-malam begini sendirian?”
Supermarket. Ibu menyuruhku membeli sesuatu.” Jelasku.
“Oh, kenapa malam-malam?”
Aku lupa membeli persediaan makanan, jadi ibu kesusahan ketika ingin makan di tengah malam. Terpaksa aku membelinya, ini semua juga salahku, hehe...
“Biar aku temani,”
Eh, memangnya Ryosuke-kun mau kemana? Ada yang mau dibeli juga?
Iie. Aku berjalan kesini hanya mengikuti kata hatiku. Tiba-tiba aku ingin keluar dan ternyata, Hime-sama-ku sedang berada di luar sendirian,”
Hmm... Begitu... Ariga- Hatchuu...” Aku bersin lagi. Aku menyerosot ingusku dan menggosok-gosok hidungku. “Gomen,” ucapku sambil tertunduk.
Daijoubu. Kau kedinginan, ya.” Ryosuke-kun melepaskan mantel birunya dan memakaikannya ke tubuhku. Rasa dingin yang kurasakan tadi seketika sirna dan tergantikan oleh kehangatan yang begitu membuatku nyaman. “Ayo!” Ryosuke-kun merangkul pundakku dan kamipun berjalan menuju supermarket.
“Biar aku yang bawa belanjaannya, ya.” Tawar Ryosuke-kun.
Ah, arigatou. Tapi, tidak usah repot-repot. Aku bisa sendiri,” tolakku halus.
“Tidak apa-apa. Sini. Biar aku yang bawa,” Ryosuke-kun mengambil bungkusan plastik dari tanganku. Kemudian tangannya yang satu lagi menggenggam tanganku.”Ayo jalan,” ajaknya.
Eh, iya.
“Hime-sama,” panggilnya.
Ya?” jawabku.
“Masih terasa dingin tidak?”
E? He... Iya, sedikit...
Ryosuke-kun berbalik menghadapku dan menyimpan belanjaan di dekat kakinya. Kedua tangannya menggengam tanganku, kemudian ia memelukku. “Apa sekarang masih terasa dingin?”
Aku menggeleng, dan berkata, “Hangat. Ini sangat hangat,” aku membalas pelukannya. Kami berpelukan erat. Entah kenapa aku merasa nyaman dengan ini semua. Setelah beberapa detik, Ryosuke-kun agak merenggangkan pelukannya. Dia menatap wajahku. Tatapannya sangat lembut dan menenangkan. Perlahan tangannya memegang dan menarik daguku, mendekatkan wajahku padanya. Dan, bibir kami bertemu selama beberapa detik. Seketika itu pula, segala macam kedinginan dalam tubuhku menjelma menjadi kehangatan yang begitu membuatku nyaman.
Ryosuke-kun, daisuki.” Bisikku dalam hati. “Apa kau bisa mendengarnya, Ryosuke-kun?
***
Seperti biasa, keesokan harinya Ryosuke-kun mendatangi kiosku. Ia tersenyum penuh kehangatan, dan penuh arti bagiku.
Ohayou,” sapanya singkat.
Ohayou,” balasku.
“Beli bunga mawar,”
Baik,” aku segera mengambil setangkai dan memberikan padanya.
“Jangan yang ini. Aku mau se-buket,” tolaknya.
Eh? Sebuket?” tanyaku heran. Tapi aku segera mengambilkan buket mawar merah dan memberikan padanya.
“Yang ini berapa?” tanyanya.
150 yen,” jawabku. Kemudian Ryosuke-kun menyerahkan uang padaku dan mengambil bunganya.
“Ini untukmu, Hime-sama. Aku mendapat tugas ke luar kota selama sepuluh hari. Jadi selama sepuluh hari, aku tidak bisa datang ke sini dan memberimu mawar setiap pagi. Aku berikan sekalian saja hari ini, ya.”
Eh?” perkataan Ryosuke-kun barusan itu membuatku kaget. “Pergi?
“Ya. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali. Hanya sepuluh hari. Tunggu aku, ya!” Ryosuke-kun mengelus pipiku dan memberikan senyuman termanisnya. Entah kenapa aku merasa dia akan pergi sangat jauh dan meninggalkan aku sendiri.
Hati-hati, Ryosuke-kun. Jaga dirimu baik-baik,” ujarku lirih.
“Ya, kau juga hati-hati disini, ya. Ittekimasu,”
Itterashai...” balasku.
Kupandangi sosok itu, sampai ia benar-benar tak dapat kulihat lagi. Entahlah, aku merasakan sesuatu yang ganjil. Ah! Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku tidak boleh berpikiran seperti ini. Ryosuke-kun pasti baik-baik saja. Pasti.
***
Setiap pagi aku membuka kios, aku selalu membayangkan sosoknya yang datang dengan senyum mengembang di wajahnya yang tampan. Membeli setangkai bunga dari kiosku kemudian memberikannya lagi padaku. Tapi sosok itu kini tak datang lagi. Sudah dua puluh hari semenjak keberangkatannya. Ini berarti dia sudah mengingkari sepuluh hari dari perjanjian. Aku tak sabar menunggunya. Aku.... merindukannya. Kualihkan pandanganku pada sederet bunga mawar pemberiannya. Semua masih kujaga baik-baik. Walaupun warnanya sudah tak indah lagi, tapi bagiku mereka akan tetap indah sampai kapanpun. Seindah perasaanku pada Ryosuke-kun. Takkan pernah lapuk termakan oleh waktu.
Ryosuke-kun... Sedang apa kau disana?” bisikku.
***
Sudah satu bulan lebih. Ryosuke-kun tidak pulang. Apa yang harus aku lakukan? Bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi. Otakku mulai berpikir dan membayangkan hal yang tidak-tidak. Aku menggeleng dengan cepat. Ryosuke-kun pasti baik-baik saja. Ryosuke-kun...
Ryosuke-kun!” teriakku. Aku melihatnya sekarang. Dia kembali berjalan melewati kiosku. Tapi dia tidak menoleh. “Ryosuke-kun!” panggilku sekali lagi. Aku berusaha mengejarnya.
Ketika ia menoleh, ia memiringkan kepalanya sedikit. Keningnya berkerut, seperti sedang mengingat sesuatu. “Dare?
Apa? Dia tidak mengenalku?
Oe-un... A-yo (Ryosuke-kun, ohayou),” sapaku.
“Hah? Maaf,”
Oe-un.. Ak e-nal a-u? (Ryosuke-kun tidak kenal aku?)
Ia masih mengernyit. Tampaknya ia tidak mengerti apa yang kubicarakan. Isyarat-isyarat yang kubuat dengan tanganku pun tak dapat ia baca.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” ia bertanya padaku.
Me (Hime),” jawabku sambil menunjuk diri sendiri. “Ios- nga (Kios bunga),” aku menunjuk kiosku di sudut jalan. Ia melongok memperhatikan tempat yang kutunjuk. Lagi-lagi ia mengernyit.
“Kau penjual bunga?” tanyanya polos.
Tuhan, aku masih tidak percaya. Apa yang terjadi pada Ryosuke-kun sampai dia tidak mengenalku? Apa ia mengalami kecelakaan selama di luar kota?
Un, ir (ya, mau mampir),?” terpaksa aku bertindak seolah aku juga baru mengenalnya.
“Ah, maaf nona, aku... tidak mengerti. Sekali lagi maaf,”
“Ryosuke!” tiba-tiba seseorang memanggil Ryosuke-kun. Itu Daiki-kun. Dia teman kerja Ryosuke-kun. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. “Eh, Hime-chan... Apa kabar?”
Ik (Baik),
“Kau kenal dia, Daiki?”
“Ya, dia teman kita,”
“Oh, gomen na, eh...” Ryosuke-kun menggantungkan ucapannya.
“Hime,” Daiki-kun berbisik.
“Hime-san,” ia membungkuk sedikit. ‘Hime-sama’, ia biasanya memanggilku ‘Hime-sama’. Tapi sekarang ia bahkan lupa namaku.
Un, obu (Un, daijoubu),” balasku.
“Hime-chan, kami berangkat kerja dulu. Nanti aku akan menghubungimu, ya” kata Daiki-kun padaku.
Un,” aku mengangguk. Kemudian mereka berdua pergi meninggalkanku yang masih mematung tak percaya.
“Daiki, aku benar-benar tidak bisa mengingatnya. Aku jadi tidak enak padanya,”
“Sudahlah, jangan memaksakan dirimu. Lambat laun kau juga akan ingat semua memori masa lalumu,”
“Aku bahkan baru saja mengenalmu. Aku tidak ingat kita sudah berapa lama berteman.”
“Haha.. Tidak apa-apa. Aku akan membantumu mengingat semuanya, tenang saja,”
“Satu lagi. Aku tidak bisa mengerti apa yang gadis tadi bicarakan padaku. Dia...”
“Tidak bisa bicara. Dulu kau orang yang paling mengerti apa yang dia katakan, lho.”
“Benarkah?” Ryosuke mengernyit. Ia terdiam beberapa saat – berusaha mengingat sesuatu. “Ahh...” ia memegang belakang kepalanya.
“Sudah kubilang jangan memaksakan mengingat, pelan-pelan saja,”
***
Amnesia. Itu yang sekarang sedang terjadi pada Ryosuke-kun. Ia mengalami kecelakaan sewaktu berada di Osaka. Kepalanya terbentur dan terluka parah. Akibatnya, ia harus kehilangan memori yang sudah ia simpan di dalam otaknya, termasuk, menghilangkan ingatan tentang aku.
Daiki-kun bilang padaku dia akan membantu Ryosuke-kun mengembalikan ingatannya. Tapi ia menyuruhku untuk bersabar karena itu akan membutuhkan waktu yang lama. Ya, mungkin aku memang harus menunggu.
Ohayou,” sapa seseorang padaku. Aku langsung sumringah ketika melihat itu adalah Ryosuke-kun.
A-yo (Ohayou),
“Ano... Daiki bilang aku harus ke sini setiap pagi dan membeli bunga mawar,” ujarnya kikuk.
Ah... hai, tte.. (Ah, hai, matte),” Aku mengambil setangkai mawar dan memberikan padanya. “Ua-uh-ma-en (25 yen),” ujarku sambil membentuk isyarat dengan jari-jariku.
“Sebentar,” ia merogoh sakunya dan memberikan uang padaku. “Ini,”
Hai,
Ia kemudian berbalik tanpa memberikan bunga itu padaku. Tidak seperti yang biasa ia lakukan. Sebelum keluar, ia berhenti untuk melihat bunga-bunga mawar layu di mejaku. Cukup lama ia memperhatikan bunga-bunga itu.
“Ano... Kenapa bunga itu dibiarkan layu disana?”
Ah, tu-erian ri- oang (Aah, itu pemberian dari seseorang),” jawabku.
“Sese..orang?” ia meyakinkan diri bahwa kata yang ditangkapnya dari mulutku itu benar. Aku mengangguk. “Souka...” ia pun mengangguk. “Baiklah, aku pergi dulu, ya, Hime-san,” pamitnya.
Un, ti (Un, hati-hati),
***
“Ryosuke,” sapa Mizuki. Tapi Ryosuke hanya menanggapinya asal. “Ah, bunga untukku?” Mizuki merebut bunga itu dari tangan Ryosuke.
“Tidak tahu,”
“Kok tidak tahu, lalu kau beli untuk siapa?”
“Kalau kau mau ambil saja,”
“Benarkah? Terima kasih, sayang. Memang kau harus begitu pada calon istrimu,”
Ryosuke menyipitkan matanya, “Calon istriku?”
“Iya, kita kan sudah lama berpacaran, dan akhir bulan ini kau janji akan mengajakku menikah,”
“Apa iya?”
“Tentu saja,”
Ryosuke berpikir sejenak. Seperti biasa, kepalanya terasa sakit jika dibawa berpikir keras untuk memanggil kembali memori yang sudah tercerai-berai keluar dari otaknya.
“Ryosuke,” panggil Daiki.
“Ya,”
“Kau dipanggil Tuan Tachibana,”
“Oh, baik. Aku kesana,”
“Hey. Apa yang baru saja kau katakan pada Ryosuke?” Daiki memandang sinis pada Mizuki.
“Tidak ada,”
“Kenapa bunga iu ada padamu?”
“Tentu saja Ryosuke yang memberikannya padaku. Dia mencintaiku, Daiki. Kau harus tahu itu,”
“Hhhh... Jangan coba-coba kau mengatakan hal yang tidak benar tentang masa lalunya. Aku yang akan mengembalikan ingatannya, kau tahu?!” gertak Daiki.
“Masa bodoh! Aku tetap akan memaksanya percaya kalau aku itu tunangannya, lihat saja,” Mizuki tersenyum licik.
“Dasar licik,”
“Aku tidak peduli!”
***
“Heh, Hime!!” bentak Ibu. “Kemari kau!!”
Hai, Kaa-chan,
“Mana uang untuk membayar sewa rumah ini? Tadi pemilik rumah datang dan menagihnya,”
Uangnya belum cukup, Kaa-chan,
“Ah, alasan klise! Kau gunakan untuk apa uang hasil berjualanmu itu? Kau pakai untuk berfoya-foya, hah? Kau pakai untuk bersenang-senang dengan laki-laki?”
Tidak!” bantahku. “Aku tidak menggunakannya untuk apa-apa, Kaa-chan. Sungguh, uangnya memang belum cukup, mungkin minggu depan aku baru bisa mengumpulkan uangnya,
“Aaahhhh!!! Aku tidak mau dengar alasanmu lagi! Mulai sekarang aku akan pergi ke rumah ibuku. Kau tinggal saja sendiri disini, dan hadapi si pemilik rumah itu. Aku tidak mau ambil pusing.”
Kaa-chan.. Akan meninggalkanku?
“Ya, kenapa? Dari dulu juga aku sudah ingin membuangmu. Aku tidak sudi punya anak sepertimu. Hanya membuatku malu saja!”
Kaa-chan,” aku menangis, mencoba menahan Ibu agar tidak pergi.
“Lepaskan, anak bodoh! Seberapapun kau memelas aku akan tetap pergi. Aku akan bilang pada Ibu kalau kau sudah mati! Tahu!?”
Kaa-chan,” aku mencoba menjerit. Tapi aku tak bisa bersuara. Semua yang kulakukan sia-sia. Aku hanya bisa menangis. “Kaa-chan,   
***
Malam ini aku sendirian. Walaupun biasanya Ibu memang tidak memperdulikanku, tapi kali ini berbeda. Rasanya sungguh berbeda. Apa tidak cukup aku kehilangan ayahku? Apa tidak cukup aku menghilang dari ingatan Ryosuke-kun? Apa sekarang aku harus kehilangan Ibu juga? Jujur, aku lebih memilih Ibu ada di sini, walaupun ia selalu memarahiku. Aku tidak apa-apa. Daripada Ibu harus pergi meninggalkanku, dan menganggap aku sudah mati.
Aku duduk di pinggir jendela kamarku. Air mata di pipiku sudah mengering tertiup angin malam. Di bawah sana aku melihat seorang pria dengan mantel birunya. Berjalan dengan santai. Sepertinya dia baru pulang kerja.
Ryosuke-kun, konbanwa,
Seketika kulihat pria itu menghentikan langkahnya. Tapi kemudian ia meneruskan langkahnya lagi.
Ia sekarang sama sekali tidak bisa mendengarku. Ia tidak mengerti lagi apa yang kubicarakan.
Aku sendiri.....
Ayah....
Ibu...
Ryosuke-kun...
Aku merindukan kalian.....
***
Setahun kemudian...
Dan sekarang aku benar-benar sendiri. Tidak ada siapa-siapa di sisiku. Tidak ada yang menenangkanku ketika aku gelisah dan takut. Tidak ada yang melarangku menangis. Tidak ada yang mengajakku tersenyum. Tidak ada lagi ayah. Tidak ada lagi ibu. Tidak ada lagi bunga mawar. Tidak ada lagi Ryosuke-kun. Semuanya tidak ada. Semuanya telah pergi dariku. Dan aku hanya bisa menangis, memeluk lututku di sudut kamar.
Aku ingin kalian.... Aku ingin kalian....
Aku tahu duniaku sudah hening. Tapi aku tidak suka ini. Keheningan yang semula menenangkan kini telah berubah jahat. Semuanya menjadi keheningan yang mencekam.
Ibu mungkin telah bahagia tinggal dengan nenek. Ayah sudah pasti bahagia di surga sana. Dan, Ryosuke-kun. Dia akan segera menemukan kebahagiaannya. Ryosuke-kun akan menikah dengan wanita yang bernama Mizuki.
Apa ada hal kejam lain yang harus aku terima?
Apa ini saja tidak cukup?
Mataku basah. Air mata terus mengalir membanjiri pipiku. Aku kehilangan...
Tolong, dengarkan aku.... Aku ingin kau ada disini.......
Ingatanku menerawang ke malam dimana aku terakhir kali bersama Ryosuke-kun. Itu terakhir – tepatnya pertama dan terakhir, aku merasakan hangat tubuhnya. Berada di pelukannya. Kini dia tidak mengenalku lagi. Semua usahaku dan Daiki-kun untuk mengembalikan ingatannya tak berhasil. Ia tetap tidak bisa mengingat hal yang biasa ia lakukan denganku. Mizuki, dia yang paling men-doktrin Ryosuke-kun agar percaya bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Ketika aku dan Daiki-kun menyanggahnya, itu hanya membuat Ryosuke-kun bingung dan tersiksa dengan sakitnya. Maka aku bisa apa? Aku tidak mungkin membuatnya semakin tersiksa dengan memaksanya untuk mengingatku.
Ketika ia datang ke kiosku bersama Daiki-kun. Ia menyerahkan undangan pernikahannya. Ia memintaku datang. Sungguh, aku pikir dia bercanda.
Aku tahu, dia memang tidak pernah bilang kalau dia mencintaiku. Begitupun juga aku. Selama ini aku hanya mencintainya dalam diam. Tanpa pernah mengatakannya.
Aku juga tahu ini bukan salahnya. Kecelakaan ini bukan keinginannya. Bukan keinginannya kehilangan ingatan.
“Kau akan datang, kan?”
Un, aku pasti datang,” aku menjawab mantap dan tersenyum ke arahnya.
Arigatou,” dia membalas senyumku. Sekarang dia sudah bisa mengerti bahasa isyarat yang aku gunakan.
“Maafkan aku, Hime-chan,” Daiki-kun berkata lirih.
Iie. Daijoubu,” jawabku – berusaha tegar.
***
Lonceng gereja sudah terdengar ketika aku baru saja berjarak 500 meter dari gerbang gereja. Ya, hari ini hari pernikahan Ryosuke-kun. Aku memenuhi janjiku untuk datang.
Daiki-kun,”
“Ya...”
Apa aku bisa meminta sesuatu?
“Apa itu?”
Aku ingin bertemu dengan Ryosuke-kun sebelum pernikahannya dimulai. Apa boleh?
“Eh? Kurasa boleh. Acaranya baru akan dimulai satu jam lagi. Ayo,”
Arigatou,” aku berterima kasih.
Daiki-kun terlihat menghampiri Ryosuke-kun. Tak lama kemudian Ryosuke-kun menghampiriku.
“Ada apa, Hime-san?”
Ano...” dengan ragu aku menyerahkan sebuah toples kecil padanya. “Aku ingin kau menyimpan ini,”
“Apa ini?” ia membuka tutup toplesnya.
Itu abu dari mawar yang kubakar,”
“Eh?”
Bacalah, disitu ada suratnya,”
Ryosuke-kun membuka lipatan kertas yang kuberikan bersama toples itu. Aku menulis surat padanya karena tahu dia tidak akan menangkap apa yang kubicarakan jika aku berbicara langsung padanya.
Ini mawar dari seseorang yang sangat berarti bagiku. Yang selalu aku nantikan kedatangannya. Aku selalu menyimpannya, sampai seseorang itu benar-benar tidak kembali lagi padaku. Awalnya aku masih berharap seseorang itu bisa kembali. Namun, aku rasa itu tak mungkin lagi. Aku tidak mungkin bisa bersamanya. Maka dari itu, aku memutuskan untuk membakar semua mawar yang pernah dia berikan padaku. Agar aku bisa melupakan perasaanku padanya. Ryosuke-kun, maafkan aku. Tapi... aku mencintaimu...”
Ryosuke-kun terlihat kaget ketika membaca kalimat terakhir yang kutulis. Sebenarnya aku tidak yakin akan mengatakannya. Tapi aku tidak ingin menyesal dengan menyimpan semua perasaanku padanya. Aku menunduk dalam-dalam. Aku benar-benar takut dia akan marah padaku.
“Hime-san,” suara lembutnya memanggilku. Pelan-pelan tangannya mengangkat wajahku. Matanya melihat ke dalam mataku. Cukup lama. Kemudian ia menggenggam tanganku. Kehangatan yang kurasakan masih tetap sama. Dia memang tidak pernah berubah. Hanya kecelakaan itu yang membuat dia berubah.
“Ryosuke,” seseorang memanggil Ryosuke-kun. “Kau dipanggil ibumu, kesana lah, acaranya sebentar lagi dimulai,”
“Ah, baik,” sebelum beranjak, Ryosuke-kun kembali menatap mataku.
“Terima kasih. Aku akan simpan abunya,” dia tersenyum kemudian pergi meninggalkanku.
Daiki-kun menghampiriku, “Ayo masuk,”
Aku mengangguk, kemudian menggandeng tangannya.
Saat sumpah pernikahan dilaksanakan, aku benar-benar tidak sanggup. Aku rasa aku ingin pergi saja dari sini.
“Yamada Ryosuke, apa kau bersedia menerima Mizuki Sato sebagai istrimu? Berjanji untuk mencintainya dalam suka maupun duka, sakit maupun senang, hingga maut memisahkan kalian berdua?”
Ryosuke-kun terdiam cukup lama, tak segera menjawab pertanyaan itu.
“Yamada Ryosuke?” pastur itu memastikan bahwa Ryosuke-kun baik-baik saja. “Apakah kau ber...”
“TIDAK!” jawabnya tiba-tiba.
Kontan saja jawabannya itu membuat semua orang di dalam gereja – termasuk aku – tersentak kaget. Seketika ruangan gereja dipenuhi suara berisik orang yang berbisik-bisik dengan orang di sampingnya. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang terjadi.
“Ryosuke!” teriak Mizuki. “Ada apa denganmu?”
“Aku tidak mencintaimu, Mizuki. Kau yang memaksaku untuk menikah.”
“Apa maksudmu?”
Tanpa mempedulikan Mizuki, Ryosuke-kun turun dari altar dan menghampiriku.
“Hime-sama,”
Eh?” dia memanggilku seperti itu lagi.
“Maafkan aku,” ujarnya lirih.
Iie. Tidak usah minta maaf,”
“Menikahlah denganku sekarang,”
Eh?
“Maukah kau menikah denganku, Hime-sama?”
Aku tidak menjawab. Tapi aku langsung mengangguk mantap. Bulir-bulir bening kembali mengaliri pipiku saat mengucap sumpah pernikahan dengan Ryosuke-kun. Hatiku gerimis. Kesejukan itu kembali kurasakan.      
***
Aku hendak menutup jendela kamarku sore itu ketika kurasakan sepasang tangan menyentuh pinggangku, kemudian dengan erat mendekapku. Suamiku, Ryosuke-sama. Ia mencium leherku dengan lembut, kemudian membisikkan sesuatu ke telingaku.
Aishiteru, Hime-sama. Tottemo aishiteru,”
Perlahan aku melepaskan pelukannya dan berbalik menghadapnya. Kukalungkan tanganku ke lehernya. Dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan menempelkan keningnya di keningku.
Aishiteru mou, Ryosuke-sama. Tottemo aishiteru,” bisikku.
Ryosuke-sama tersenyum lembut padaku. Sedetik kemudian bibirnya dengan lembut menyentuh bibirku.
Aku mencintainya. Aku bahagia bersamanya. Terima kasih, Kamisama.
Ya, aku tahu. Walaupun aku sempat menghilang dari memorinya, tapi aku yakin bahwa aku tidak pernah benar-benar menghilang dari hatinya.
***
Epilog:
Tiit.. Tiit...
Moshii.. moshii...
“Hime.... Kau dimana sekarang? Ibu merindukanmu, Hime...” kudengar suara isak tangis dari seberang telepon.
Kaa-chan?
***
=The End=
Glosarium:

Ohayou: Selamat pagi
Un/hai: Iya
Arigatou: Terima kasih
Tadaima: Aku pulang
Kaa-chan: (okasan) Ibu
Oyasuminasai: Selamat malam/ selamat tidur
Doushite: ada apa/kenapa
Gomen: maaf
Daisuki: aku sayang kamu
Ittekimasu: aku pergi dulu
Itterashai: hati-hati
Dare: siapa
Daijoubu: tidak apa-apa
Matte: tunggu
Souka: Oh begitu
Konbanwa: Selamat malam
Iie: tidak/bukan
Tottemo aishiteru: Aku sangat mencintaimu
Kamisama: Tuhan

Rizuki Yamazaki Asy-Syauqie [Asy Chan]
Bandung, 13 Oktober 2012
2012年10月13日
[Asy Chan kara Yuki-chan e...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...