To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 15 Desember 2013

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter VI}



Chapter Six: Losing
Aku masih ingat sorot mata itu. Kejadian sepuluh tahun yang lalu. Saat ada seseorang yang menculik aku dan Suke. Orang itu yang sudah membunuh Okaasan dan mencekik Suke sampai pingsan. Orang dengan sorot mata itu.
Hisashiburi,” suaranya yang berat menyapaku.
“Apa maumu?!” bentakku.
“Hahaha....” orang itu tertawa sampai mulutnya terbuka lebar.
“Masih bertanya,” dia beranjak dari sofanya kemudian menghampiriku. Tangannya yang besar mencengkeram rahangku. “Tentu saja nyawamu,” lanjutnya.
Ough... Apa jantungku tak bisa berdetak lebih tenang? Demi Tuhan. Apa yang akan terjadi padaku sekarang? Apa hidupku akan berakhir di tangan orang ini seperti yang dialami Okaasan dulu?
“Kau yang mengirim surat itu?”
“Ya. Ta kusangka kau akan sebodoh itu mempercayainya dan datang ke sini.”
Aku tersenyum licik dalam hati. Kita lihat siapa sebenarnya yang bodoh!
“Di mana kau sembunyikan ayahku?”
“Ayahmu, huh? Dia sudah lama mati! Dia laki-laki keparat yang sudah merebut Nanako dariku. Dan kau adalah anak dari laki-laki keparat itu! Nanako dan ayahmu adalah dua orang brengsek! Mereka hina!” suaranya yang berat menggema di ruangan yang cukup gelap itu.
“Bicara apa kau?!” aku membentaknya.
“Diam!” Laki-laki itu berteriak tepat di depan hidungku. “Bisa-bisanya kau memasang wajah tanpa dosa seperti itu. Apa kau tahu? Ayahmu adalah adik kandungku.”
Aku tercengang. Adik? Berarti orang ini adalah pamanku sendiri?
“Dia merebut segalanya dariku. Merebut kekasihku, jabatanku, hartaku, semuanya. Orang tua kami lebih memihak orang keparat itu. Orang licik yang sudah merebut kebahagiaanku.” Laki-laki itu menggeleng-geleng kepalanya. “Aku ingin membalas dendam pada semua orang yang sudah merebut kebahagiaanku. Dan kini saatnya aku menghabisimu, juga adikmu. Sudah saatnya aku mengakhiri ketidakadilan yang Tuhan berikan padaku!”
Demi Tuhan! Apa-apaan ini!? Kenyataan ini sulit sekali kuterima. Jadi orang ini ingin membunuh aku dan Suke karena perbuatan ayah di masa lalu?
“Apa kau siap untuk menyusul ayah dan ibumu ke neraka, bocah ingusan?!” orang itu mengempaskanku dengan kasar ke lantai.

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter V}



Chapter Five: New Life, New Threat
          Aku membuka mata saat sinar matahari pagi sudah menyelinap dari balik tirai jendela kamar. Aku mengucek mata dan perlahan bangun. Kulirik Suke di sebelahku masih tertidur pulas. Aku tersenyum kecut. Seperti itukah wajahku jika sedang tidur?
          Aku menguap dan menggeliat. Lalu beranjak ke kamar mandi. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, aku menuju ke dapur. Kuhentikan langkahku ketika melewati ruang makan. Kupandangi sosok seorang wanita yang sedang tersenyum di dalam bingkai foto.
Ohayou, Okaasan,” sapaku sambil tersenyum manis ke arahnya.
Ohayou,
Aku tersentak kaget.
“Suke?”
“Hehe...” Suke cengengesan sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Aku sudah hampir senang barusan. Aku kira Okaasan benar-benar menjawab sapaanku.”
Suke mengerucutkan mulutnya.
“Jadi tidak senang kalau aku yang menyapa?”
Aku menggeleng, “bukan begitu.”
“Mau menyiapkan sarapan?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku bantu, ya,” tawarnya. Senyumnya terus berkembang. Jujur, setiap kali melihat Suke tersenyum aku sangat senang. Setidaknya mungkin itulah ‘penampakan’ku jika aku sedang tersenyum. Mungkinkah aku selama ini tidak tega melihat Suke dipukuli karena aku membayangkan kalau yang dipukuli itu adalah tubuhku sendiri?
“Ryo?”
Ah, aku mengerjap – bangun dari lamunan.
“Cuci muka dulu sana!”
“Hee...”
Aku mendorong tubuh Suke ke kamar mandi.
“Memangnya kau mau meracuni masakanku dengan air liurmu, dih!” Aku mencibir.
“Iyaa... Iyaa...”

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter IV}



Chapter Four: Remedy
Kami datang lebih pagi ke sekolah. Umm, sebenarnya kami memang sering datang lebih awal dari siswa yang lain. Seperti pagi ini, sekolah masih sepi. Aku menunggu Ryo yang sedang ke toilet. Tak mungkin juga, kan kalau aku mengikutinya sampai ke toilet. Aku berdiri di pinggir lapang. Kulirik jam tanganku. 7.10. Kemudian kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Masih belum banyak siswa yang datang. Dari jauh kulihat seseorang yang kukenal berjalan ke arahku.
Yuya? Bukankah dia sedang di-skors?
Yuya menghampiriku dengan wajah garang dan mulut yang menyeringai. Aku terdiam melihatnya. Aku mundur pelan-pelan. Kakiku bergetar dan keringat dingin mengucur deras di pelipisku. Ketika Yuya sudah berjarak enam puluh centimeter dariku, bisa kudengar desah napasnya yang bergemuruh penuh emosi. Tanpa pikir panjang aku berbalik dan hendak melarikan diri.
Buk!
Aku menabrak seseorang sampai terjatuh. Kou!
Aku merangsek mundur, kemudian menabrak Yuya. Aku mulai putus asa. Tamatlah hidupku!
Yuya menarik kerah bajuku hingga aku berdiri lagi. Kou mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bisa kurasakan napas yang berembus dari hidungnya menyebarkan aura panas kebencian.
Bugh!
Satu pukulan mendarat di perutku. Memberikan rasa mual dan ngilu yang seketika menjalar ke seluruh tubuh. Yuya semakin erat mencengkeram lenganku dari belakang – mengunci gerakanku. Kou mencengkeram rahangku.
“Masih berani kau macam-macam, hah!?” teriaknya.
“Apa maksudmu?”
“Masih saja berlagak bodoh atau kau memang bodoh?!”
“Sudah, mengaku saja kalau kau yang melaporkan tindakan kami waktu merokok ke kepala sekolah. Kau juga yang melaporkan masalah perselingkuhan Kou pada Ayumi, iya kan?! Lalu kau merebut Ayumi dari sisi Kou.” Yuya memelintir tanganku lebih kuat. Aku menjerit.
Aarrgghhh...” Air mataku tak terasa keluar. Mereka semakin kalap menertawakanku dan memukuliku. Aku sudah kehilangan tenaga. Aku hampir pingsan ketika seseorang dari belakang menarik tubuh Kou hingga terjungkal.
Ryo!
          Yokatta... Aku bersyukur dalam hati.

[Fanfiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter III}



Chapter Three: The Broken Present
Ryo, tanpa ragu dan takut dia selalu menolong dan melindungiku. Tapi, dia selalu terlihat menutup mata dari itu semua. Setelah dia berhasil mengalahkan para pengganggu itu, dia kembali mengacuhkan aku. Bahkan tak pernah menghiraukan atau menjawab ucapan terima kasihku.
Sebenarnya, apa artinya ini semua?
Aku meregangkan badanku di halaman belakang. Pagi yang cerah di hari Minggu. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sejenak aku ingin melepaskan segala bebanku tentang ketidakadilan dalam hidupku ini. Aku memejamkan mata sejenak. Aku ingin...
“Suke,” panggil Ryo.
“Ya,”
“Cepat ganti baju dan ikut jogging denganku,”
“Eh?”
“Kau harus banyak berolah raga kalau kau ingin kuat dan berotot sepertiku.”
“Tapi aku tidak melihat otot-ototmu.”
“Mau membangkang?” matanya melotot.
“E.. Iya, gomen...”
Aku berlari dua meter di belakang Ryo. Napasku terengah-engah. Semakin lama langkah kakiku semakin pelan.
“Hoy! Sedang apa kau? Ayo cepat lari!” Ryo berteriak.
“Istirahat sebentar, Ryo. Aku capek,” aku membungkuk memegangi lututku. Napasku tersengal.
“Astaga! Ini masih belum seratus meter. Masak sudah capek lagi. Payah!”

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter II}




Chapter Two: The World of Ruthlessness
          Pelajaran akan dimulai lima menit lagi. Aku duduk dengan wajah tak bersemangat di kursiku. Kupandangi sekeliling kelas. Tak ada yang istimewa. Dan tak ada yang berubah. Semuanya masih tetap sama. Banyak orang tapi aku merasa kesepian. Bukankah itu menyakitkan?!
        Aku hendak membuka buku Matematikaku ketika seseorang mendepakku dengan tasnya. Aku menoleh. Setelah kutahu siapa orangnya, aku memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya lebih jauh. Orang itu berjalan menuju kursinya yang terletak di depan.
          “Selamat pagi, Suke,” sapa seseorang padaku. Aku menoleh. Ayumi.
          “Se-selamat pagi,” jawabku pelan. Aku menunduk. Sekilas aku melirik ke arah Kou yang memandang jijik padaku. Sepertinya dia ingin segera membunuhku.
          Kitagawa-sensei, wali kelasku masuk. Murid-murid seketika diam. Kitagawa-sensei berdehem. Kemudian dia berkata.
          “Bapak menerima laporan bahwa ada siswa di kelas ini yang merokok. Maka dari itu Bapak akan memeriksa tas kalian.”
          Seketika terdengar suara bisik-bisik riuh memenuhi ruangan kelas.
          “Sudah cepat, simpan tas kalian di atas meja!” perintah Kitagawa-sensei. Kami menurut. Sensei memeriksa tas kami satu per satu, dan tak menemukan apa-apa. Sampai Sensei berhenti di meja Kou dan Yuya.   
“Apa ini?” Kitagawa-sensei mengacungkan sebungkus rokok yang didapat dari tas Kou dan Yuya.
Kou dan Yuya terlihat kaget.
“I-ini pasti jebakan, Sensei,” ujar Kou membela diri.
“Benar. Pasti ada seseorang yang memasukkan rokok itu ke tas kami,” tambah Yuya.
Kitagawa-sensei menatap mereka curiga.
Sensei... Ini salah paham. Ini pasti jebakan!” mereka berdua masih berusaha membela diri.
“Temui Bapak di ruang guru saat jam istirahat,” hanya itu yang Kitagawa-sensei katakan.
Aku masih menatap mereka berdua. Ketika mereka memandang tajam ke arahku, aku segera menunduk.
***

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter I}



Prolog: FF ini tercipta bulan Mei kemarin. Dalam project ultah Yamachan yang diadain Hey! Say! JUMP Lounge. Dan alhamdulillah, FF ini dapat juara satu Chapter based on trailer >_< yokatta ^_^
FF ini udah di publish di blog HSJ Lounge dan baru sekarang aku publish di sini karena baru buka blog lagi #plak
aku hiatus lumayan lama. Dan niatnya abis sidang, desember akhir atau awal tahun depan, aku mau fokus nulis lagi. ^_^
Saa~ gak usah lama2 deh, langsung aja. Douzo ~
Comment after reading ne :)
Sankyuu ~

Title                      : Dear God of Ruthlessness
Casts                 :
  1. Ryosuke Yamada as Ryo and Suke
  2. Keito Okamoto as Keito
  3. Yuya Takaki as Yuya
  4. Kota Yabu as Kou
  5. Yuri Chinen as Yuri
  6. Other Hey! Say! JUMP member will be cameos
  7. Kitagawa-san
  8. Kagawa-san (OC)
  9. Tanaka Koki (Kat-Tun) *waktu aku bikin. Koki masih memba Kat-tun >_<
Cross Gender        : Kei Inoo ‘HSJ’ as female (Aibara sensei)
Genre                    : Family, School Life, Hurt/Comfort, Angst
Rating                : PG – 15 (because of violence scene)
Length                  : Six Chaptered Series
Language              : Indoneshia Go
Author                   : Hishiyama Sakura (Asy Chan)
-      FB link         : http://www.facebook.com/zakiyahasysyauqie
-      Twitter         : http://www.twitter.com/qieluphblue12
-      Site Link      : http://urangsundanuresepjepang.blogspot.com
http://chankapaana-moonlight.zz.mu
-      Ichiban        : One and only Yamada Ryosuke <3
-      Reason        : Memeriahkan ulang tahun Ichibanku, dan menuangkan ide-ide gaje yang sudah lama tersendat di otak >_< :D
Disclaimer             : The casts ain’t mine. The story is mine. *sign on materai*
Summary              : Aku tak habis pikir, kenapa hanya wajah kami saja yang sama? Kalau Tuhan memang berniat membuat kami menjadi saudara kembar, kenapa tidak seratus persen kami dibuat sama? Kenapa? Kenapa hanya wajah dan fisik kami yang sama? Kepintaran, keberanian, kekuatan, dan segala hal yang Ryo miliki, seharusnya aku juga memilikinya, kan? Itu baru namanya kembar. Sama. 



A/N                       : Oh My GOD! Saya tahu cerita ini sangat sangat sangat gajelas -_- Semoga cerita ini sesuai dengan trailer yang disediakan. Mohon maaf apabila imajinasi dan emosi yang terlalu berlebihan. Mudah-mudahan berkenan di mata dan hati para juri+teman2 JUMPers. Jika ada ketidakjelasan alur, mohon dipahami karena sang penulis adalah amatir kelas teri yang sudah berkali-kali gagal ujian SIM *eh? >_< . Yoroshiku~   

***
Chapter One: Weak is Hurt, Strong is Hurt
Bugh! Bugh!
Suara pukulan semakin menggema di lorong sempit yang gelap ini. Ryo berkelahi lagi. Melawan mereka demi melindungiku. Dan aku hanya bisa menjadi penonton pasif – tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya.
Bugh!
Pukulan terakhir yang dilayangkan Ryo berhasil membuat ketiga preman itu tumbang kemudian lari terbirit-birit. Ryo menepuk-nepuk tangannya.
Safe...” katanya, kemudian dia menyeringai. Ryo menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dan dia membantuku berdiri.
“Kau tidak apa-apa, kan, Suke?”
“Ya,” aku mengangguk. “Ah...” Aku memegangi perut yang terasa berdenyut.
“Kenapa? Apa mereka tadi memukul perutmu?”
Aku hanya mengangguk pelan sambil meringis. Dengan sabar Ryo memapahku pulang ke rumah. Setelah membaringkanku di atas futon, dia pergi ke dapur untuk menjerang air. Aku hanya memandangi punggungnya yang sibuk menyiapkan sesuatu. Aku memejamkan mataku yang terasa perih – walaupun nyatanya ia tak seperih hatiku.
Ryo kembali dengan membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil, juga beberapa obat oles dan baju gantiku.
“Buka bajumu! Aku akan membersihkan badanmu dulu,” perintahnya.
Aku diam, berusaha bangun, tapi... “Auh...
Hh...” Ryo mendesah. “Sini,” Ryo membantuku untuk duduk dan melepaskan t-shirt-ku. Dia mencelupkan handuk ke air dan memerasnya, kemudian mengelap tubuhku perlahan. Setelah selesai, Ryo mengoleskan obat di perutku. “Untuk menghilangkan rasa sakit,” katanya. Aku hanya tertegun melihat Ryo yang serius mengobati lukaku. Lalu Ryo memakaikan baju tidurku dan membantuku berbaring kembali. “Tidurlah, supaya badanmu membaik,” Ryo beranjak ke dapur untuk menyimpan kembali peralatan yang dia gunakan.
“Ryo,” panggilku. Ryo menghentikan langkahnya. “Terima kasih,” ucapku. Ryo meneruskan langkahnya tanpa menatapku dan tanpa menjawab ucapanku.
***

Minggu, 31 Maret 2013

[DearDiriku] My dream is sleeping now...



My dream is sleeping now...
Dream? Sleeping? how came?
Yah, saya juga tidak tahu bagaimana mimpi bisa tertidur. Tapi.... Coba lihat ini dari kacamata seorang sastrawan, atau pujangga (?), yang bermain-main dengan kata konotasi, arti yang dikiaskan.
Mimpi saya saat ini mungkin bisa dibilang sedang istirahat. Yah, istirahat dari rutinitasnya yang lumayan panjang dan banyak. Atau mungkin tidak terlalu.
Saya ingin sekali menendang atau memukul diri saya sendiri yang terlalu pengecut. LOSER! (maaf tidak terima relawan untuk melakukan ini)
Mengapa? Saya terkadang sering kali tidak tahan dengan rintangan yang ada saat ini. Sekecil apapun. Jika terkadang saya terlihat seperti seorang yang saangaattt bersemangat dengan mimipi saya, itu bisa jadi ketika saya sedang berusaha men-sugesti diri sendiri. Apa? Ketika banyak orang diluar sana yang begituuu mendukung saya untuk meraih mimpi saya, apa gunanya jika saya sendiri bersikap pesimis.
Saya, tak berguna bagi mereka. Ucapan motivasi mereka juga tak guna bagi saya, jika saya terus seperti ini. Apa saya tidak sadar, mereka itu bukan sekedar memberikan omong kosong atau basa-basi belaka. Mereka mengeluarkan beberapa kilo kalori ketika mengatakan “Semangat yah, kamu pasti bisa!” atau mengetik sms yang berisi “Ganbatte Zaky, ayoo semangat!!”, atau ketika memberi saya selamat saat saya berhasil melewati  anak tangga pertama dan mendorong saya untuk terus menaiki anak tangga selanjutnya. Itu semua mereka lakukan sepenuh hati dan setulus-tulusnya. Lalu apa saya harus sia-siakan? Silahkan tampar saya! Jika saya melakukan itu. Sadarkan saya! Sadarkan saya dari ketidakwarasan ini! Bangunkan saya dari tidur ini!
Mengenai siapa yang tidak mendukung atau menghalangi, saya harus mengerti bahwa inilah hidup. Apa yang akan membuat hidup seimbang adalah itu, antonim. Terima >< tolak, turun >< naik, menang >< kalah.. dsb... Kenapa saya masih tidak bisa menerima semua itu. Kenapa saya ingin menafikan itu semua. Hanya ingin melihat kemungkinan terbaik atau paling tidak, lumayan. Saya sangat tidak ingin mengalami hal buruk. Seperti katamu, Nun (teman saya). Pilihannya hanya ada dua, MENANG atau MENANG. Saya sangat suka pilihan itu, Sob! :’)
Ahh... saya jadi ingat ketika adik saya, si Fab, sangat menggemari musik ketika di bangku SMA. Ya, hampir tiap malam dia dan teman-temannya ke rentalan alat band. Lalu, mengikuti berbagai audisi dan juga pernah sampai masuk TV (yah?). Hebat, kan? :-)
Kalau saya tidak salah, dia selama ini sempat berganti-ganti personel dan mengganti nama band. Sekarang sampai di kampusnya, dia masih saja aktif di bidang ini – musik. Hai, Fab, apa ambisimu begitu kuat saat itu untuk menjadi musisi? Untuk menjadi seseorang yang bisa menginspirasi orang lain lewat lagu-lagu dan musik yang kau ciptakan. Untuk menjadi terkenal dan berpengaruh. Atau itu hanya sekedar pelepasan dan pemuasan hobi. I dont care. Yang jelas, apa perasaanmu ketika ada sesuatu yang kau rasa menghalangimu, itu yang ingin kutahu.
Teteh saya, Fit, aduh maaf sampai sekarang saya tidak tahu apa cita-cita terbesarnya (peace ^^V)
Begini, saya simpulkan saja cita-citanya adalah menjadi juru masak terkenal dan terhebat. Iya, dia masuk jurusan MIK (catering) memang tidak sengaja. Tapii... Saya yakin itu adalah takdirnya. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semuanya sudah tertulis di takdir. Begitu kata AA Gym waktu ceramah. Nah, lagipula teteh saya ini setiap hari Minggu memang tidak pernah terlewat menyaksikan acara Ala Chef dengan pulpen dan kertas di tangannya. Mencatat secara rinci setiap bahan-bahan dan cara mengolahnya. Ketika dipraktekkan, wuuiihh enak tenan.. Emang enak... Cocoklah jikalau beliau ini bercita-cita untuk menjadi penerus Chef Marinka atau the next Farah Quinn, atau bu Siska, Rudy Choeruddin? Siapa saja. Yang penting masaknnya enak :P
Congrats.. I dont see that you find any obstacles in your way, sist...
Lalu, kenapa saya ingin menjadi penulis?
Entah! Sumpah saya tidak tahu sejak kapan ada halusinasi seperti ini. Entah bisikan dari shinigami (?) mana. Tapi saya memutuskan untuk mengatakan bahwa ini adalah takdir saya. Mungkin. Atau pasti.
Sejak dulu saya tidak bisa menulis suatu cerita pendek sependek apapun. Tidak bisa. Hasilnya pasti tidak akan jauh lebih bagus dari tulisan seorang anak TK atau Playgroup. Tidak akan. (silahkan tertawa). Yosh, jika bukan karena tugas mengarang bahasa Indonesia, saya  tidak pernah ada niatan untuk menulis. Itupun pasti saya hanya menulis cerita berjudul “LIBURAN DI RUMAH NENEK”. Tidak ada yang lain!
Menginjak SMA, saya pernah sampai menamatkan satu, atau dua? Ah, sepertinya lebih. Tunggu saya ingat-ingat... Ariel and Sheila, Kado terindah buat Rei, dan Cerita Anak Jalanan. Ah, tiga cerpen! Itu awal mula saya dapat menyelesaikan suatu cerita. Tentu saja dengan gaya bahasa yang kaku dan teknik bercerita yang amatiran (sebenarnya masih sampai sekarang).  Lalu dari situ mulai ada bisikan tentang menjadi seorang penulis walaupun saya belum banyak membaca novel seperti saat ini. Beranjak kuliah, saya mencoba-coba menulis dan hasilnya seperti yang sudah diduga .. TIDAK ADA YANG SELESAI. Sampai suatu saat ada dua perlombaan menulis. Dan akhirnya saya dapat menulis Cerpen yang selesai (Alhamdulillah) *sujudsyukur*
Well,,,, mimpi saya untuk menjadi seorang penulis semakin besar. Tapi, maaf mimpi saya yang satu itu sekarang sedang tertidur. Mungkin istirahat. Bagi yang mau, silahkan doakan agar dia tak bisa bangun lagi. Bagi yang peduli, boleh tunggu sampai dia bangun dan melanjutkan perjalanan. Mungkin sebentar lagi, mungkin juga agak lama. I dont know exactly....
Hoooyyy... Saya sudah bilang (dan sudah menobatkan diri saya) saya ini ‘pemimpi yang keras kepala’
. So, ketika saya pundung dan terlihat menurut untuk tidak meneruskan cita-cita saya. Jangan kesal kalau tak lama kemudian saya mulai lagi. Namanya juga keras kepala, gak bisa dibilangin!
My Dream is Sleeping now.... Dont wake it up untill I wake it up by myself...
Oh noo.... Dont die... My dream... You have to be alive or I will die too *0*
sekian,catatan saya. Terimakasih yang tiada tara untuk SEMUA yang sudah dan masih mendukung saya sampai saat ini ^^ *sun jauh*
*penulisnyalarikehutan*
Ttd,
^-Stubborn Dreamer-^
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...