To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 15 Desember 2013

[Fanfiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter III}



Chapter Three: The Broken Present
Ryo, tanpa ragu dan takut dia selalu menolong dan melindungiku. Tapi, dia selalu terlihat menutup mata dari itu semua. Setelah dia berhasil mengalahkan para pengganggu itu, dia kembali mengacuhkan aku. Bahkan tak pernah menghiraukan atau menjawab ucapan terima kasihku.
Sebenarnya, apa artinya ini semua?
Aku meregangkan badanku di halaman belakang. Pagi yang cerah di hari Minggu. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sejenak aku ingin melepaskan segala bebanku tentang ketidakadilan dalam hidupku ini. Aku memejamkan mata sejenak. Aku ingin...
“Suke,” panggil Ryo.
“Ya,”
“Cepat ganti baju dan ikut jogging denganku,”
“Eh?”
“Kau harus banyak berolah raga kalau kau ingin kuat dan berotot sepertiku.”
“Tapi aku tidak melihat otot-ototmu.”
“Mau membangkang?” matanya melotot.
“E.. Iya, gomen...”
Aku berlari dua meter di belakang Ryo. Napasku terengah-engah. Semakin lama langkah kakiku semakin pelan.
“Hoy! Sedang apa kau? Ayo cepat lari!” Ryo berteriak.
“Istirahat sebentar, Ryo. Aku capek,” aku membungkuk memegangi lututku. Napasku tersengal.
“Astaga! Ini masih belum seratus meter. Masak sudah capek lagi. Payah!”

Aku berusaha mengatur laju napasku. Ryo menghampiriku dan menyodorkan sebotol air. Aku menerimanya dan segera meneguk isinya.
“Lima menit lagi kita lanjutkan,” Ryo menepi ke pinggir jalan. Kemudian duduk di bawah pohon. Raut wajahnya terlihat kesal. Ah, tidak, tapi, sangat kesal.
Aku tidak bermaksud membuatmu kesal, Ryo. Sungguh. Maafkan aku yang selalu lemah.
Ryo beranjak dari duduknya dan menghampiriku.
“Kita pulang saja,” katanya.
“Eh?”
“Kita pulang. Apa masih kurang jelas?”
“Eh?” aku masih terheran-heran. Ya ampun! Ryo sampai sekesal itu padaku. Aku menepuk jidat. Kembali meratapi kepayahanku. Kenapa aku harus terlahir dengan penyakit ini. Yang membuatku tidak bisa melakukan aktivitas berat. Yang membuatku semakin lemah.
***
“Yuri,” panggilku. Yuri menengok.
“Ya, ada apa Ryo?”
“Mana Suke?”
“Hm, tadi dia...” Yuri terdiam sejenak seperti sedang berpikir. “Dia pulang duluan. Katanya sih, ada urusan.”
“Urusan?”
“Ya,”
“Ah, ya sudah. Terima kasih ya. Bye.
Bye.”
Aku melangkah cepat berharap Suke masih dekat dari sekolah. “Sial!” umpatku. “Kenapa anak itu selalu mencari masalah?!”
Dan benar! Kutemukan Suke bersama laki-laki itu lagi. Keparat! Aku harus berkelahi lagi untuk menyelamatkannya. Kulirik tempat sampah di pojok jalan dan mengambil botol bekas, lalu dengan segala keyakinan kuhampiri mereka.
Aku berkelahi lagi.
Sampai di rumah aku mulai mengomeli Suke.
“Maafkan aku, Ryo.”
“Harus berapa kali kubilang jangan jauh-jauh dariku?! Kau ini bandel sekali.” Aku mengempaskannya ke kursi.
“Maaf,” Suke tertunduk dan mulai menangis.
Aku geram. Ingin sekali aku berteriak. Aku meremas rambut. Tak bisa membayangkan kalau Suke akhirnya dibawa pergi oleh orang itu.
Okaasan,” gumamku. “Tasukette,” aku jatuh berlutut dengan masih memegangi kepalaku. Aku meringkuk menempelkan wajahku ke lutut. “Suke begitu menyusahkan, Okaasan. Aku tak sanggup lagi.”
***
Aku tahu ini hari ulang tahun kami. Tapi akan kuanggap ini hari ulang tahun Ryo saja. Karena itu aku pergi ke toko kue untuk membeli strawberry cake kesukaannya. Aku pulang sekolah lebih dulu tanpa menunggunya. Berniat membuat kejutan saat dia tiba di rumah nanti. Aku berhasil membeli kuenya walaupun hanya ukuran kecil. Uang tabunganku tidak cukup membeli yang lebih besar, padahal aku ingin memberinya kue termahal di hari ulang tahunnya ini. Tak apalah, kuharap Ryo menyukainya.
Dengan senyum yang terkembang aku berjalan santai menuju rumah. Berkali-kali kulihat kotak kecil berwarna putih berhias pita merah yang kugenggam ini. Tiba-tiba aku terkikik pelan. Aku seperti seorang kekasih yang akan merayakan valentine bersama wanita kesayangannya.
Dak!
Tiba-tiba seseorang menendang punggungku dari belakang hingga aku terjerembab di jalan.
Arrghh...” aku mengerang. Hah! Kadoku hilang. Aku berusaha bangkit untuk mencarinya. Ketemu! Aku merangkak hendak meraihnya. Ketika aku hendak mengambilnya tiba-tiba sebuah kaki dengan sepatu besar dan tebal menginjak tanganku dan membuat kotak itu hancur seketika. Aku meringis kesakitan. Aku mendongak untuk melihat wajah orang itu. Wajah garang berkaca mata hitam mengerikan itu lagi. Orang yang waktu itu menyekapku.
“Lepaskan!” pintaku. Alih-alih menyingkirkan kakinya dari punggung tanganku, dia malah memutar-mutar sambil menekannya sehingga aku semakin menjerit. Apa tulang jari-jariku sudah patah?
Aaargghhh...” Aku berusaha mengangkat kakiku dan berniat menendang orang itu. Tapi dia dengan sigap menangkap kakiku dan mencengkeramnya kuat-kuat. Aku tidak bisa apa-apa lagi. Sialan!
Lebih sialan lagi, dia sudah merusak kado ulang tahunku untuk Ryo.
Prank!
Tiba-tiba ada yang memukul kepala laki-laki kejam itu dengan botol. Darah mengalir dari ubun-ubunnya. Pecahan beling berhamburan di jalan.
Akhirnya Ryo datang. Wajahnya bagai kerasukan iblis. Laki-laki itu melepaskan kakinya dari tanganku dan berbalik menghadap Ryo. Ryo memukulkan tongkat kayu ke perut laki-laki itu. Sekali lagi, perkelahian itu terjadi. Diakhiri dengan pukulan keras yang mendarat di tengkuk laki-laki itu dan membuatnya pingsan seketika. Dia ambruk. Ryo menendang punggungnya.
“Dasar lemah! Wajahmu saja yang seram. Tapi kau tidak bisa berkelahi sama sekali.”
Aku tertegun dan masih bergeming. Ryo menghampiriku. Dia mengalungkan lenganku di lehernya dan membantuku berdiri. Memapahku sampai ke rumah. Kulirik kotak berisi strawberry cake yang sudah hancur lebur itu tergolek tak berdaya di jalanan. Gagal. Kejutanku gagal.
“Kita harus bicara, Suke. Kau sudah sering buat kesalahan.”
Aku tersentak. Kesalahan?
“Kenapa kau tidak menungguku saat pulang sekolah? Kenapa pulang sendiri?!” teriaknya.
“Maaf. Aku...”
“Apa?! Mau alasan apa lagi? Kau ini.... Grrrhh...” Ryo mengepalkan tangannya geram.
“Maaf aku selalu merepotkanmu.”
“Ya, kau tidak berguna. Sangat tidak berguna dan sangat merepotkan!” pekiknya.
“Maafkan aku, Ryo.”
“Harus berapa kali kubilang jangan jauh-jauh dariku?! Kau ini bandel sekali!” Ryo mengempaskanku ke kursi.
“Maaf,” aku tertunduk dan mulai menangis.
Ryo meremas rambutnya dan jatuh berlutut.
Okaasan, tasukette,” katanya pelan. Dia meringkuk menempelkan wajahnya ke lutut. “Suke begitu menyusahkan, Okaasan. Aku tak sanggup lagi.”
Aku tersentak. Kata itu, ‘menyusahkan’, sudah sering Ryo ucapkan padaku. Maafkan aku, Ryo. Aku sudah mengacaukan hari ulang tahunmu. Aku sudah banyak membuatmu dilukai dan melukai orang lain. Andai Ryo dapat mendengar bisikan batinku. Dia masih tetap bersujud di lantai. Mungkin sedang menyesali nasibnya yang malang karena mempunyai saudara kembar sepertiku.
Aku tak habis pikir, kenapa hanya wajah kami saja yang sama? Kalau Tuhan memang berniat membuat kami menjadi saudara kembar, kenapa tidak seratus persen kami dibuat sama? Kenapa? Kenapa hanya wajah dan fisik kami yang sama? Kepintaran, keberanian, kekuatan, dan segala hal yang Ryo miliki, seharusnya aku juga memilikinya, kan? Itu baru namanya kembar. Sama.
Tuhan sepertinya sedang mempermainkan takdir kami. Atau lebih tepatnya, takdirku.   
***


To be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...