To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 15 Desember 2013

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter IV}



Chapter Four: Remedy
Kami datang lebih pagi ke sekolah. Umm, sebenarnya kami memang sering datang lebih awal dari siswa yang lain. Seperti pagi ini, sekolah masih sepi. Aku menunggu Ryo yang sedang ke toilet. Tak mungkin juga, kan kalau aku mengikutinya sampai ke toilet. Aku berdiri di pinggir lapang. Kulirik jam tanganku. 7.10. Kemudian kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Masih belum banyak siswa yang datang. Dari jauh kulihat seseorang yang kukenal berjalan ke arahku.
Yuya? Bukankah dia sedang di-skors?
Yuya menghampiriku dengan wajah garang dan mulut yang menyeringai. Aku terdiam melihatnya. Aku mundur pelan-pelan. Kakiku bergetar dan keringat dingin mengucur deras di pelipisku. Ketika Yuya sudah berjarak enam puluh centimeter dariku, bisa kudengar desah napasnya yang bergemuruh penuh emosi. Tanpa pikir panjang aku berbalik dan hendak melarikan diri.
Buk!
Aku menabrak seseorang sampai terjatuh. Kou!
Aku merangsek mundur, kemudian menabrak Yuya. Aku mulai putus asa. Tamatlah hidupku!
Yuya menarik kerah bajuku hingga aku berdiri lagi. Kou mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bisa kurasakan napas yang berembus dari hidungnya menyebarkan aura panas kebencian.
Bugh!
Satu pukulan mendarat di perutku. Memberikan rasa mual dan ngilu yang seketika menjalar ke seluruh tubuh. Yuya semakin erat mencengkeram lenganku dari belakang – mengunci gerakanku. Kou mencengkeram rahangku.
“Masih berani kau macam-macam, hah!?” teriaknya.
“Apa maksudmu?”
“Masih saja berlagak bodoh atau kau memang bodoh?!”
“Sudah, mengaku saja kalau kau yang melaporkan tindakan kami waktu merokok ke kepala sekolah. Kau juga yang melaporkan masalah perselingkuhan Kou pada Ayumi, iya kan?! Lalu kau merebut Ayumi dari sisi Kou.” Yuya memelintir tanganku lebih kuat. Aku menjerit.
Aarrgghhh...” Air mataku tak terasa keluar. Mereka semakin kalap menertawakanku dan memukuliku. Aku sudah kehilangan tenaga. Aku hampir pingsan ketika seseorang dari belakang menarik tubuh Kou hingga terjungkal.
Ryo!
          Yokatta... Aku bersyukur dalam hati.

“Jangan ganggu Suke, kalian brengsek!” maki Ryo pada Kou dan Yuya.
Perkelahian antara mereka bertiga tidak bisa dihindarkan. Ryo menghajar Yuya dan Kou yang bertubuh lebih tinggi darinya. Beberapa kali Ryo terkena pukulan dan terjatuh. Aku, aku hanya bisa menonton mereka – lagi. Tersungkur di tanah. Merintih dalam kesakitanku. Sudahlah, hentikan! Aku tidak tahan lagi melihat orang-orang yang berkelahi. Saling memukul satu sama lain. Bahkan mungkin parahnya akan saling membunuh. Hentikan! Aku mohon, hentikan! Air mataku jatuh ke tanah.
Beruntung Bu Aibara segera datang dan melerai perkelahian itu. Kou dan Yuya menghambur berlari ketakutan. Bu Aibara menghampiriku dan membantuku bangun.
“Kau tidak apa-apa?”
Aku mengangguk.
Bu Aibara membawa kami ke ruang UKS. Aku berbaring di ranjang sementara Ryo yang terlihat lebih segar bugar duduk di kursi dekat meja kerja Bu Aibara.  
“Ibu ke luar dulu sebentar mengambil kasa dan alkohol, tunggu di sini ya.”
“Kenapa peralatan seperti itu tidak disimpan di ruang UKS?” Ryo bertanya curiga. Sebenarnya tak perlu ditanyakan juga.
“Ada di ruang guru, sewaktu Pak Hyuga meminjam untuk mengobati lukanya.”
“Oh,” respon Ryo singkat.
“Ya sudah, ibu ke luar dulu.”
“Iya,” jawabku dan Ryo bersamaan.
Ryo membisu lagi. Dia mengambil antiseptic dan kapas dari meja lalu mengobati luka lecet di tangannya. Aku bangkit menghampiri Ryo. 
“Ryo, terima kasih,” ucapku getir.
Ryo terdiam.
“Terima kasih kau selalu ada di setiap aku membutuhkanmu. Kau selalu menolongku dan melindungiku dari gangguan orang-orang itu. Bahkan sampai kau terluka. Aku sungguh....” Aku menghela napas. “Aku berhutang padamu, Ryo... Maaf aku tidak bisa melakukan apapun untukmu. Aku terlalu lemah. Aku tidak sepertimu. Aku tidak bisa sepertimu.” Kulihat Ryo melirik ke arahku sebentar kemudian menunduk lagi mengobati luka di tangannya.
“Suatu saat nanti, aku ingin melakukan sesuatu untuk membalas semua kebaikanmu padaku. Aku berjanji, Ryo. Kau dengar, kan?” ucapku mantap dengan mata berseri-seri.
“Hah? Kau bilang apa tadi?” Ryo bicara tidak jelas sambil memegangi luka di mulutnya.
Hh,” aku menarik napas dan mengembuskannya dengan dramatis. “Lupakan saja!” ucapku pasrah sambil mengangkat sebelah tangan. Kecewa. “Kenapa kau selalu bersikap tak peduli seperti itu?” aku pergi meninggalkan ruang UKS. Bu Aibara yang kutahu sejak tadi menguping pembicaraan kami dari balik pintu kaget ketika aku membanting pintu UKS. Aku tak memerdulikannya.
“Apa kau tahu, Ryo? Sikapmu yang seperti itu semakin membuatku merasa seperti orang paling bodoh dan lemah di dunia. Tega sekali kau melakukan itu, Ryo!” aku memejamkan mata. Air mataku menetes. Tuhan, apa kau membenciku sehingga kau sekejam ini padaku?
***
          Aku menangis sesenggukan di belakang gedung olahraga. Menyandarkan tubuhku ke dinding berdebu. Dari sini hanya terdengar samar-samar suara teriakan murid-murid yang sedang bermain basket. Aku menangis sejadi-jadinya. Karena aku sudah sakit sesakit-sakitnya. Sakit, sangat sakit ketika aku menyadari betapa aku ini memang tak bisa lebih kuat dari keadaanku yang sekarang. Sakit karena ucapan terima kasihku pun tak digubris oleh Ryo. Sakit karena aku selalu menjadi orang yang merepotkan. Semua itu menyakitkan.
Aku membenamkan wajahku di antara kedua lutut. Napasku mulai tersengal. Mataku basah. Lihat! Bahkan aku sampai menangis seperti ini saking lemahnya. Boku wa dame!
Tiba-tiba kurasakan seseorang memegang pundakku. Kuangkat wajahku dan kulihat Bu Aibara tengah tersenyum padaku.
“Membolos?” tanyanya. Aku tak menjawab dan kembali menundukkan wajahku.
“Kamu bisa cerita sama Ibu kalau kamu punya masalah, Suke,” nada bicaranya lembut. Mengingatkanku pada Okaasan.
Aku menggeleng pelan.
“Ayolah. Bebanmu akan terasa lebih ringan jika kamu membagi dan menceritakannya dengan orang lain.”
Sensei...” ucapku pelan. Napasku pendek-pendek. Sesak. “Tolong bunuh aku.”
“Hah? Kau bicara apa Suke?! Jangan bicara sembarangan!”
“Aku tidak mau merepotkan Ryo lagi.” Aku mulai terisak lagi. “Aku rasa Ryo sangat kerepotan mempunyai saudara kembar sepertiku. Aku sama sekali tidak membantu apa-apa dalam hidupnya. Justru aku hanya merepotkan dan menyusahkan Ryo.”
“Suke...”
“Jika aku tidak ada, Ryo tidak perlu berkelahi lagi. Aku benci melihat dia berkelahi setiap kali ingin menolongku dari gangguan orang-orang jahat itu. Sedangkan aku terlalu lemah untuk sekedar membantunya memukul orang yang sudah menggangguku. Aku tidak berguna, Bu.”
“Suke,” Bu Aibara menarikku ke pelukannya. Oh Tuhan, kapan terakhir kali ada yang memelukku seperti ini? Aku rindu Okaasan. “Ryo sangat menyayangimu lebih dari apapun.”
“Aku tahu, jika tidak dia tidak mungkin berkelahi dan rela melukai dirinya untuk menolongku.”
“Ya, benar sekali.” Bu Aibara mengelus rambutku. “Lalu kenapa kamu ingin mati? Bukankah itu akan menyakiti Ryo nantinya?”
Hiks...” aku hanya terisak dan tak bisa berkata lagi.
“Ryo adalah kakakmu. Bagaimanapun dia pasti merasa bertanggung jawab untuk melindungimu. Apapun yang akan terjadi padanya, yang dia tahu hanyalah melindungimu. Melindungi dari orang jahat yang membahayakanmu.”
Okaasan...” entah kenapa tiba-tiba kulihat seraut wajah Ibu berkelebat di wajah Bu Aibara.
“Kemana Okaasan pergi, Bu? Kenapa Okaasan pergi? Aku rindu Okaasan...”
Bu Aibara dengan tenang mengelus pundakku. “Sabarlah, Ibumu sudah tenang di sisi Tuhan. Jangan kamu sesali lagi. Itu hanya akan membuatnya bersedih di alam sana. Dan lagi di dunia ini kamu masih punya orang yang peduli dan menyayangimu, Suke. Jangan putus asa. Ibu yakin kamu pasti bisa.”
“Aku ingin sekuat Ryo. Aku ingin bisa melindungi Ryo.”
“Kamu bisa, Suke. Kamu bisa.” Bu Aibara masih melengkungkan segaris senyum di wajahnya. Aku menangis dan tenggelam di pelukannya yang hangat seperti Okaasan.
***
          “Ada apa dengan kalian berdua?” tanya Bu Aibara.
          “Apa, apanya?” aku balik bertanya.
          “Suke dan kamu sedang ada masalah?”
          “Sedang ada masalah?” aku tersenyum kecut. “Heh... Suke memang selalu membuat masalah,” ujarku sinis.
          Bu Aibara menghampiriku. Aku mengangkat wajah untuk melihatnya. Dia tersenyum. Sial! Senyum itu seperti Okaasan. Aku kembali menundukkan pandanganku. Tubuhku bergetar menahan segala emosi yang terus mendorong-dorong ingin ditumpahkan. Gigiku bergemeletuk. Aku mengepalkan kedua tangan di pahaku. Sedetik kemudian akhirnya air mataku pecah.
Hiks...” aku mulai terisak. Bahuku naik turun menahan tetesan air mata berikutnya. Aku tidak mau menangis. Dan aku tidak harus menangis. Apa dayaku, tangisanku semakin kencang. Bu Aibara memegang pundakku dan menenangkanku.
“Ini semua tidak adil!”
“Apa maksudmu, Ryo?”
“Tuhan tidak adil.” Aku mengelap sudut mataku. “Dia sudah mengambil ibuku, meninggalkan aku dan Suke. Yang lebih membebaniku adalah perkataan Okaasan sebelum dia pergi.” Aku berusaha mengatur napas. “Jagalah Suke, adikmu. Sebagai kakak kau harus kuat. Apa maksudnya itu?!” Napasku tersengal. “Kenapa harus aku yang menjaga Suke dan melindunginya dari orang-orang jahat.”
“Itu karena Ibumu percaya bahwa kau kuat, Ryo.”
“Kuat? Heh, kuat.” Aku tersenyum sinis. “Ibu tidak tahu kalau aku sebenarnya bisa saja menjadi lebih lemah daripada Suke. Aku sebenarnya tidak sekuat itu. Aku hanya pura-pura kuat selama ini. Untuk memenuhi janjiku pada Okaasan.”
“Janji?”
“Janjiku pada Okaasan untuk melindungi Suke. Aku tidak tahan lagi... Aku tidak tahan lagi.... Hiks Hiks...” aku membenamkan wajahku di meja Bu Aibara. Bu Aibara memegang pundakku lagi.
“Apa yang membuatmu tidak tahan.”
“Aku bosan berpura-pura kuat. Aku bosan berpura-pura tidak sakit. Sebenarnya aku tidak ingin berkelahi. Aku tidak tahan melihat orang berkelahi. Apalagi membunuh. Hiks... Hanya saja... aku tidak mungkin membiarkan Suke terus disakiti seperti itu. Aku akan menyakiti Okaasan jika aku membiarkan orang-orang itu mengganggu Suke. Jadi aku harus melindunginya walaupun aku sendiri takut.”
Hening. Hanya suara isakan tangisku yang terdengar di ruangan ini. Bergema di setiap sudutnya. Menggaung dalam telingaku. Aku benci! Kenapa aku selemah ini?!  
“Suke menyayangimu lebih dari apapun, Ryo. Lebih dari apapun. Jika Ibu jadi Suke, Ibu pasti ingin menjadi dirimu yang kuat dan melindungi saudaranya.”
“Sudah kubilang aku hanya pura-pura kuat!” bentakku.
Bu Aibara hanya tersenyum. “Itulah kenapa kau disebut kuat, Nak. Walaupun hanya berpura-pura. Tapi berpura-pura kuat itu tidak mudah. Itulah kekuatanmu, Ryo.”
Aku tertegun menatap mata Bu Aibara. Di dalamnya ada Okaasan tersenyum padaku. Bibirku bergetar dan air mataku semakin deras.
***
Saat itu, Ryo dan Suke menangis bersama. Menyesali takdir bersama. Sama-sama tak menerima dirinya yang seperti itu. Andai mereka tahu bahwa kasih sayang mereka satu sama lain lebih kuat dari apapun. Hanya perlu menyingkirkan keegoisan yang bersarang dalam hati masing-masing.
“Kalian pasti kuat. Ibumu percaya kalian bisa melewati hidup yang keras ini. Tetaplah saling melindungi. Tetaplah saling menyayangi. Tuhan tidak pernah pergi dari kalian. Percayalah pada-Nya.” Pesan Bu Aibara hari itu pada Ryo dan Suke. Cukup menghangatkan. Menenangkan.
***
To be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...