To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 15 Desember 2013

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter II}




Chapter Two: The World of Ruthlessness
          Pelajaran akan dimulai lima menit lagi. Aku duduk dengan wajah tak bersemangat di kursiku. Kupandangi sekeliling kelas. Tak ada yang istimewa. Dan tak ada yang berubah. Semuanya masih tetap sama. Banyak orang tapi aku merasa kesepian. Bukankah itu menyakitkan?!
        Aku hendak membuka buku Matematikaku ketika seseorang mendepakku dengan tasnya. Aku menoleh. Setelah kutahu siapa orangnya, aku memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya lebih jauh. Orang itu berjalan menuju kursinya yang terletak di depan.
          “Selamat pagi, Suke,” sapa seseorang padaku. Aku menoleh. Ayumi.
          “Se-selamat pagi,” jawabku pelan. Aku menunduk. Sekilas aku melirik ke arah Kou yang memandang jijik padaku. Sepertinya dia ingin segera membunuhku.
          Kitagawa-sensei, wali kelasku masuk. Murid-murid seketika diam. Kitagawa-sensei berdehem. Kemudian dia berkata.
          “Bapak menerima laporan bahwa ada siswa di kelas ini yang merokok. Maka dari itu Bapak akan memeriksa tas kalian.”
          Seketika terdengar suara bisik-bisik riuh memenuhi ruangan kelas.
          “Sudah cepat, simpan tas kalian di atas meja!” perintah Kitagawa-sensei. Kami menurut. Sensei memeriksa tas kami satu per satu, dan tak menemukan apa-apa. Sampai Sensei berhenti di meja Kou dan Yuya.   
“Apa ini?” Kitagawa-sensei mengacungkan sebungkus rokok yang didapat dari tas Kou dan Yuya.
Kou dan Yuya terlihat kaget.
“I-ini pasti jebakan, Sensei,” ujar Kou membela diri.
“Benar. Pasti ada seseorang yang memasukkan rokok itu ke tas kami,” tambah Yuya.
Kitagawa-sensei menatap mereka curiga.
Sensei... Ini salah paham. Ini pasti jebakan!” mereka berdua masih berusaha membela diri.
“Temui Bapak di ruang guru saat jam istirahat,” hanya itu yang Kitagawa-sensei katakan.
Aku masih menatap mereka berdua. Ketika mereka memandang tajam ke arahku, aku segera menunduk.
***

          “Kou dan Yuya dihukum,” Ayumi berbisik padaku saat pulang sekolah.
          “Apa?” Responku kaget.
         “Iya. Mereka di-skors dua minggu. Masih peringatan pertama. Kalau terbukti seperti itu lagi, mungkin mereka akan dikeluarkan dari sekolah,” tambahnya.
          “A-apa benar?”
          “Ya. Kenapa kau terlihat khawatir seperti itu, Suke?” Ayumi memiringkan kepalanya melihat ke arahku.
          “Ah, tidak.” Aku menggeleng. Berusaha menghindari kontak mata dengannya. Aku berjalan menjauh darinya, namun dia terus mendekatiku.
          “Suke.”
          “Ya.”
          “Aku...” Ayumi menggantungkan ucapannya.
          “Suke! Kemana saja kau? Aku mencarimu tahu?!” Ryo berlari ke arah kami.
          “Sudah kubilang jangan pulang sendiri.” Ryo melirik Ayumi yang berdiri di sampingku. “Mentang-mentang sudah punya pacar.”
          Aku gelagapan. “Bu-bukaan... Dia bukan pacarku. Kami hanya mengobrol sebentar. Aku juga sedang menunggumu, Ryo. Benar,” aku nyengir.
          Ayumi tersenyum. Kemudian berkata, “Kalau begitu aku duluan. Sampai jumpa.”
          Um,” aku mengangguk. Dia berbalik dan berlari kecil. Rambutnya yang dikepang dua menari-nari.
“Apa dia cewek yang membuat Kou ingin membunuhmu?”
“Hah?”
“Cari cewek lain saja. Kau kan tahu Kou itu seperti apa.”
“Tapi...” aku berusaha membela diri. Aku memang tidak ada apa-apa dengan Ayumi.
“Seharusnya kau sudah tahu resiko mendekati cewek itu.”
“Ryo. Dia bukan...”
“Kecuali kau sudah bisa mengalahkan Kou sendiri tanpa bantuanku.” Ryo kemudian berjalan mendahuluiku.
“Ryo,” aku berusaha mengejarnya.
“Setiap kau membuat masalah dengan Kou, satu masalahku pun bertambah. Jadi kuharap kau jangan banyak membuat masalah!” tatapan Ryo menusuk hatiku. Terlebih lagi ucapannya.
Banyak membuat masalah?
Ya, selama ini memang itu yang dia pikirkan tentang aku. Pembuat masalah!
Aku tertunduk lagi. Bersedih atas nasibku yang malang.
***
          Seorang laki-laki setengah baya duduk bersilang kaki di atas sofa besar yang empuk. Sebatang cerutu dicapit di antara jari-jari tangannya. Sesekali dihisap dan diketukkan ke atas asbak. Kumis tebalnya sebagian sudah memutih, begitu juga rambutnya. Garis wajahnya tegas. Dan sepertinya otot senyumnya sudah lama tidak dipakai. Kaku. Sama sekali tidak ada bekas senyuman di wajahnya. Hanya kesan garang dan seram yang bisa dilihat dari laki-laki itu.
          Tiga orang laki-laki lainnya duduk berjajar di sofa tepat di hadapan laki-laki seram itu. Dengan wajah tertunduk dan sesekali mencuri pandang pada laki-laki di depan mereka.
          Laki-laki itu melepaskan cerutu dari mulutnya dan membentangkan tangan di sandaran sofa.
“Jadi, bagaimana?” dia membuka percakapan.
Anou...” Salah seorang dari mereka membuka suara. “Maaf, Tuan,” suaranya terdengar lebih pelan.
“Sudah kuduga,” tukasnya. Diikuti tawa hambar. “Kalian ini becus apa tidak?!”
“Maaf, Tuan. Akan kami usahakan lagi,”
Laki-laki yang mereka panggil ‘Tuan’ itu mendelik ke arah mereka. “Baiklah,” katanya. Dia mengubah posisi duduknya. Menopangkan siku di kedua paha. Dia menunjuk-nunjuk ke arah tiga pemuda di hadapannya dan melanjutkan, “tapi ingat! Upah yang kuberikan ini bukan sedikit. Jadi kalian jangan main-main!” Dia mulai mengisap lagi cerutunya. Setelah mengembuskan asap tebal dia berkata, “Kalau kalian sampai mengacaukan semuanya, terima sendiri akibatnya!”  
***
“Kau harus selalu waspada, Ryo. Kau harus kuat. Mereka itu jahat. Bunuh mereka sebelum mereka yang membunuhmu! Lindungi dirimu dan Suke!”
Aku tertegun menatap Okaasan yang memegangi perutnya yang semakin mengeluarkan banyak darah. Tak ada yang bisa kuucapkan saat itu. Tak juga ada yang bisa kulakukan selain menggigil ketakutan. Suke masih terkulai tak berdaya di pelukan Okaasan. Badannya berlumur darah. Darah Okaasan.
“Ingat pesan Okaasan, Nak. Ingatlah. Jangan pernah percaya pada siapapun karena bisa saja mereka berniat jahat padamu. Lindungi dirimu dan Suke, Ryo...” Aku mengangguk. Setelah mengucapkan kata terakhirnya,  Okaasan tersenyum, kemudian terkulai di lantai. Tak bergerak.
Aku mencoba mendekatinya. Ragu-ragu kudekatkan tanganku ke lehernya dan kupegangi pipinya.
Okaasan,” panggilku. Dia tak menyahut. “Okaasan,” ulangku sekali lagi. Kugoyangkan tubuhnya. Namun sia-sia. Okaasan telah pergi. Meninggalkan aku dan Suke.
Aku menangis, tubuhku bergetar. Kulihat orang itu – orang yang hendak menculik aku dan Suke, sudah kabur setelah menusukkan pisau ke perut Okaasan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...