To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 15 Desember 2013

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter I}



Prolog: FF ini tercipta bulan Mei kemarin. Dalam project ultah Yamachan yang diadain Hey! Say! JUMP Lounge. Dan alhamdulillah, FF ini dapat juara satu Chapter based on trailer >_< yokatta ^_^
FF ini udah di publish di blog HSJ Lounge dan baru sekarang aku publish di sini karena baru buka blog lagi #plak
aku hiatus lumayan lama. Dan niatnya abis sidang, desember akhir atau awal tahun depan, aku mau fokus nulis lagi. ^_^
Saa~ gak usah lama2 deh, langsung aja. Douzo ~
Comment after reading ne :)
Sankyuu ~

Title                      : Dear God of Ruthlessness
Casts                 :
  1. Ryosuke Yamada as Ryo and Suke
  2. Keito Okamoto as Keito
  3. Yuya Takaki as Yuya
  4. Kota Yabu as Kou
  5. Yuri Chinen as Yuri
  6. Other Hey! Say! JUMP member will be cameos
  7. Kitagawa-san
  8. Kagawa-san (OC)
  9. Tanaka Koki (Kat-Tun) *waktu aku bikin. Koki masih memba Kat-tun >_<
Cross Gender        : Kei Inoo ‘HSJ’ as female (Aibara sensei)
Genre                    : Family, School Life, Hurt/Comfort, Angst
Rating                : PG – 15 (because of violence scene)
Length                  : Six Chaptered Series
Language              : Indoneshia Go
Author                   : Hishiyama Sakura (Asy Chan)
-      FB link         : http://www.facebook.com/zakiyahasysyauqie
-      Twitter         : http://www.twitter.com/qieluphblue12
-      Site Link      : http://urangsundanuresepjepang.blogspot.com
http://chankapaana-moonlight.zz.mu
-      Ichiban        : One and only Yamada Ryosuke <3
-      Reason        : Memeriahkan ulang tahun Ichibanku, dan menuangkan ide-ide gaje yang sudah lama tersendat di otak >_< :D
Disclaimer             : The casts ain’t mine. The story is mine. *sign on materai*
Summary              : Aku tak habis pikir, kenapa hanya wajah kami saja yang sama? Kalau Tuhan memang berniat membuat kami menjadi saudara kembar, kenapa tidak seratus persen kami dibuat sama? Kenapa? Kenapa hanya wajah dan fisik kami yang sama? Kepintaran, keberanian, kekuatan, dan segala hal yang Ryo miliki, seharusnya aku juga memilikinya, kan? Itu baru namanya kembar. Sama. 



A/N                       : Oh My GOD! Saya tahu cerita ini sangat sangat sangat gajelas -_- Semoga cerita ini sesuai dengan trailer yang disediakan. Mohon maaf apabila imajinasi dan emosi yang terlalu berlebihan. Mudah-mudahan berkenan di mata dan hati para juri+teman2 JUMPers. Jika ada ketidakjelasan alur, mohon dipahami karena sang penulis adalah amatir kelas teri yang sudah berkali-kali gagal ujian SIM *eh? >_< . Yoroshiku~   

***
Chapter One: Weak is Hurt, Strong is Hurt
Bugh! Bugh!
Suara pukulan semakin menggema di lorong sempit yang gelap ini. Ryo berkelahi lagi. Melawan mereka demi melindungiku. Dan aku hanya bisa menjadi penonton pasif – tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya.
Bugh!
Pukulan terakhir yang dilayangkan Ryo berhasil membuat ketiga preman itu tumbang kemudian lari terbirit-birit. Ryo menepuk-nepuk tangannya.
Safe...” katanya, kemudian dia menyeringai. Ryo menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dan dia membantuku berdiri.
“Kau tidak apa-apa, kan, Suke?”
“Ya,” aku mengangguk. “Ah...” Aku memegangi perut yang terasa berdenyut.
“Kenapa? Apa mereka tadi memukul perutmu?”
Aku hanya mengangguk pelan sambil meringis. Dengan sabar Ryo memapahku pulang ke rumah. Setelah membaringkanku di atas futon, dia pergi ke dapur untuk menjerang air. Aku hanya memandangi punggungnya yang sibuk menyiapkan sesuatu. Aku memejamkan mataku yang terasa perih – walaupun nyatanya ia tak seperih hatiku.
Ryo kembali dengan membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil, juga beberapa obat oles dan baju gantiku.
“Buka bajumu! Aku akan membersihkan badanmu dulu,” perintahnya.
Aku diam, berusaha bangun, tapi... “Auh...
Hh...” Ryo mendesah. “Sini,” Ryo membantuku untuk duduk dan melepaskan t-shirt-ku. Dia mencelupkan handuk ke air dan memerasnya, kemudian mengelap tubuhku perlahan. Setelah selesai, Ryo mengoleskan obat di perutku. “Untuk menghilangkan rasa sakit,” katanya. Aku hanya tertegun melihat Ryo yang serius mengobati lukaku. Lalu Ryo memakaikan baju tidurku dan membantuku berbaring kembali. “Tidurlah, supaya badanmu membaik,” Ryo beranjak ke dapur untuk menyimpan kembali peralatan yang dia gunakan.
“Ryo,” panggilku. Ryo menghentikan langkahnya. “Terima kasih,” ucapku. Ryo meneruskan langkahnya tanpa menatapku dan tanpa menjawab ucapanku.
***
Aku memandangi Suke yang sudah tertidur. Sepertinya sudah pulas. Dasar bodoh! Sudah berapa kali dalam seminggu ini dia dikeroyok preman. Lebih bodoh lagi kenapa dia begitu lemah dan tidak pernah melawan. Merepotkan saja!
Aku menggelar futon-ku dan berbaring di atasnya. Kutarik selimut sampai menutupi seluruh badan dan kepalaku. Kucoba memejamkan mata dan berusaha tidur walau rasa kantuk sampai saat ini belum mau singgah di mataku. Setelah beberapa detik aku berhasil memejamkan mata.
Deg!
Mataku terbuka lebar. Aku melihatnya lagi. Kenapa setiap aku memejamkan mata dan mencoba tidur aku selalu melihat diriku yang sedang berada di ruang mayat?
Aargghh...” aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Tanganku meremas rambut. Aku ingin sekali berteriak dengan keras. Mimpi itu selalu menghantuiku. Sialan!
***
          Suke terbangun dan menghampiriku yang sedang menyiapkan sarapan.
          “Selamat pagi,” sapanya. Kemudian ia duduk di kursi makan.
          “Pagi,” jawabku singkat.
          “Kenapa kau bangun pagi sekali? Ini baru jam setengah enam, tapi kau sudah menyiapkan sarapan.”
          Bangun? Semalaman aku memang tidak tidur. Mimpi itu membuatku tidak bisa memejamkan mata sampai pagi tiba,” rutukku dalam hati.
“Ryo?”
“Ah, tidak,” aku menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku harus berangkat ke sekolah lebih pagi jadi aku siapkan sarapan lebih awal,” dustaku.
“Begitu, ya?”
***
Ryo meletakkan semangkuk sup hangat di hadapanku. Kemudian mengambil nasi dari warmer. Disodorkannya lagi mangkuk nasi itu padaku. Aku menerimanya penuh rasa terima kasih.
“Kau makan sup saja, khawatir perutmu masih sakit,” katanya.
Setelah mengambil bagiannya – nasi dan udang goreng tepung, ia segera mengambil sumpit dan mulai makan.
Itadakimasu,” ucapnya.
Itadakimasu,” ucapku kemudian.
Pagi ini sarapan berlangsung hening. Ryo dengan lahap menghabiskan makanannya dan segera beranjak dari meja makan.
“Cepatlah, aku mau membereskan mejanya.”
“Tidak, tidak usah. Biar aku saja. Kau boleh berangkat sekarang, Ryo.”
Mata Ryo menyipit. “Baiklah,” dia mengalah.
***
Akhirnya aku bebas. Sejenak saja aku ingin terbebas dan jauh dari Suke. Demi apa, dia itu sangat merepotkan. Aku membuka locker-ku dan tiba-tiba sesuatu berkelebat di pikiranku.
Deg!
“Hai, Ryo!” seseorang memanggilku. Aku menoleh.
“Hai, Keito.”
“Ada apa? Dari tadi kuperhatikan kau melamun saja.”
“Ah, tidak.”
Hm... Kalau begitu ayo, kita ke kelas. Kau janji akan memberiku contekan PR Matematika, kan?” Keito merangkul pundakku.
“Haa... Iya, iya. Ayo,” Aku melepas sepatuku dan segera menggantinya dengan sepatu indoor putih. Aku berjalan ke kelas masih dengan perasaan yang resah.
Apa tidak apa-apa jika aku membiarkan Suke sendiri? Apakah dia dalam bahaya?”
***
Aku berjalan melenggang ke sekolah. Santai saja. Masih dua puluh menit lagi bel berbunyi. Dan tak sampai lima menit pun aku sudah akan tiba di sekolah.
Hmpfftt...” Seseorang membekapku dari belakang dan memelintir tanganku. Aku meronta-ronta, berusaha berontak namun tenaganya jauh lebih kuat dariku. Obat bius yang dia bekapkan ke hidungku mulai bereaksi. Aku pun terkulai lemas dan tak melihat apa-apa lagi.
***
Aku menuju kelas Suke pada jam istirahat.
“Dia tidak masuk sekolah hari ini,” terang Yuri – salah satu teman sekelasnya.
Benarkah, apa dia masih sakit dan memilih untuk beristirahat di rumah?” pikirku.
“Ryo? Apa tadi dia tidak berangkat bersamamu?” Yuri mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku mengerjap.
“Ah, maaf. Tidak, tadi aku duluan. Ya sudah, terima kasih ya, Yuri.”
“Ya, sama-sama.”
Aku kemudian berlari ke rumah untuk memastikan dia masih ada di rumah atau tidak.
“Suke!!” Dia tidak menyahut. Dia tidak ada di rumah. Kemana anak itu?
Aku bergegas mencarinya lagi. Aku terus berlari sambil memanggil namanya. Kakiku terhenti ketika aku melihat butiran obat berceceran di jalan. Kuambil sebutir lalu kuperhatikan baik-baik.
“Ini milik Suke!” ujarku yakin. Aku mengikuti arah ke mana obat-obat itu jatuh tercecer. Sambil terus memastikan keadaan sekelilingku aman dan tidak ada yang membuntutiku.
Jejaknya berhenti di depan sebuah gang. Aku mengendap-endap menyusuri gang sempit itu sampai kulihat ada sebuah bangunan tua di ujung gang. Perlahan aku mendekati bangunan itu dan mengintip dari celah jendela.
Suke!
Ada yang menyekapnya.
***
Setelah aku tersadar dan berhasil mengingat apa yang terjadi sebelum keadaanku terikat seperti ini, aku melihat tiga orang laki-laki mengelilingiku.   
Seorang laki-laki berpakaian serba hitam dan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Rambut panjangnya yang tipis melambai dari balik topinya. Sebatang rokok naik turun di bibirnya saat dia bicara. Apa mereka ini Yakuza? Dan dua lainnya.... Astaga! Tidak mungkin, mereka....
“Ah, rupanya sudah sadar,” ucap salah seorang dari mereka – menghampiriku.
“Apa yang kalian inginkan?!” bentakku.
Ow... Ow... Ow... Galak sekali. Hahaha...” ledek mereka.
“Kou, mau kau apakan anak ini?”
“Sebentar, aku masih berpikir. Cara apa ya, yang tepat untuk mengenyahkan manusia tak berguna ini dari dunia?” Kou – yang tak lain adalah teman sekelasku, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sorot matanya membara dipenuhi amarah.
“Ah, berpikir saja kerjaanmu. Kenapa tidak langsung dicoba saja,” tukas seorang laki-laki di belakangnya. Dan itu adalah Yuya – masih teman sekelasku.
“Kalian mau apa?? Aku salah apa??” aku mencoba membela diri. Oh Tuhan, apa hidupku akan berakhir di sini? Aku menangis dalam hati.
“Masih tidak sadar ya?” Kou mencengkeram rahangku kuat-kuat. “Gara-gara kau aku putus dengan Ayumi. Itu gara-gara kau membocorkan rahasiaku padanya, bodoh!!”
“Ra-rahasia?”
“Kau bilang padanya kalau aku pacaran lagi dengan Tsuki, kan? Ngaku!” bentak Kou.
Aku menggeleng.
“Masih tidak mengaku?!” Yuya menarik rambutku dari belakang.
Arrgh... A-apa hanya karena itu kalian ingin membunuhku?”
“Apa? ‘Hanya’ kau bilang?” Kou melepaskan cengkeramannya. “Banyak sekali masalah yang kau perbuat selama ini, tahu!?” Kou menjauh dariku, mendekati laki-laki yang berpakaian serba hitam. “Koki, urus dia! Jalankan saja rencana untuk membunuhnya siang ini. Yuya, ayo kita tangkap saudara kembarnya. Biar sekalian kita habisi duo pembawa masalah itu.”
Yuya mengempaskan kepalaku kemudian pergi mengikuti Kou. Demi Tuhan, aku tidak percaya kalau mereka anak SMA yang sekelas denganku. Mereka lebih mirip Ketua Yakuza.
Aku menunduk lemas. Air mataku mengalir deras. Apa hidupku akan benar-benar...
Arghh...” si laki-laki yang dipanggil Koki itu menjambak rambutku dan mengangkat kepalaku.
“Padahal wajahmu sangat polos, kawan. Kenapa Yuya dan Kou bisa sampai membencimu seperti ini?” Koki melepaskan rokok dari bibirnya dan menyembulkan asap tepat di hidungku. Aku terbatuk-batuk. Koki tertawa sinis.
“Siapa kau? Apa maumu?”
“Apa masih kurang jelas? Aku mau membunuhmu, kawan.” Koki menekankan ujung bara rokoknya ke leherku. Aku menjerit kesakitan.
Aaaarrggghhh.... Aku tidak salah apa-apa,” aku masih berusaha membela diri. Air mataku menetes lagi.
“Itu, kan menurutmu. Lagipula....”
Tak!
Ucapannya terpotong ketika seseorang memukul kepalanya dengan tongkat kayu. Koki sontak menoleh ke belakang dan wajahnya terlihat murka ketika melihat Ryo yang dengan tenangnya melambaikan tangan pertanda dia siap memulai perkelahian.
Dan...
Mereka pun berkelahi dengan sengitnya. Akhirnya? Sudah bisa kutebak Ryo-lah yang akan menang. Jika boleh dibilang, Ryo itu seperti pahlawan dalam dorama action bagiku. Meski aku tak tahu dari mana dia mendapatkan kekuatan dan keahlian untuk berkelahi.
Ryo melepaskan ikatanku. Kami pun keluar dari tempat mengerikan itu. Di pintu keluar, kulihat Kou dan Yuya sudah tergeletak tak berdaya dalam keadaan terikat. Aku melirik Ryo. Ryo hanya memasang wajah tanpa ekspresi.
“Lain kali jangan berangkat sekolah sendirian. Maafkan aku sudah meninggalkanmu pagi tadi.”
***

To be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...