To make easy, Click the categories that you want to see^^

Minggu, 15 Desember 2013

[FanFiction] Dear God of Ruthlessness {Chapter V}



Chapter Five: New Life, New Threat
          Aku membuka mata saat sinar matahari pagi sudah menyelinap dari balik tirai jendela kamar. Aku mengucek mata dan perlahan bangun. Kulirik Suke di sebelahku masih tertidur pulas. Aku tersenyum kecut. Seperti itukah wajahku jika sedang tidur?
          Aku menguap dan menggeliat. Lalu beranjak ke kamar mandi. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, aku menuju ke dapur. Kuhentikan langkahku ketika melewati ruang makan. Kupandangi sosok seorang wanita yang sedang tersenyum di dalam bingkai foto.
Ohayou, Okaasan,” sapaku sambil tersenyum manis ke arahnya.
Ohayou,
Aku tersentak kaget.
“Suke?”
“Hehe...” Suke cengengesan sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Aku sudah hampir senang barusan. Aku kira Okaasan benar-benar menjawab sapaanku.”
Suke mengerucutkan mulutnya.
“Jadi tidak senang kalau aku yang menyapa?”
Aku menggeleng, “bukan begitu.”
“Mau menyiapkan sarapan?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku bantu, ya,” tawarnya. Senyumnya terus berkembang. Jujur, setiap kali melihat Suke tersenyum aku sangat senang. Setidaknya mungkin itulah ‘penampakan’ku jika aku sedang tersenyum. Mungkinkah aku selama ini tidak tega melihat Suke dipukuli karena aku membayangkan kalau yang dipukuli itu adalah tubuhku sendiri?
“Ryo?”
Ah, aku mengerjap – bangun dari lamunan.
“Cuci muka dulu sana!”
“Hee...”
Aku mendorong tubuh Suke ke kamar mandi.
“Memangnya kau mau meracuni masakanku dengan air liurmu, dih!” Aku mencibir.
“Iyaa... Iyaa...”

***
          Apakah kasih sayangku pada Suke selama ini memang palsu? Apakah aku selalu melindungi Suke hanya karena aku tidak tega melihat tubuh yang mirip denganku dipukuli? Tapi jujur aku memang tidak tahan dengan ini semua. Aku sudah tidak mau berkelahi lagi. Kenapa harus ada orang jahat di kehidupan kami? Kenapa aku harus berlindung dari orang-orang jahat? Kenapa orang-orang jahat itu ingin membunuhku, membunuh Suke? Memangnya kami salah apa?
          Aku memeriksa isi celengan. Semakin menipis. Aku menghela napas panjang. Tuhan, apa yang harus kulakukan? Uang tabunganku sudah tidak cukup lagi. Apa aku harus bekerja sambilan lagi? Dan kembali meninggalkan Suke sendiri di rumah. Dan bekerja dengan hati gelisah karena memikirkan keadaan Suke di rumah. Aarghhh... Sungguh semua keadaan ini semakin menyiksaku!
“Ryo,”
Aku cepat-cepat menyimpan celengan itu di lemari dan berbalik menghadap Suke.
“Apa?”
“Sedang apa?”
“Tidak.”
“Itu...”
“Hm?”
“Obatku habis,”
Ah! Sudah kuduga! Memang keadaan paceklik kini sedang menyerang kami. Tadi pagi saja kami hanya makan telur rebus dan nasi putih. Aku menatap Suke sambil berpikir keras.
“Ryo, aku rasa aku tak usah minum obat lagi.”
“Hah?”
“Lagipula asmaku sekarang sudah jarang kambuh,” lanjutnya.
“Kau bercanda,”
Selama beberapa detik suasana hening. Sampai aku membuka suara kembali.
“Suke,”
“Hm?”
“Aku akan bekerja lagi. Apa kau bisa menjaga dirimu selama aku bekerja?”
Suke terdiam. Kemudian mengangguk.
Un, aku bisa. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Aku ingin ikut bekerja denganmu, Ryo,” pintanya.
“Apa?? Tidak, tidak bisa!” tolakku.
“Aku tidak mau kau lelah sendiri bekerja untuk kita,”
“Aku tidak keberatan,” ucapku. Sebenarnya, sih, sedikit berdusta.
“Kumohon,” Suke mulai merajuk.
“Sebaiknya kau istirahat saja. Kau tidak boleh terlalu lelah.”
Kami bertatapan. Bisa kulihat Suke masih memohon dari tatapan matanya.
“Sudah. Kau menurut saja. Diam di sini dan jadi anak yang baik. Aku akan ke luar mencari pekerjaan. Do’akan aku ya,” aku menyambar jaket dari gantungan dan segera berlari ke luar.
“Hati-hati, Ryoo...” teriak Suke sambil melambai.
Aku mengangguk.
Baiklah. Mungkin hubungan kami yang seperti ini memang lebih baik. Aku sepertinya harus berhenti bersikap dingin padanya. Lagipula ini semua bukan salah Suke. Mau bagaimanapun, Suke adalah Suke. Adikku. Saudara kembarku. Tanpa diminta oleh Okaasan pun harusnya aku memang bertanggung jawab untuk melindunginya, bukan?
Mata dan pikiranku sedikit terbuka. Cerah.
***
          “Sebenarnya aku yang melaporkan tindakanmu pada Kitagawa-sensei.” Suara Ayumi tercekat di tenggorokan. Ia menelan ludah. Ia siap jika Kou akan bertindak kasar padanya. Tapi Kou hanya menatap sinis pada Ayumi.
“Kumohon berhentilah mengganggu Suke,” Ayumi memohon.
“Terima kasih sudah jujur padaku. Aku tidak marah soal skorsing itu. Tapi...” Kou menggantungkan perkataannya, kemudian ia melanjutkan, “aku akan tetap mengenyahkan Suke dari dunia ini.”
“Kou,” Ayumi membulatkan matanya.
“Aku punya alasan lain. Dan lebih kuat,” sahutnya tenang.
“Kou, apa kau sebenci itu pada Suke karena aku dekat dengannya?”
Kou menatap dalam-dalam ke mata Ayumi, kemudian tersenyum pahit.
“Tidak. Lagipula aku sudah tidak ingin memikirkan masalah wanita sekarang.”
Ayumi bergeming.
“Jangan benci aku jika suatu saat kau harus kehilangan Suke karena aku,” tutupnya. Kemudian ia berjalan menjauhi Ayumi yang masih terpaku tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
Kou terlihat mengeluarkan ponselnya dan berbicara dengan seseorang. Kemudian ia mengubah kecepatan jalannya. Berlari.
***
Inilah hidup baru yang kujalani dengan Suke. Aku menjadi lebih akur dengannya. Sudah seminggu aku bekerja sambilan di sebuah toko es krim di sekitar perempatan Shibuya. Gajiku dibayar per hari, lumayan walaupun tidak bisa menutupi semua keperluan kami.
“Ryo,” panggil salah seorang teman kerjaku.
“Ya,”
“Ini, ada yang menitipkan ini untukmu,” dia menyerahkan sebuah surat dalam amplop putih padaku.
“Siapa?”
“Tidak tahu, tapi seragamnya seperti seragam sekolahmu,”
Aku mengerutkan kening – berpikir. Siapa kira-kira? Setelah aku menerima surat itu, aku pun segera membukanya.
Sebuah tulisan tangan yang tak kukenal.
Ryo, Suke, ini Ayah.
Deg!
Jantungku berdetak cepat saat membaca kalimat pertama. Langsung aku melanjutkan membacanya.
“Ryo, Suke, ini Ayah. Apa kabar kalian? Selama ini Ayah mencari-cari kalian berdua. Ryo, temuilah Ayah di jalan Tsubaki no. 9 besok pukul 5 sore.”  
          Kulipat kembali kertas surat itu. Sambil terus berpikir. Aku tahu ini pasti jebakan. Lagipula, apa ayahku masih hidup? Kalaupun iya, seperti apa wajahnya? Aku tidak pernah bertemu dengannya. Sejak kecil aku dan Suke hanya tinggal dengan Okaasan.
Set!
Mataku menangkap sebuah bayangan di sisi kiriku. Mataku menyipit menelisik setiap sudut. Aku harus waspada jika ini adalah jebakan.
“Ryo, ambilkan satu karton es krim di gudang!” atasanku terdengar berteriak.
“Baik,” aku segera menuju gudang dan mengambil persediaan es krim untuk dipajang di kulkas di depan toko.
***
          Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul empat lebih lima puluh menit. Sepuluh menit menuju waktu perjanjian. Di mana aku harus menunggu? Alamatnya tidak jelas. Kuputuskan untuk menunggu di persimpangan gang ini saja.
Tik... Tik...
Wah, hujan. Aku segera menepi dan berteduh di pinggir sebuah rumah. Aku mengembuskan napas dan menggosok-gosokkan telapak tanganku. Dingin juga ternyata.
“Hai, kau.”
Aku menoleh mencari sumber suara.
“Kau Ryo, kan?”
“Hah?” aku masih mencari-cari siapa pemilik suara itu.
“Masuklah!” perintahnya.
“Siapa kau?” tanyaku pada seorang laki-laki yang tiba-tiba saja berada di sampingku. Dia mengenakan jubah hitam dan topi mafia. Wajahnya tertutup kerah jubahnya yang dinaikkan ke atas, serta kaca mata hitam yang semakin menyamarkan wajahnya.
“Masuklah, Kagawa-san sudah menunggumu.”
“K-Kagawa-san?”
Aku pun memasuki ruangan itu. Tidak ada yang mencurigakan. Seperti layaknya rumah biasa. Aku terus menelusuri ruangan itu sambil menengok ke kiri dan ke kanan. Di ujung ruangan kutemukan seorang laki-laki berpakaian jas rapi dan mengisap cerutu duduk bersantai di sofanya.
D-dare?” tanyaku tergagap.
Laki-laki itu membuka kaca matanya.
Set!
Seketika darahku berdesir lebih cepat membuat jantungku berdegup lebih kencang. Mata itu!
***
          Sudah sore sekali, tapi Ryo belum pulang. Aku mulai cemas. Apa karena hujan ya, dia terlambat pulang? Apa sebaiknya aku menjemputnya ke tempat kerja? Ah... Sesampainya di sana Ryo pasti akan mengomeliku. Tapi... Ah, sudahlah. Akan kujemput dan kubawakan payung untuknya.
          Aku berjalan menembus derasnya hujan. Hari sudah mulai gelap. Petir terus menggelegar. Napasku pun mulai terasa sesak. Celaka, kumohon jangan kambuh dulu. Bertahanlah.
          Aku terus berjalan menyeret kakiku dengan susah payah. Aku memegangi dadaku. Sepertinya udara dingin ini membuat asmaku kambuh. Tidak, kumohon. Bertahanlah, Suke.
          Hap!
          Seseorang mencengkeram leherku dari belakang. Aku berusaha berontak. Payungku terjatuh. Aku pun basah kuyup. Orang itu menyeretku ke sebuah gang dan mengempaskan tubuhku kasar.
          Aku mendongak melihatnya. Tunggu, postur seperti itu sepertinya...
“Kou, satu orang sudah beres. Kita tinggal urus yang ini saja,”
Benar! Mereka adalah Kou dan Yuya.
Kou mendekati wajahku dan berkata, “ucapkan selamat tinggal pada hidupmu,” kemudian dia menyeringai lebar bagaikan serigala yang hendak memakan mangsanya.
“Kagawa-san pasti akan memberi kita banyak uang setelah ini. Hahaha...” mereka berdua tertawa terbahak. Menggelegar berlomba dengan suara petir.
Napasku yang semakin tersengal membuatku sulit berkata-kata apalagi berteriak. Dadaku naik turun. Tuhan, entah apa ini namanya. Jika ini mimpi buruk tolong bangunkan aku! Jika ini memang akhir hidupku, tolong selamatkan Ryo. Itu saja, Tuhan. Selamatkan Ryo.
***
To be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment, minna san... I really appreciate your respect ^^d
Tinggalkan komentar, jangan datang dan pergi tanpa jejak ^^d

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...